Kugapai Satu Bintang - Nasirullah Sitam

Kugapai Satu Bintang

Share This
Anak dan buku bacaan - sumber unsplash
Anak dan buku bacaan - sumber unsplash


Semburat sinar mentari mulai menerangi sebagian belahan bumi. Anak kecil sedang sibuk mempersiapkan peralatan bekerja. Dipandanginya gedung menjulang tinggi di hadapannya, lantas dialihkan pandangan pada gubuk kecil tempatnya tidur. Tersenyum pahit ia saksikan perbedaan yang mencolok.

“Kau pandang sejuta kali pun tak akan berubah gubuk ini menjadi gedung mewah.”

Tersentak kaget anak kecil mendengar suara berat. Sang ayah sudah siap menjemput rezeki bermodalkan kantung plastik dan alat pencungkil sampah yang terbuat dari besi bermata kail. Dia hanya diam, mungkin benaknya masih berpikir keras, kenapa kehidupan itu perbedaannya begitu jauh.

“Cepat kamu cari barang bekas yang banyak. Jangan diam mematung di sana.”

Mendengar bapaknya sudah menggertak, anak kecil itu langsung bergegas pergi dari gubuk. Sedikit langkah berat berharap hari ini ada keberuntungan. Tujuannya tentu tempat pembuangan sampah, pabrik, maupun tempat pengumpul limbah rumah tangga.

Dia masih berjalan lambat. Lagi-lagi dipandanginya puluhan gedung menjulang tinggi. Tak pernah sedikitpun tebersit dia apa yang bisa dipandang saat orang-orang ada di lantai paling atas tersebut. Tentu hanya orang kaya yang bisa naik ke atas.

“Andai aku terlahir di keluarga yang kaya, tentu tidak mungkin aku bergelut dengan barang-barang bekas seperti ini.”

Kembali ia susuri jalanan kecil, langkahnya tertuju sebuah sekolah yang tidak jauh dari tempat tinggal. Dilihat banyak anak sebayanya tersenyum riang menyambut pagi. Pakaian rapi, seragam bersih, dan senyuman sumringah.

Berbeda dengan dia, tak ada senyuman seperti anak sebayanya. Sedari lahir, dia langsung bergulat dengan kehidupan nyata. Bangun pagi, mengumpulkan barang rongsok, lantas dijual guna menyambung hidup.

Satu-satunya tempat di sekolah yang dituju adalah tempat sampah. Berbaur dengan lalat, ia sibuk menyibak timbunan sampah. Tangan-tangan kecil cekatan memiliah mana rongsok yang bisa dijual, dan mana yang sama sekali tak berguna.

“Wah lumayan ada buku ceritanya.” Teriak dia dengan sedikit tertahan.

Beberapa buku cerpen sudah lusuh dan agaknya sudah mulai rusak diambilnya. Sempat dibersihkan, dan dimasukkannya pada kantung plastik yang lainnya. Kemudian ia kembali larut pada aktivitas seperti biasa.

“Dapat banyak, Gus?”

“Sedikit pak. Mungkin tadi sudah didahului orang.”

“Tak apa. Istirahat dulu kamu.”

"Baik pak."

Agus, itulah nama yang tersemat pada anak kecil ini mengais barang bekas di tempat sampah sekolah meski harus menahan rasa capek yang luar biasa. Dia putus sekolah sejak kelas tiga SD, terpaksa kerja karena memang orangtuanya tidak mempunyai biaya untuk melanjutkan pendidikan. Direbahkan tubuh kecil pada lantai beralas kardus.

Ingin secepatnya ia tertidur nyenyak, bergembira ria kala mimpi indah. Tapi percuma mata tidak mau terpejam, dia teringat dengan tumpukan buku kumal hasil temuannya dari sampah. Bergegas diambil satu buku cerita, lalu terlarut dalam alurnya.

Sesekali terdengar cekikikan yang ditahan. Suara sayup tersebut sampai di telinga sang bapak. Sedikit terheran, apakah anaknya bermimpi lucu atau sedang menginggau. Beliau melongok, tampak anaknya sedang menggamit buku kumal sembari tersenyum.

“Baca apa Gus?”

Sontak Agus terkejut. Tak semapt disembunyikan buku kumal yang membuatnya terhibur saat membaca.

Eeeggh, i…nni pak, Agus baca buku.” Jawabnya gugup 

“Buku apa, Gus?” Dipinjamnya buku itu dari tangan anak kesayangannya.

“Itu buku cerita tentang kancil pak.”

Sang bapak mengangguk. Dipandanginya buku kumal, diamati semua gambar yang tertera pada tiap lembar. Dia tidak tahu apa sebenarnya cerita yang bisa membuat anaknya tertawa, yang dia lihat hanyalah gambar seekor kancil sedang berjalan diatas punggung beberapa buaya.

“Aku ingin sekolah lagi pak," Suara Agus tercekak

“Apa!?”

Tersentak orangtua itu mendengar permintaan anak semata wayangnya, dilihatnya mata itu dengan seksama. Tidak ada kebohongan dari sinar mata anaknya itu, dia benar-benar serius dengan apa yang diucapkan .

“Apa yang kamu dapatkan kalau kamu sekolah? Apa kamu bisa menjadi lebih kaya kalau kamu sekolah?” Tanya bapak itu dengan suara tertahan.

“Aku ingin… Aku ingin pintar pak, biar bisa mendapatkan banyak ilmu.” Suaranya tersedak menjawab pertanyaan bapaknya.

“Sudah sana kamu cari barang bekas lagi!! Lupakan niatmu untuk sekolah!!”

