Patung Pangeran Diponegoro menunggangi kuda di Gua Selarong |
Konon Gua Selarong adalah salah satu tempat bersejarah pada masa penjajahan. Terlebih sosok pejuang; Pangeran Diponegoro pernah bermarkas di sini. Bahkan di tempat inilah beliau menghimpun kekuatan melawan penjajah. Setidaknya itulah yang tersirat kala kita berkunjung ke area Gua Selarong.
Lokasi Gua Selarong ini ada di Dusun Kembangputih, Kecamatan Pajangan, Bantul. Lokasi di Pajangan dan sekitarnya sering kali didatangi para pesepeda. Ada banyak destinasi wisata yang tidak jauh dari sini. Bagi pesepeda, di manapun ada destinasi wisata; mereka pasti akan mengunjunginya.
Aku pernah sekali berkunjung ke area Gua Selarong, namun belum pernah menaiki anak tangga yang mengantarku ke atas untuk melihat Gua Kakung dan Gua Putri yang berjejeran. Saat itu, aku hanya duduk di area parkir, menunggu peserta sepeda yang datang silih berganti. Maklum kala itu sedang bertugas jadi panitia agenda sepeda.
Berselang lebih dari dua bulan kemudian, ada kesempatan menyambangi gua tersebut. Kali ini kunjunganku bersama teman-teman pesepeda. Ratusan sepeda beriringan dari titik kumpul pertama; Alun-alun Utara Yogyakarta, berjalan tertib menuju PASTY, dan berlanjut menuju Gua Selarong.
Sekian lama aku vakum bersepeda akhir pekan. Waktuku lebih banyak bermain di luar Jogja, dan sekarang semacam pembalasan. Aku kembali menikmati akhir pekan dengan bersepeda. Lebih dari 20KM jarak yang aku tempuh dari kos sampai lokasi. Kontur jalanan lebih banyak datar daripada perbukitan membuat nyaman. Tidak harus menguras tenaga, lagipula fisikku belum bugar.
Iring-iringan sepeda tertib diruas kiri jalan |
Satu jam perjalanan naik sepeda, rombongan pesepeda sampai gerbang. Beruntung beberapa hari sebelum acara, Mas Aji (koordinator Pitnik) sudah lebih dulu sowan ke petugas. Hari ini kami semua dibebaskan retribusi. Acara ramah tamah usai, aku menyempatkan diri untuk menelusuri sudut Gua Selarong.
Patung Pangeran Diponegoro berwarna putih kusam menaiki kuda menjulang tinggi di sisi kiri jalan menuju gua. Di sampingnya terdapat denah lokasi gua, lengkap dengan keterangannya. Sayang denah besar tersebut sudah kusam termakan waktu. Pun dengan patungnya. Butuh warna yang lebih mengkilap agar tampak lebih bagus.
Portal kecil setinggi 70 senti meter menutupi jalan menuju ke atas. Aku melewati jalan yang tidak tertutupi. Di depanku terlihat anak tangga panjang naik ke atas. Sebelumnya kulihat ada prasasti yang dibuat oleh Dinas Pariwisata DIY. Prasasti di sisi kanan jalan terpampang sebuah tulisan tentang sejarah Gua Selarong.
“Gua Selarong berada di Dukuh Kembangputih, Kecamatan Pajangan, Bantul. Gua yang terbentuk di perbukitan batu padas ini digunakan sebagai markas gerilya Pangeran Diponegoro (1825-1830) melawan tentara Hindia Belanda. Gua Selarong secara diam-diam telah dipersiapkan untuk dijadikan markas besar oleh Pangeran Diponegoro.”
“Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya pindah ke Gua Selarong setelah rumahnya di Tegalrejo diserang dan dibakar oleh Belanda. Markas Pangeran Diponegoro di Gua Selarong ini pernah diserbu oleh Pasukan Belanda, akan tetapi markas tersebut telah kosong karena beliau beserta keluarganya telah berpindah tempat dan meninggalkan Gua Selarong.”
Keterangan singkat ini membuat aku lebih paham tentang keberadaan gua tersebut. Hanya saja tidak banyak pengunjung yang tertarik melihat keterangan pada prasasti. Mungkin akan jauh lebih baik di sana disediakan semacam majalah dinding agar pengunjung jauh lebih dapat membaca tiap keterangan yang ingin disampaikan.
