Sariman Disayang Guru - Nasirullah Sitam

Sariman Disayang Guru

Share This
Sudah beberapa pekan ini, Sariman suka menceritakan masa kecilnya. Aku tidak tahu kenapa akhir-akhir ini dia lebih suka menceritakan masa kecilnya daripada membahas tentang gebetannya. Padahal, sebelum lebaran; tiada hari tanpa cerita tentang gebetan barunya. Jangan-jangan Sariman patah hati, atau kharismanya mulai luntur termakan usia? Hanya Sariman dan Tuhan yang mengetahui.
Terima kasih guruku
Terima kasih guruku (sumber: www.dreamstime.com)
“Abang waktu SD dapat peringkat berapa?” Sariman membuka obrolan.

“Selalu peringkat empat, Man. Dapat peringkat tiga waktu kelas lima SD.”

“Lumayan,” Jawab Sariman mangut-mangut.

Tidak kupedulikan ucapan Sariman yang terakhir. Aku lebih suka menikmati gorengan yang masih hangat di depanku. Biarlah Sariman pagi ini mau bercerita sepuasnya pun, aku tidak peduli. Teman macam apa aku ini!!

 “Waktu kecil, aku kira angka besar itu bagus semua. Misalnya nilai 10, dia lebih bagus dari pada nilai 8, apalagi dibanding dengan nilai 1, wehhhh jauh banget,” Papar Sariman,

“Maksudmu apa, Man?”

“Dulu waktu pembagian raport kelas, aku mendapatkan rangking besar, bang. Dari 30 siswa, aku dapat rangking 25. Angka yang besar, dan melebihi angka 10. Jadi waktu itu aku bangganya nggak ketulungan. Liat rangking teman-teman yang lain itu 10, 8, aku ketawa. Apalagi yang rangkingnya 1, kasian toh bang, dapat kok rangking 1. Sedikit banget.”

“Waktu itu kamu pas lagi lugu atau memang bodoh, Man?”

“Namanya juga anak kecil, bang. Aku dulu kan nggak paham bedanya rangking kelas sama nilai kelas. Waktu nilai kelas besar saja mereka pada gembira, masa waktu giliran rangkingku banyak, aku nggak boleh gembira.”

“Kamu memang hebat, Man,” Aku mengacungkan kedua jempolku untuk Sariman.

“Kegembiraanku hanya sesaat, bang. Sampai rumah, dengan bangganya aku ceritakan ke bapak mengenai rangkingku itu. Beliau hanya geleng-geleng kepala saja, bang.”

“Bapak bilang; Bagus, An. Kamu disayang guru tahun ini, jadi jangan pindah kelas ya semester depan.”

Aku terkekek mendengarnya. Dari sini aku dapat menyimpulkan, memang dari kecil Sariman itu lugu banget. Saking lugunya, saat dia tidak naik kelas pun malah bangga. Dia memang disayang gurunya waktu kecil, hanya saja setelah besar, dia tidak pernah sepenuhnya disayang pacar. Setiap putus pacaran, selalu saja dia curhat kalau pengorbanannya sangat dalam; menceritakan uang bayar kos dan SPP lenyap untuk membelikan pakaian mantan pacarnya. Semangat kamu, Man. Perjuanganmu belum berakhir.
Baca juga cerita yang lainnya 

23 komentar:

  1. hahah sariman ssariman, lugu sampe segitunya, ga bisa bedain ranking :v .

    BalasHapus
  2. lugu dan polos, kadang suka dimanfaatkan orang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan pastinya, Sariman tetap hidup dengan nyaman :-D

      Hapus
  3. itu lugu apa gak pinter man ? haha :D
    sariman sariman *geleng-geleng kepala*

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya ya ya, Sariman kan tidak mau menunjukkan kepintarannya :-D

      Hapus
  4. sariman kalau mau naik kelas harus ngalawan ama gurunya biar g disayang lagi. baru dech si sariman bisa naik kelas :D, hehehhehe

    BalasHapus
  5. hahahaha mna samriman. ada - ada aja. polosnya kepolosan

    BalasHapus
  6. Antara lugu dan bod***h itu beda tipis ya di diri sariman wkwkwk #SabarSariman

    BalasHapus
  7. mungkin siraman jomblo ngak laku jadi ngak cerita gebetan nya hahah

    BalasHapus
  8. sariman sariman, selalu saja membuat orang lain gereget terhadap mu :D

    BalasHapus

Pages