Disudut salah satu pendopo pantai Depok aku berkumpul dengan
teman-teman, aku bisa merasakan begitu serunya aktifitas mereka dari
sore hingga malam ini. Suara riuh mereka seakan-akan ingin mengalahkan
kerasnya dentuman ombak yang menghempaskan diri ketepi pantai. Namun,
aku sendiri malah terdiam diantara keramaian mereka dan merasa kesepian
ditengah keramaian saat ini.
Ditemani secarik kertas dan pena pinjaman dari salah satu temanku,
jemari ini mulai menari-nari dan mengumpulkan ribuan huruf yang terbang
tanpa arah diatas pikiranku. Dengan pasti aku mulai mengambil
huruf-hurut itu dan menatanya menjadi suatu kalimat pada secarik kertas
ini.
Tanpa kusadari aktifitas ini terhenti dengan sendirinya, Sepasang
mataku dengan sorotan nanar tanpa ekspresi melihat kearah puluhan orang
sedang duduk santai mendengar ceramah yang diberikan pemateri. Mata ini
menyapu seluruh arah setiap sudutnya, entah objek mana yang akan
dipilihnya agar aku dapat fokus melihat ke satu arah saja. Setidaknya,
kalau tatapan ini fokus ke satu arah pasti mataku terlihat begitu
menikmati dan tidak berekspresi seperti saat ini.
Hembusan angin malam menerjang ragaku, terasa agak dingin namun aku
tetap bisa bertahan tanpa harus mengeluh dan berkata “Aku pasti
kedinginan dan masuk angin kalau begini terus semalaman”. Diantara
hembusan angin laut malam hari ini, ada sebuah bisikan yang kudengar
secara jelas. Suara tersebut terdengar begitu jelas, dan begitu dekat
ditelinga.
“Apa yang kamu pikirkan sekarang?”
Aku terkejut sejenak, kemudian aku berusaha menguasai pikiran agar
tetap sadar. Aku mencoba mencari darimana sumber suara itu berasal, tapi
aku tidak bisa melihat siapa-siapa.
“Arrhhgghh, esss..siiapaaa? Aku?”
“Apa mungkin aku bertanya kepada puluhan orang yang ada didepan kamu? Sedangkan orang yang mendengarkan ini hanya kamu?”
“Aku?”
“Untuk apa pertanyaan itu harus aku jawab. aku tidak mengenalmu,
bahkan aku juga tidak bisa melihat wujudmu.” Teriakku pelan dengan nada
bimbang.
Kali ini, aku lebih kuatkan lagi indera pendengaran ini. Dengan hati
antara percaya dan tidak aku berusaha untuk kembali mendengarkan suara
yang misterius itu. Sejenak terasa lengang, walau sebenarnya suasana
didekatku begitu riuh.
“Arrhhgg, ternyata lamunanku terlalu tinggi.”
“Lamunan? Kamu kira ini hanya khayalanmu? Ini bukan lamunan, tapi ini
kenyataan.” Suara misterius itu kembali terdengar lebih jelas lagi.
Untuk kedua kalinya aku dibuatnya terkejut, raut muka ini sudah mulai
berubah. Kegelisahan, ketakutan, ketidakpercayaan, penasaran bercampur
aduk menjadi satu. Tidak lama kemudian mulailah rasa ketakutan ini lebih
besar, rasa kesadaran ini mulai jauh dari tubuhku. Keringat dingin
mengalir walau sebenarnya malam ini angin begitu terasa menghempas
badanku.
“Jadi apa tujuanmu?” Nadaku mulai meninggi.
“Bukankah aku sudah bertanya dari tadi, apa pertanyaanku masih tidak bisa kamu pahami? Hah!”
Nyaliku langsung menciut takkala suara misterius itu mulai meninggi
pula, mental baja ini mulai terkikis secara perlahan. Suara ini semakin
parau dan bergetar ketakutan, mimik ini bergetar entah gugup ingin
berkata apa. Semuanya tampak begitu menyeramkan, begitu menegangkan.
“Akkkuuuhhhh, akuuu tidak akan jawab pertanyaanmu.”
“Tidak akan menjawab? Sombong sekali kamu?”
“Ternyata ada juga orang yang sifatnya seperti kamu.” Tambahnya.
Ocehannya itu membuatku agak geram penuh emosi, darah ini mulai
mendidih dan mengalir bagaikan aliran listrik berjuta-juta volt. Dengan
sekuat tenaga aku berperang melawan ketakutan yang lebih dulu
menggerogoti tubuh serta mental ini.
“Apa kamu layak tahu apa yang sedang aku pikirkan, hah! Apa
pentingnya untukmu hai suara asing. Aku tidak tahu kamu itu siapa dan
darimana, aku tidak tahu wujudmu seperti apa? Aku tidak bisa mengenalmu.
Apa pantas aku berbicara dengan suara yang tidak jelas darimana
asalnya.”
Hembusan angin laut malam ini semakin kuat disertai butiran-butiran
pasir halus yang ikut berterbangan dari berbagai arah, namun aku tetap
duduk kokoh tanpa bergeser sedikitpun dari posisi semula. Aku kumpulkan
seluruh tenaga dan keberanianku untuk mengantisipasi balasan dari suara
tanpa wujud tersebut.
“Apa pentingnya kamu tahu siapa aku? Ternyata instingmu tidaklah lebih peka daripada insting hewan pemburu.”
“Maksud kamu apa? Hah! Karena kamu tidak penting, makanya aku tidak pernah mau menjawab pertanyaan konyolmu itu.”
“Ha ha ha ha ha.”
Suara tawanya menggema mengalahkan suara ombak, membuat emosi ini
semakin ingin muntab. Suara tawa yang terdengar jelas sebagai suatu
ejekan serta nada meremehkan itu membisingkan gendang telingaku.
“Bisakah kamu diam hai suara asing? Suaramu tidaklah lebih merdu dari nyanyian alam malam ini.”
“Oya? Begitu congkaknya kamu hai orang sombong. Lihatlah
sekelilingmu, mereka bercanda bersama. Mereka saling mengakrabkan diri,
tapi kamu? Kamu malah mementingkan egomu dengan duduk sendirian disudut
ini tanpa mau bergabung dengan mereka.”
“Kamu menyindirku? Bukankah ini hakku untuk berbuat semauku. Enyahlah suaramu dari terlingaku!”
“Itulah sifat burukmu manusia! Begitu labilnya egomu yang masih
mementingkan diri sendiri tanpa mau mengerti dilingkungan mana kamu
sekarang berada.”
“Begitu kolotnya hatimu, sehingga kamu tidak mau ikut bergabung
bersamanya. Bukankah kamu ataupun mereka ingin saling kenal? Kalau
begitu, bukan seperti ini caranya agar kamu bisa mengenal mereka semua.”
Sambungnya.
Aku terdiam mendengarkan suaranya. Antara rasa ingin marah, malu, dan
rasa penyesalan ini mulai menggelayuti hatiku. Ada benarnya apa yang
dia katakan, aku terlalu mementingkan egoku sehingga aku lupa kalau hari
ini adalah acara kami untuk saling mengenal satu dengan lain.
“Kenapa kamu diam? Apa kamu baru sadar? Atau kamu malu untuk berada disini sekarang?”
“Aku? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.”
“Ha ha ha ha ha ha, kamu terlihat begitu bodoh dengan ekspresi
seperti sekarang ini. Menurutku, lebih baik kamu sekarang berbaur dengan
mereka.”
Suara itu terdengar agak berlalu, entah mungkin dia ingin pergi atau
konsentrasiku yang sudah mulai memudar. Yang aku tahu saat ini adalah
hilangnya suara itu bersamaan dengan suara angin yang terdengar kembali
seperti semua. Terdengar seperti saat sebelum suara itu dating,
terdengar seperti suara khas angin malam ditepian pantai yang menerpa
segala sesuatu yang menghadang lajunya. Aku menganggukkan kepala setuju
dengan usulannya.
“Jadi siapa dirimu hai suara asing? Hai! Masihkah kamu mendengar suaraku!”
“Hai! Dimana kamu! Dimana suaramu! Dimana wujudmu!”
Aku berteriak sekeras-kerasnya, aku ingin mengertia apa tujuan suara
itu datang. Aku ingin mengetahui namanya, dan aku ingin berkata terima
kasih kepadanya.
Tiba-tiba…..!
“Rull! Ayo bangun. Hai! Bangun!”
Aku merasakan badan ini bergetar, badan ini seperti diguncang oleh
tangan-tangan orang banyak. Aku dapat mendengar suara orang
memanggil-manggil namaku. Tidak terdengar jelas, namun aku bisa
mendengar kalau suara itu memanggil namaku.
“Apphhhaaaa?” Ada apa?” Aku terbangun kealam sadarku.
“Ayo kita ke pantai, api unggun sudah siap dinyalakan bersama-sama.” Jawab Wandi.
“Api unggun? Jadi…..”
“Jadi apa? Kamu tertidur pulas disini dari tadi, peserta dan panitia sudah berjalan kepantai sekarang.”
“Ya sudah, kamu kumpulkan dulu tenagamu. Basuh mukamu dibelakang
sana, nanti nyusul kami dipantai.” Kata Wandi seraya berlalu dari
hadapanku.
Aku mulai mengingat-ingat setiap kejadian yang baru aku alami, ku
lihat pena, kertas, tas, dan lainnya masih ditempat semula. Ternyata aku
tertidur saat sedang asyik ingin menulis. Hanya terlihat tulisan
“Nasehat Angin Malam” yang baru tertulis dikertas ini.
“Apakah tadi suaramu hai angin malam?” tanyaku pada angin malam yang menerpaku.
Betapa bodohnya aku bertanya pada angin malam yang sudah pasti tidak
bisa menjawab pertanyaanku, tapi entah kenapa aku yakin kalau suara
asing tadi adalah benar-benar suara dari angin malam.
“Entahlah, siapapun kamu tadi yang memberi nasehat untukku. Aku beri
nama Angin Malam bagimu, semoga kamu suka dengan nama itu.” Gumanku
sendirian.
“Terima kasih Angin Malam, Nasehatmu begitu berarti bagiku.”
Akupun berlalu menuju pantai untuk berkumpul bersama, mencari arti
sebuah keakraban. Mencari arti sebuah kebersamaan dalam indahnya sebuah
persahabatan.
Baca juga postingan terkait sebelumnya
Senyum, Salam, Sapa
Arti Sebuah Sahabat
Arti Setiap Tetesan Air Hujan
Baca juga postingan terkait sebelumnya
Senyum, Salam, Sapa
Arti Sebuah Sahabat
Arti Setiap Tetesan Air Hujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar