“Berbahagialah kamu jika pernah meniti langkah di antara tegalan sawah. Melangkah pelan dan berharap tak terpeleset, apalagi sampai terjerembab ke dalam lumpur. Kedua tanganmu bersentuhan langsung dengan daun dan tangkai padi. Merasakan bagaimana rasanya berdiri di tengah-tengah sawah. Melihat padi di sekeliling menguning, siap dipanen. Dan mendengar teriakan para petani disertai kepakan sayap burung-burung terbang berhamburan.”
Desiran angin membuat dedaunan padi bergoyang. Tangkainya makin menunduk karena gabah-gabah yang banyak sudah mulai menguning. Hamparan luas di bawah kaki Gunung Gendero Karimunjawa tampak kuning. Tepat dibaris paling luar sana terdapat gelantungan plastik berwarna putih dan mengkilat yang tertambat dibentangan tuas tali panjang.
Sekali mengayunkan tuas tali, seluruh benda-benda yang terikat bergoyang. Tujuan petani mengikat plastik dan kaleng bekas itu adalah untuk mengusir burung yang hinggap di padi dan mematuk gabah. Teriakan petani biasanya terdengar lantang dan agak menggema. Kalaupun tak menggema, kadang hilang terbawa angin.
Tentu saja burung-burung yang sedianya ingin mematuk gabah pun kaget dan berterbangan. Padi memang sudah menguning. Siap dipanen para petani setempat. Kaki Gunung Gendero ini menjadi pemandangan yang menarik bagiku. Jarang-jarang melihat sawah di kaki bukit (Gunung Gendero).
Entah benar atau tidak, penamaan Gunung Gendero ini berasal ketika masa penjajahan Belanda, warga pribumi menancapkan dan mengibarkan sang Merah Putih di puncak gunung tersebut. Aku mendapat cerita ini dari sesepuh yang sudah meninggal beberapa tahun silam. Dulu beliau menceritakan tentang Gunung Gendero pada tahun 2001, ketika aku masih SMP. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita tersebut, bagiku Gunung Gendero tetaplah gunung yang menjulang gagah dan kharismatik.
“Kita berhenti di sini dulu, Ded,” Pintaku lagi.
Hamparan padi di dusun Cikmas, Karimunjawa |
Ini kali kedua aku meminta Dedi menghentikan motornya. Pertama waktu aku ingin mengabadikan Dermaga Kecil, dan sekarang kami pun sudah duduk santai di tepian jalan menghadap ke arah hamparan padi.
Gubuk kecil di tengah sawah terlihat jelas, tak jauh dari sana juga ada kain yang dipasang petani pada batang/dahan pohon yang tertancap di tanah. Aku masih mengamati petak sawah ini seksama.
Menyandarkan diri pada beton yang ada di tiap tepian jalan berwarna hitam putih. seperti sedang memikirkan apa yang akan aku lakukan di sini. Tak mungkin aku hanya duduk diam saja di persawahan kampung Legon Cikmas ini.
“Aku nanti jalan di tegalan sawah. Jadi pas di tengah-tengah kamu potret saja,” Dedi pun hanya mengangguk.
“Intinya nanti yang kutonjolkan adalah kaki gunung Gendero. Jadi nanti kamu ambil dengan latar gunung Gendero,” Tambahku.
Gubuk di tengah hamparan sawah |
Aku beranjak menerabas padi yang melengkung tertunduk menahan beban berat gabah. Sengaja jalan hati-hati agar tak terjerembab ke lumpur. Tak hanya malu nantinya, tapi yang paling kutakutkan adalah merusak padi tersebut.
Sementara itu dari tepian jalan Dedi sudah teriak-teriak kalau beberapa kali mengabadikan. Aku masih terus berjalan, merasakan kulit ini mengenai dedaunan padi. Tak hanya hamparan padi yang membuatku tertarik berfoto di sini. Alasan lainnya adalah di belakang sana, tepatnya di kaki Gunung Gendero berjejer pohon Kelapa.
Disadari atau tidak, pohon Kelapa yang tumbuh berjejer layaknya pagar pembatas petakan sawah satu dengan lainnya. Walau belum tentu petakan sawah ini milik orang yang berbeda. Bisa jadi semua petakan sawah ini dikelola bareng-bareng oleh warga kampung Legon Cikmas yang bersedia meluangkan waktunya untuk bertani.