“Tapi pak?!”

Direbut buku yang ada di tangan anaknya. Buku tersebut dilemparkan ke lantai. Agus ketakutan, dia hanya diam melihat apa yang akan dilakukan oleh bapaknya. Di sudut kamar itu dia menangis, dilihat bapaknya sedang tersimpuh di hadapannya.

“Maaf pak, Agus salah. Harusnya Agus memang bekerja untuk mencari uang.” 


Dia melangkah keluar dari gubuk itu, kembali dia membawa peralatan yang memang sudah disiapkan sejak tadi, kali ini dia bertekad mencari uang yang banyak agar dia bisa menebus kesalahan atas ucapannya tadi ke bapaknya. Bayang-bayang sekolah memudar.

“Gus!! Agus!!!, ke sini bentar.”

Seorang wanita tua tergopoh-gopoh menghampiri Agus, di tangan kanannya membawa selembar kertas. Entah kertas apa itu, sepertinya dia meminta agar Agus bisa membantunya, setelah agak dekat dia sodorkan kertas itu kepada Agus.

“Tolong kamu baca ini, kata pak pos tadi ini surat dari anak saya yang kerja di luar negeri. Biasanya yang membaca Rian. Tapi dia tidak ada di rumah.”

Diambilnya surat itu dan dibaca dengan suara agak keras agar ibu itu paham dengan isi surat. Ibu tersebut mendengarkan dengan saksama. Sekali-kali dia tersenyum saat mendengar isi dari surat itu.

“Sudah bu, cuma itu saja tulisannya.”

“Terima kasih, Gus.” Senyuman terkembang seorang ibu mendapatkan kabar baik dari anaknya yang jauh di negeri orang.

Agus melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda, cukup cekatan membongkar-bongkar sampah yang baunya menyengat. Aroma sampah sudah kebal di hidungnya. Matahari cepat meredup, senja waktu yang tepat bagi anak kecil itu kembali pulang.

“Mandi dulu, baru makan malam bareng bapak.”

“Ya pak.”

Beranjak dia menuju belakang. Kamar mandi hanya ditutup ala kadarnya saja, diguyurnya seluruh badan agar bau keringat dan sampah menghilang. Lantas mengganti baju dan kembali duduk di depan bapak.

“Ini makan, tadi bapak dapat makanan dari orang yang bagi-bagi di jalan raya.”

Nasi bungkus lengkap dengan lauk tempe, serta sedikit sayuran dilahap. Lupakan makanan bergizi, bisa mengganjal perut semalam saja sudah suatu anugerah. Usai makan dia menuju kamar kebanggaannya, dia tidak lantas tidur tapi termenung di jendela seraya memandang langit.

“Coba aku pintar, sudah kuraih kalian.” Gumannya seraya memandang bintang.

“Apa kamu benar-benar ingin sekolah Gus?”

“Bapak!? Iya pak. Agus ingin bisa pintar, bisa sukses.”

“Kamu tahu, untuk makan saja kita susah. Bagaimana kalau kamu sekolah, siapa yang membantu bapak nyari uang Gus?”

“Selama ini bapak banting tulang, Gus. Bapak hanya bisa sanggup seperti ini. Kalau kamu sekolah, siapa yang bantu bapak cari uang untuk biaya hidup kita.” Tambahnya.

Agus terdiam membisu, dia merasa bersalah atas permintaanya yang berlebihan. Dia sadar kalau kehidupannya tidak mendukung untuk sekolah, yang mendukung untuk bersekolah hanya semangat dan keingian semata.

“Ini ambil”

“Apa ini pak?” Dipegangnya sebuah bungkusan koran yang sangat lusuh.

“Buka saja.”

Detak jantung berderap. Ia mulai membuka bungkusan kecil sembari menerka-nerka isinya. Dilihatnya sebuah kain putih, setelah dipegang ternyata dua pakaian seragam sekolah SD.

“Maksudnya pak?”

“Ya mulai besok kamu sekolah. Itu bekas seragamnya Ridho. Anak dari perumahan sebelah yang katanya pas buat kamu.”

Tubuh Agus seperti tersengat listrik, dia langsung bangkit dan merangkul bapaknya. Tanpa disadari dia menangis kencang dibahu sayang bapak. Bayangan sekolah yang pudar kembali hadir.

“Makasih pak, makasih! Agus janji sepulang sekolah nanti Agus bantu bapak nyari uang.”

Tanpa terasa air mata mengalir dari mata orangtua itu. Ia merasakan ada kebahagian di antara kejamnya kota dalam mengarungi hidup. air mata bahagia karena dia masih bisa membuat anak kesayangannya bersorak riang.

“Cukup sampai bapak saja garis keturunan keluarga kita yang buta aksara, dan tidak pernah mengenyam sekolah.”

“Sudah sana tidur, biar besok pagi-pagi kamu bisa bangun dan mulai sekolah.” Ujar beliau sambil berlalu.

Agus tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya, dia menuju jendela dan berteriak lantang.” Mulai besok akan kuraih satu bintang, dan aku kumpulkan menjadi satu agar aku bisa menjadi orang sukses.”

Kemudian dia menuju balai bambu itu untuk tidur, dia tidak sabar untuk melihat dirinya lagi memakai seragam dan melangkah ke sekolah yang sama tetapi beda tujuan. Mulai besok dia tidak cuma seorang anak yang pergi mencari barang bekas, tetapi juga sebagai anak yang mencari ilmu untuk mengubah hidupnya agar menjadi lebih baik.
*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages