Museum Tani Jawa Indonesia di Yogyakarta |
Menjelang
pukul 10.00 WIB, aku sudah menginjakkan kaki di Desa Wisata Kebonagung Imogiri. Rencananya selama dua hari di sini
aku akan menikmati akhir pekan ala desa. Tentu menjadi dua hari yang
menyenangkan, mengingatkan ketika kembali ke kampung halaman. Di sini nantinya
aku tidak akan mendengar riuh suara kendaraan bermesin dan lalu-lalang orang
yang melintas di ruas jalan. Hanya ada suasana lengang nan nyaman. Atau malah
berbincang santai bersama warga setempat.
Kunjungan
pertama ketika sampai di Desa Wisata Kebonagung Imogiri adalah Museum Tani Jawa
Indonesia. Museum Tani, begitulah kira-kira orang menyebutnya. Kunjungan ini
sekaligus untuk menepati janjiku yang tahun lalu batal ke sini. Aku antusias
mengunjungi museum tersebut. Jika kuingat, sudah cukup lama aku tidak
berkunjung ke museum.
Terletak
di Kampung Wisata Cadran, Kebonagung, Imogiri. Bangunan museum ini tidak megah.
Jangan membayangkan Museum Tani ini sebuah bangunan besar dan megah. Di sini
hanya terlihat bangunan berukuran kecil yang berbentuk semacam pendopo. Di
depannya ada banyak warga setempat berkumpul, mereka menyambut setiap rombongan
yang datang, termasuk aku. Aku berbaur dengan rombongan turis manca yang juga
datang berkelompok satu bus.
Rombongan turis manca memasuki Museum Tani Jawa Indonesia |
Secara
bergantian setiap wisatawan masuk ke dalam museum. Saking ada banyak orang yang
masuk, di dalam terasa sesak. Tak ayal, aku kembali keluar menunggu waktu agak
sepi. Ada dua pintu di sini, setiap wisatawan yang masuk dapat keluar dari
kedua pintu. Namun untuk masuknya mereka melalui satu pintu yang di atsnya
terdapat tulisan “Museum Tani Jawa Indonesia”.
Aku
kembali masuk saat melihat turis yang lebih dulu ke dalam sudah keluar. Sebuah
riasan dari jerami yang diikatkan pada papan tepat di depanku. Dihiasi anyaman
bambu dan seikat jagung yang sudah mengering. Tepat di sisi kiri ada kotak
uang. Kita memang tidak dimintai biaya masuk, sehingga alangkah lebih baik kita
memasukkan sedikit uang kita ke dalam kota tersebut. Sehingga nantinya uang
tersebut dapat digunakan untuk merawat tempat ini.
Sebagian turis manca sudah keluar dari museum |
“Museum Tani Jawa Indonesia ini dirintis
oleh Kristya Bintara, Lurah Desa Kebonagung, Imogiri Bantul, dan berdiri pada
tanggal 26 September 2005. Awalnya museum ini berada di rumah Joglo milik
Subandi, dukuh Kanten. Pada tanggal 4 Mei 2007, Museum menempati tanah milik
Sarjono/Purwo Wiyono di kampung wisata Candran, Kebonagung, Imogiri, Bantul
dengan nama Museum Tani Jawa Indonesia - museumjogja.org.”
Perpindahan tempat dan bangunan ini berkaitan dengan musibah gempa Yogyarkarta
pada tahun 2006.
Melewati
gerbang berbalut jerami, aku melihat pajangan koleksi foto yang sudah difigura.
Ada banyak gambar yang dicetak dan dipajang. Setiap gambar diberi keterangan di
bawahnya. Adapun gambar-gambar tersebut adalah aktifitas warga ketika
menggunakan alat untuk bertani. Seperti membajak sawah menggunakan Kerbau. Alat
tradisional yang digunakan bernama Luku.
Berbagai foto yang sudah difigura terpajang rapi |
Di dalam
sini aku mendengarkan informasi dari salah seorang perempuan berjilbab mengenai
Museum Tani. Beliau menaparkan sejarah berdirinya museum dan koleksi yang ada
di dalamnya. Menggunakan bahasa Indonesia memang, bagi turis manca, mereka
dapat menerima keterangan tersebut dari pemandu yang menerjemahkan ke bahasa
Inggris. Tidak lengkap memang, tapi cukuplah membuat para turis
mengangguk-angguk sembari mencerna pemaparan dari pemandu.
Aku ikut
bergabung dirombongan ini, mbak tersebut (tidak kuketahui namanya) sedang
menjelaskan gabah-gabah yang ada di dalam botol. Setiap botol yang berisi gabah
terdapat tulisan nama gabah. Nama-nama seperti Padi Merah, Ciherang, dan Pepe
(yang kuingat) adalah nama varietas padi. Tentu ketika kita masih sekolah SMP
saat mata pelajaran Biologi ingat betul dengan kata Oryza sativa. Nama latin padi tersebut amat melekat pada ingatan
kita sampai sekarang.
Perempuan ini menerangkan tentang Museum Tani Jawa Indonesia |
Sejenak
kutinggalkan perempuan berjilbab ini yang menerangkan tentang museum. Aku
mengelilingi bangunan tidak luas ini. Mataku tertuju pada alat untuk membajak
sawah yang berada di sudut lain museum, masih di dalam museum. Ini adalah Luku, alat tradisional yang digunakan
untuk membajak sawah. Di beberapa tempat, Luku
biasanya ditarik menggunakan dua ekor Kerbau. Jika tidak ada Kerbau,
biasanya petani memanfaatkan Sapi untuk menarik Luku saat membajak sawah.
Bagi
kalian yang lahir di era 90an ke bawah dan tinggal di desa, tentu Luku bukan alat yang asing kalian lihat.
Aku sendiri pernah menaiki Luku
ketika masih kecil saat bapakku membajak ladang untuk menanam Jagung di
Karimunjawa. Sebuah label kecil terpasang di Luku yang ada di museum. Tulisan 1938 ada di Luku tersebut. Aku melihat tulisan lagi yang ada di sana, di Luku satunya lagi, yang masih satu
tempat juga terdapat tulisan Luku Tertua
Tahun 1928. Benar adanya, tulisan empat angka tersebut memang tahun pembuatan Luku. Selain Luku, yang terpajang ditembok ada juga berbagai jenis topi. Topi
tersebut terbuat dari anyaman bambu, dan identik dipakai para petani ketika
sedang berada di sawah/ladang.
Luku, alat tradisional untuk membajak sawah/ladang |
Caping; Topi yang terbuat dari anyaman bambu. Topi ini identik dipakai petani |
Koleksi
lain yang ada di Museum Tani ini adalah perkakas tukang. Beberapa alat tersebut
masih sering kita jumpai saat melihat para tukang kayu dan tukang batu bekerja.
Sebuah gergaji belah diletakkan berdampingan dengan alat belah lainnya. Aku
tidak tahu nama asilnya apa jika di Jawa, tapi alat gergaji putar, seperti
itulah sebutannya. Tentu kalian masih sering melihat alat gergaji seperti ini
kan? Atau malah baru pertama kali melihat?
Di sana
juga terdapat alat yang digunakan untuk membelah batu. “Belencong (juga disebut Ganco atau Gancu). Alat ini digunakan untuk
membelah batu, menggali tanah, dan berfungsi seperti cangkul. Ganco biasanya
mempunyai dua mata yang berbeda, runcing dan dan pipih seperti cangkul. – Wikipedia.” Apa nama alat ini di
tempat kalian? Kalau di tempatku ini namanya Ganco. Hanya saja yang di museum
ini kedua matanya sama pipih, hanya beda arah saja.
Perkakas lain yang ada di dalam museum |
Usai
memutari isi museum, aku beranjak keluar. Di sini sedari tadi sudah banyak
warga setempat yang melakukan banyak hal untuk memikat para turis manca. Tak
hanya membatik, warga setempat juga memperlihatkan kelihaiannya dalam membuat
perkakas terbuat dari tanah. Seorang ibu sangat lihai membuat alat semacam pot
kecil ataupun asbak dari gumpalan tanah. Beliau mempersilakan para turis
mencoba jika berminat. Tidak butuh waktu lama, ibu yang di depanku sudah membuat
banyak perkakas dari tanah.
Seorang ibu membuat pot dari gumpalan tanah |
Di sudut
yang tidak jauh dari tempat masuk museum, sedari tadi sekelompok perempuan tua
asyik memegang Alu dan memukul Lesung padi sembari bernyanyi. Ada lima
nenek-nenek berumuran lebih dari 50an tahun masih cekatan memukul Lesung secara
bergantian dengan suara yang berbeda. Beliau tak henti-hentinya memukul sambil
bernyanyi. Sebuah pesan bagaimana beliau (para petani) yang sumringah ketika
menumbuk padi saat panen tiba. Namun sekarang, Lesung dan Alu menjadi alat yang
sulit ditemukan karena sudah banyak alat modern yang memudahkan para petani
ketika panen tiba.
Memukul lesung menggunakan alu, dan bernyanyi |
Di
halaman museum juga terdapat gerobak kecil penuh dengan hasil kerajinan warga
setempat. Ada banyak tas kain, batik, dan lainnya yang dijual di sini. Jika
pengunjung berminat membeli, mereka bisa langsung menuju stand tersebut dan
memilih barang yang ingin dibelinya. Tidak banyak memang, tapi cukuplah untuk
dipajang dan kemungkinan bisa dibeli pengunjung yang datang.
Selesai
juga kunjunganku di museum. Aku beranjak mengambil sepeda yang terparkir di
belakang museum, memilih sepeda tua untuk kunaiki menuju rumah yang akan
kuinapi. Sepeda tua antik dan di depannya terdapat tulisan “Desa Wisata
Kebonagung” menjadi pilihanku. Aku mengayuh sepeda ini menyusuri jalanan yang ada
di dalam kampung. Menikmati setiap kayuhan dan melihat pemandangan yang
didominasi sawah. Terlihat juga kesibukan para petani selepas panen padi
dipinggir jalan. Aku menyapa dan menyempatkan mengabadikannya.