Padi telah menguning, siap dipanen |
Lumayan lama juga kuhabiskan di sini. Mengabadikan diri, dan memikirkan apa nantinya yang ingin kutulis mengenai sawah di Karimunjawa. Sebenarnya aku lebih berharap dapat menyaksikan para petani ini sedang memanen padi. Sehingga aku tahu peralatannya yang digunakan itu sudah modern atau masih tradisional.
Beberapa waktu lalu (tahun kemarin) aku tak sempat melihat mereka memanen, hanya mendapati jika gabah-gabah tersebut sudah dijemur di tepi jalan. Mungkin lain waktu aku bisa menyaksikannya.
Beruntunglah aku dan warga Karimunjawa lainnya, walau hidup di tengah-tengah pulau namun masih bisa menyaksikan padi secara langsung. Karena tak banyak orang yang mengira jika di Karimunjawa itu ada sawahnya. Bisa jadi kalian juga berpikir seperti itu. *Mengabadikan diri di area persawahan Karimunjawa pada hari Sabtu; 26 Maret 2016.
Sejahtera banget kayanya kalau masih banyak daerah pesawahan :) Kalau disini sawah itu sudah jadi angan-angan semata mas karena sudah habis dengan lahan-lahan perumahan :( sehingga sulit untuk mendapatkan beras lokal di daerah sendiri
BalasHapusSudah banyak memang sawah menajdi bangunan tinggi, semoga kita tetap bisa memelihara sawah :-)
HapusMelihat padi selalu menghadirkan sensasi tersendiri.
BalasHapusAntara takjub dan bersyukur
Ya harusnya memang kita bersyukur dengan adanya hamparan sawah :-)
HapusKarimunjawa ternyata punya sawah ya,, ketahanan pangan..
BalasHapusmakan nasi sambil dikawani ikan segar. Maknyuus..
Walau tidak banyak tapi cukuplah membuat kami anak pantai tidak penasaran seperti apa padi tersebut :-)
Hapuspadi menguning memang spot yang bagus untuk foto2
BalasHapusbtw .. saya baru tahu kalau di karimun jawa ada pesawahan .. dasar kuper
Heee, nggak banyak yang tahu kok mas. Dulu malah lebih banyak lagi, hanya sekarang tinggal beberapa petak saja,
HapusEntahlah kalau liat padi siap panen gitu yang terpikirkan di kepala: seperti ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.
BalasHapusMas sitam punya sepetak sawah juga kah?
Atau sepetak kenangan?
Aku punyanya sekarung mantan, mbak Dwi. Gimana? Keren toh? hahhahahahha
HapusMembayangkan persawahan sesungguhnya pasti lebih menarik dan indah, di dalam foto yang terlihat sepenggal-penggal pun terkesan hijau kekuningan menandakan kesuburan persawahan.
BalasHapusKarena sebenarnya Indonesia adalah negeri yang subur :-)
HapusKoyok daerah Imogiri arah Siluk
BalasHapusWoo berarti pernah tak lewati pas neng arah siluk hahahhahah
Hapusadem bingit kalau melihat daerah perswaahan ya, sdh lama tak foto di tempat kayak gini, serasa mau papan padi,. heheh
BalasHapusHeeee, jangan mapan di padi. Ntar padinya rusak akkakakkakaka
HapusKalau Di Bandung udah mau hampir punah nih, persawahannya. Jangankan di kota, di kampung pun semakin terkikis. Banyak faktor tertentu.
BalasHapusNice post, ceesku.
Sawah jadi lahan basah bagi pihak-pihak yang ingin membangun, dan hampir di setiap tempat kota besar keberadaannya hampir terkikis semua.
HapusWaduh.. jadi kangen makan bersama di tengah sawah... apapun menunya pasti enak rasanya..
BalasHapusWah kalau itu benar-benar menyenangkan :-D
HapusKenapa fokus nya gunung, bukan kamu aja yg lagi melangkah manjah di tengah sawah hahaha
BalasHapusKalo fokusnya aku ntar nggak seru,om. Kecuali di sana aku sama siapa gitu (cari pendamping cewek) hahahhahh
HapusAku baru tau ada sawah cantik begini di Karimun Jawa. Ah jadi pengen ke Karimun Jawa lagi
BalasHapusSawahnya tidak luas mbak, hanya beberapa petakan saja. Karimunjawa sekarang banyak berubah, sudah banyak bangunannya sekarang
Hapuswah ternyata karimun jawa punya padi juga ya mas keren dah karja
BalasHapusDari dulu ada beberapa jenis padi di Karimunjawa. Tapi yang sekarang masih bertahan jenis padi sawah ini.
Hapus