Uang Receh dan Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo - Nasirullah Sitam

Uang Receh dan Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo

Share This
Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo
Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo
Aku mulai menikmati kebiasaan membeli koleksi buku saat menjelang bepergian. Kalau pun tak membeli buku, biasanya aku sengaja membawa koleksi yang belum sempat kubaca sebagai teman perjalanan. Aku pernah menceritakan beberapa koleksi yang kubawa ketika sedang liburan atau sewaktu mudik ke Karimunjawa.

Terakhir aku membeli buku ketika ada Kampung Buku Jogja, setelah itu sempat COD-an membeli koleksi anak kos yang sudah selesai kuliah. Biasanya aku memantau di grup Barang Kos Jogja, jadi kalau ada yang menjual koleksi pribadi di sana, aku membelinya (tergantung koleksinya).

Kebiasaan ini tidak dibarengi dengan semangat membaca, sampai sekarang di meja kamar masih ada 8 koleksi yang belum sempat kubaca. Bahkan 6 di antaranya masih terbungkus plastik dan berdebu. Selain 8 koleksi tersebut, ada juga satu kardus koleksi dari Diva Press yang belum kujamah. Rencananya koleksi tersebut aku cicil bawa pulang ke Karimunjawa agar dapat kutata di rak teras rumah.

Tujuannya sih simpel, kali aja ada teman yang main ke Karimunjawa dan menginap di rumah orangtuaku, mereka bisa menyempatkan baca buku saat tak beraktifitas. Memang untuk sekarang masih sekedar rencana. Kuharapkan dalam kurun waktu tidak lama lagi rencana tersebut terealisasikan.

Awal bulan April ini, aku iseng mengumpulkan uang koin (receh) yang tersebar di sudut kamar. Puluhan uang receh sudah aku kumpulkan di tas kecil. Selebihnya kucari sambil membersihkan kamar. 

Berhubung tidak ada aktifitas, aku menghitung koin tersebut. Membagi uang koin yang nominal 1000, 500, 200, dan 100. Khusus yang uang koin 100an sengaja aku sisakan untuk nanti beli kopi di angkringan.
Mengumpulkan uang receh/koin di kamar
Mengumpulkan uang receh/koin di kamar
“Aku pengen beli buku dari uang receh ini,” Ujarku pada beberapa teman yang sempat main ke kos.

“Bagus itu,” Jawab mereka.

Uang receh selama beberapa bulan terkumpul Rp. 125.000. Dulu memang sempat terpikiran untuk membeli buku menggunakan uang receh. Lagipula ada beberapa koleksi yang sudah kuincar. Terbesit pikiranku untuk menggunakan uang ingin membeli buku di toko buku tanpa menukar ke uang lembaran.

Hari itu juga, aku memesan jasa ojek daring menuju Gramedia. Di Jogja ada beberapa Gramedia seperti di Ambarukmo Plaza, Malioboro Mall, atau di Jalan Sudirman. Lokasi yang dekat sebenarnya Gramedia Mailoboro Mall, tapi aku memilih di Jalan Sudirman karena sering beli buku di sana.

Minggu menjelang siang Gramedia tak seramai saat malam. Aku menuju kasir memastikan apakah boleh membeli koleksi buku menggunakan uang receh. Jika tidak diperbolehkan, aku sudah berencana menukar uang tersebut di toko terdekat, lalu kembali ke sini lagi. Dua kasir perempuan kuhampiri.

“Mbak. Aku kan pengen beli buku, kalau nanti kubayar pakai uang receh boleh nggak?” Tanyaku tanpa basa-basi.

Kuperhatian dua perempuan kasir di depanku. Mereka berdua tersenyum, mungkin dikiranya aku sedang bercanda.

“Aku tanya beneran loh mbak,” Kembali aku bilang sambil tersenyum.

“Boleh mas. Kan sama-sama uang,” Jawab salah satu di antara kasir tersebut.

Lega rasanya mendengar jawaban tersebut. Aku tambah semangat mencari koleksi incaran. Segera aku menuju tempat penelusuran koleksi (OPAC), hanya saja sistemnya sedang diperbaharui. Jadi aku harus mencari satu-persatu rak koleksi.

Tak jadi masalah mengelilingi rak koleksi, toh aku bisa sambil melihat koleksi baru yang sudah dipajang. Ada banyak koleksi yang menarik minatku, aku masih menahan hasrat membelinya. Ingat rencana awal, hanya membeli koleksi yang dari awal sudah kuincar dan menggunakan uang receh. Melenceng sedikit dari rencana, berarti gagal.

Satu dari koleksi yang incar tepat di depanku. Buku dengan sampul dua anak laki-laki berumuran 12 tahunan. Sebatang kayu tanpa ada daun mewarnai sampulnya. Satu anak di atas pohon memperhatikan kawannya yang melompat dari atas pohon. Seakan-akan terbang tanpa sayap.

Titik Nol, sebuah buku karya Agustinus Wibowo kupegang erat. Aku sering membaca tulisannya, tapi aku belum pernah membeli bukunya. Banyak teman yang merekomendasikan aku untuk membeli buku karyanya. 

Tanpa ragu, aku mengambilnya dari jejeran rak. Buku yang bersampul biru dengan kombinasi kuning ini kutimang dan kuamati, tulisan “Best Seller Travel Writing” pada sampul membuatku yakin membelinya. Terlebih aku juga suka dengan tulisannya.

“Perjalananku bukan perjalananmu. Perjalananku adalah perjalananmu.”

Sepenggal kalimat itu terpampang di sampul, di bawahnya lagi barulah tulisan hitam besar Agustinus Wibowo – Titik Nol (makna sebuah perjalanan). Buku yang kali pertama dicetak Gramedia pada bulan Februari 2013 setebal 556 halaman.

Kulihat harga di sampul belakang, nominal Rp. 125.000 harganya. Ini artinya jumlah yang sama dengan uang recehku. Tidak perlu berlama-lama, langsung ambil dan kembali menuju kasir.

“Harganya Rp. 125.000 ya mas.”

Aku mengangguk, kuambil uang receh dari dalam drybag-ku. Sebelum ke Gramedia, aku sudah membagi uang tersebut sesuai pecahan dan mengumpulkan tiap 5000an. Kuserahkan uang recehnya, salah satu kasir menghitung.

“Uangnya pas ya mas,” Ujar kasir padaku.

“Iya mbak. Makasih ya. Oya, boleh kan kita foto bareng? Uang recehnya dilihatkan,” Pintaku.
Uang receh, buku baru, dan Kasir Gramedia
Uang receh, buku baru, dan Kasir Gramedia
Gayung bersambut, salah satu calon pembeli yang antri di belakangku bersedia mengabadikan. Lagipula sewaktu meminta diabadikan memang tidak sedang ramai. Selesai foto, aku mengucapkan terima kasih dan pulang ke kos membawa satu koleksi incaran. Masih ada beberapa lagi incaran, tapi sengaja aku tangguhkan. Uangnya sementara untuk membeli tiket ke Malang.

Misi berhasil! Membeli koleksi buku menggunakan uang receh. Aku pulang ke kos penuh bahagia. Sempat aku unggah di sosial media, beragam komentar teman di Instagram maupun di Facebook.

“Anti mainstream!” Ujar teman di Instagram.

“Ini pasti modus mau dekatin kasirnya,” Komentar teman di Facebook.

Cerita tak berakhir sampai di sini. Balik dari Gramedia pukul 10.45 WIB, aku sempat mengedit beberapa draf blog. Sekitar pukul 13.30 WIB, aku mencari dompet. Di sudut kamar tak kutemukan dompet tersebut. Aku ingat terakhir memegang dompet saat di kasir Gramedia. Entah kenapa tadi aku menaruh dompet di meja kasir barengan dengan drybag saat memasukkan kamera.
Foto bareng kasirnya dan uang receh *eh
Foto bareng kasirnya dan uang receh *eh
Kembali aku memesan ojek daring dan menuju Gramedia. Sampai di sana langsung menemui kasir. Satu kasir masih sama, satunya lagi sudah ganti.

“Mbak tadi ada barang tertinggal?” Tanyaku.

“Oalah mas yang tadi toh? Yang beli buku pakai uang receh. Iya tadi dompet mas ketinggalan. Bentar ya mas, biar diurus sama petugas keamanan.”

Ternyata masih ingat mbak kasirnya. Satpam laki-laki menghampiriku sambil membawa dompet lusuh kado dari mantan yang berisi uang Rp.50.000 + Identitas + NPWP + ATM + Tiket Kereta Malang PP.

“Ini tadi diamankan sama kasir, mohon saya catat nama anda dan alamatnya ya mas,” Ujar satpam.