Bersepeda selama di Desa Wisata Kebonagung, Imogiri. |
Beruntung
rasanya bisa berkunjung ke Museum Tani yang ada di Desa Wisata Kebonagung.
Walau tidak banyak koleksinya, aku dapat melihat beberapa alat yang sekarang
sudah jarang dipakai, atau malah mungkin sudah terlupakan. Alat seperti Luku mengingatkan kita bahwa Indonesia
ini adalah Negara Agraris. Negara yang kaya hasil buminya, dan berharap bisa
kembali makmur pertaniannya. Sebuah perjalanan panjang dari Negara pengekspor
beras, menjadi Negara yang mengimpor beras saat ini. Sebuah harapan masih terus
terselip, berdoa agar tanah subur ini benar-benar bisa membuat rakyat menjadi
makmur. *Kunjungan ke Museum Tani di
Imogiri pada hari Sabtu, 17 September 2016.
mukul lesung kayak gitu sepertinya sudah jarang sekali terlihat :d
BalasHapusInipun ada karena ada tamu-tamu (pengunjung) dari luar. Sepertinya juga bukan kegiatan setiap hari ada, mas
HapusNah, lebih disayangkan lagi kalo gtu, mereka melakukannya bukan atas dasar tradisi, tp cuma untuk dipertunjukkan :(
HapusKarena tuntutan ekonomi, mas. Beliau biasanya kerja di sawah :-)
Hapusmuseum tani...ada sapinya enggak yg buat membajak?
BalasHapusAda buk, malah kita bisa bajak sawah dan nanam padi.
HapusEh busyet ternyata ada juga museum tani ... gabah ini banyak macam nya yaa, gw kalo inget nya cuman beras cianjur yg ngetop di kampung ku
BalasHapusSelama ini yang belum ada museum mantan, om. Mau bikin? :-D
Hapusjadi inget nenek gue yang di kampung, suka ngajak ke sawah trus liat2in ini namanya apa itu namanya apa :D
BalasHapusHehehehe, mengenang masa kecil yang menyenangkan.
HapusLuku sudah semakin langka yah di desa, sudah diganti traktor mesin. Omong-omong ini museum keren juga, kumasukin list kunjungan dulu ahh. Jarang jarang ada museum di desa yang sengaja angkat keunggulan Indonesia sebagai negera agraris ke gini. ^^
BalasHapusKalau pas main ke Jogja bisa dikunjungi mas. Lokasinya tidak jauh dari Makam Imogiri.
HapusMembaca ini berasa kembali ke masa lampau,,, asik banget,,,
BalasHapusJadi ingat waktu diajak naik Luku hahahahha
Hapussuka lihat ibu2 yg maen lesung
BalasHapustrus mukulnya bernada jadi kelingin joged juga hehe
Beliau sambil nyanyi mocopatan
HapusLuku telah berganti traktor. Kangen juga ngeliatnya ya
BalasHapusSekarang memang diganti dengan traktor, mas.
HapusWah seru kyknya nih da museum tani di imogori, itu nnt kalo ke jogja bisa mampir :D
BalasHapusBisa sekalian exlpore kawasan bantul kalau ke sini
HapusWah menarik ini, Mas Sitam. Belajar di perkuliahan gak cukup untuk mengenal pertanian dan petani. Kayaknya kalau ke Jogja nanti, selain camping di gunung/pantai, mesti merene :D
BalasHapusPas dengan jurusanmu mas ehheheheheh.
HapusSekalian main luku di sini :-D
Luku ini masih ada loh mas di kampung halamanku..tapi makin lama makin sedikit sih yang punya digantikan traktor
BalasHapusIya, luku sudah sangat langka banget di sini
HapusWah, museum yang baru aku tahu. Ibu-ibu masih semangat melestarikan lesung, noted kalau yogya semoga bisa mampir
BalasHapusAyo mampir ke sini mbak. Di sini sangat sederhana sekali :-)
HapusBerarti isi museumnya alat-alat pertanian semua yah?
BalasHapusSebagian alat pertanian, ada juga gerabah yang terbuat dari tanah.
Hapuswah aku baru tahu mas kalo itu nmanya Luku. Aku bilangnya Bajakan atau alat membajak.
BalasHapusJadi penasaran jenis2nya padiiii, dulu cuma tahu di buku biologi. itupun gak mendetail
Wahhhh
HapusAku tahunya Luku sedari kecil akakakakka
keren ada museum tani .. museumnya rame lagi, tapi rame sama bulenya .. hehehe, orang kita biasanya tidak terlalu suka jalan2 ke museum :)
BalasHapusNggak sengaja pas ke sini lagi banyak pengunjung bule, kang. Jadi bisa berbarengan masuknya.
Hapus