Terima kasih untuk kedua kasir perempuan di Gramedia Jalan Sudirman Jogja karena sudah menyimpan dan mengamankan dompetku. Oya, kalau mau mengamankan hatiku juga boleh loh mbak. Eh!! *Pengalaman membeli buku di Gramedia ini pada hari Minggu, 02 April 2017.

30 komentar:

  1. MasyaAllah, inisiatif nya keren. Bisa dicontoh, hehe.

    Saya sudah baca bukunya, bagus sekali. Cara Agustinus Wibowo mengabadikan kisah perjalanannya sungguh menarik dan objektif. Daripada apa yang dia rasakan, beliau lebih banyak menceritakan tentang kondisi sekelilingnya. Seolah-olah saya ikut serta dalam perjalanan itu.

    Kisah-kisahnya asyik dan inspiratif. Saya kagum sekali dengan cara beliau merefleksi dan bereaksi terhadap kejadian-kejadian yang terjadi selama perjalanan. A really recommended book for explorer.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menulis seperti cara beliau menuangkan benar-benar sulit. Beliau bisa menceritakans egala yang dilihat dengan elegan. Harus banyak baca dan mencobanya :-)

      Hapus
  2. Waaa asline wes janjian ki hayoo kok duite iso pas hahahaha..
    Titik nol memang paling bagus di antara dua buku lain agustinus wibowo, aku sudah bbrp kali baca dan gak bosen :D

    BalasHapus
  3. Balasan
    1. Mbaknya membuat saya tidak disibukan mengurusi surat kehilangan :-)

      Hapus
  4. Wah jogja juga ya mas, saya malah ga tau ada kampung buku jogja

    BalasHapus
  5. Wah bisa keren nih inisiatif nya. Buku tentang Titik Nol keren bacaan nya..

    BalasHapus
  6. uang receh ga selamanya untuk membeli permen dan uang kembalian,tapi terkadang uang receh menjadi penyelamat di perjalanan dikala terdesak bang hehe
    btw buku titik nol bisa membuat mata terbuka lebar tentang kehidupan dan perjalanan bang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar bang, uang rceh adalah segalanya kala mepet.
      Sengaja dibuat beli buku, karena buku adalah investasi :-)

      Hapus
  7. Apik Mas. Aku seneng membacanya. Inspiratif.

    BalasHapus
  8. Saya mau beli ga kesampaian nih,,
    waktu ke surabaya juga bgitu sudah di depan toko malah ada sesuatu jadinya pulang,, hiks hiks...

    BalasHapus
  9. Wkwkwk ada-adaa aja dirimu ya mas sitam...ngikik aku..

    BalasHapus
  10. Terlalu antusias beli buku baru pakai uang receh sampai dompet ketinggalan :)

    BalasHapus
  11. Wah,,,benar-benar anti mainstream...Kalau di Jerman pasti nggak mau mereka nrima uang receh. Aku aja pernah nyoba...apalagi mint afoto...bisa-bisa aku dipanggilin security hahaha. Mbak-mbaknya tersenyum bukan karena nggak percaya...tapi ngira kamu habis ngamen...wkkkk *just kidding

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, biarlah dikira abis ngamen. Yang penting hepi dapat beli buku

      Hapus
  12. duh. aku ngebaca 2 kali bukunya. ada 3 seri yang semuanya bagus. aku berharap bisa ketemu langsung ama penulisnya. semoga punya kesempatan ngebuat trilogi juga. amin

    BalasHapus
  13. Duluuu, pas aku msh jd teller di bank, banyak nih nasabah yg setor duit pake uang receh. :p. Aku sih g ada masalah nerima, as long as udh dipilah2 yg rapi dan diselotipin setiap 10 keping. Jd mempermudah kita kan

    Tp pernah dulu ada nasabah yg seenaknya aja naro seplastik msh blm dirapiin. Duuuh pgn aku getok :p. Memperlama kerjaan dan kasian nasabah yg nunggu jadinya..

    Skr kalo anakbuahku ada yg trima uang koin gini dan blm dirapiin, ya udh aku ikut bantuin biar cepet jadinya :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heheheheh, memang sudah seharusnya sebelum disetor kudu dirapiin kok. Biar sama-sama enak :-D

      Hapus
  14. hehe keren ... orang beli motor pakai recehan aja boleh ... kalau beli buku pakai receh ditolak .. bener2 keterlaluan deh :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, makanya sebelum beli ditanya dulu kang. Kalau ditolak ya nasib hahahahhaha

      Hapus

Pages