Menunggu dagangan di tepian tangga |
Sapaan para simbah yang menjual pisang dan sawo bersahutan dengan ibu-ibu yang menawarkan sarapan pecel. Mereka menantikan rejeki dari para wisatawan yang datang. Masih pagi memang, pengunjung masih sedikit. Mereka yang ke atas didominasi teman-teman pesepeda. Puluhan anak tangga kulewati. Sampailah di atas tebing batu padas, di sana sudah tertata rapi.
Batu padas layaknya dinding tebing menjulang tinggi. Di atasnya pohon-pohon besar tumbuh rindang. Akarnya membelit tiap sela bebatuan dan tersebul besar dipermukaan. Gua Selarong memang tepat di bawah tebing besar, mulut gua cukup lebar. Tepat dbatas tebing, pagar besar kombinasi cat putih dan kuning tertanam.
Gua Selarong dipotret dari salah satu tebing |
Teduh rasanya istirahat di atas gua. Pohon rindang membuat sinar mentari hanya sedikit menembus. Batu-batu padas terselimuti lumut. Sebenarnya gua ini sudah terawat dengan baik. Infrastruktur anak tangga menuju atas sudah bagus, tempat sampah juga tersedia. Sayangnya masih ada coretan vandal di dinding gua.
Aku tidak memotret bagian dalam gua, dari luar saja sudah terlihat kedalamannya tidak lebih dari tiga meter. Di samping kanan mulut Gua Kakung, sudah tercoret besar tulisan para oknum yang tidak bertanggungjawab. Coretan ini tidak dari cat, seperti dari paku yang digoreskan pada dinding.
Lasem, Wonosobo, dan beberapa tulisan tidak berguna lainnya terpampang jelas. Entah sampai kapan oknum-oknum seperti ini sadar jika apa yang dilakukan adalah tindakan tidak terpuji. Hampir di setiap gua kering yang aku kunjungi, pasti kutemukan coretan tak bermutu.
Coretan-coretan di dinding Gua Selarong |
Dua gua yang berjejeran, Gua Kakung dan Gua Putri. Dari beberapa literatur yang aku baca, di sinilah Pangeran Diponegoro bertempat saat bergerilya. Gua Kakung ditempati oleh Pangeran Diponegoro, sedangnya Gua Putri ditempati oleh Raden Ayu Ratnaningsih. Menurut literatur, Raden Ayu Ratnaningsih merupakan selir yang paling setia setelah kedua istri Pangeran Diponegoro meninggal.
Pangeran Diponegoro memang tepat memilih Gua Selarong sebagai lokasi bergerilya. Di kedua sisi terdapat air terjun musiman. Jika kita datang ke sini saat musim penghujan, kita akan melihat air mengalir dari atas menuju sendang di bawah. Mata air untuk penghidupan pada saat perjuangan.
Gua Kakung yang ditinggali Pangeran Diponegoro |
Gua Putri ditempati oleh Raden Ayu Ratnaningsih |
Di musim kemarau seperti ini, tidak terlihat air mengalir. Tempat yang biasanya ada aliran air terjun tertinggal hanya lumut tebal berwarna kuning disertai semak belukar memanjang ke bawah. Eksotik juga kalau diabadikan. Hanya terdengar suara tetesan air saja.
Di sekitaran bawah air terjun terdapat sendang yang dulunya digunakan untuk aktifitas sehari-hari. Sendang Komotetes, Sendang Komodadi, Sendang Pitu, Sendang Umbulmoyo, dan Sendang Manikmoyo.
Lokasi air terjun musiman di Gua Selarong |
Kukelilingi tiap sudut area gua. Ada anak tangga menuju atas, sampai di sana terdapat gazebo. Anak-anak kecil sedang asyik duduk santai. Melihatku datang, seluruh mata tertuju padaku.
“Dek, ada jalan memutari gua ini nggak kalau ke sana?” Tanyaku seraya menyapa mereka.
“Tidak ada mas, mentok nanti malah makam. Kalau mau ke air terjun turun lagi ke arah Gua Kakung.”
Baiklah, aku harus kembali ke bawah. Pasti air terjun yang dimaksud anak-anak adalah yang kering tadi. Lokasinya memang di sebelah kiri Gua Kakung. Area Gua Selarong ini sebenarnya luas, sudah ada juga beberapa permainan anak. Hanya saja tidak terurus dengan baik. Berharap pengelola bisa merias kembali agar banyak wisatawan yang datang ke sini.
Kurasa cukup puas mengelilingi Gua Selarong. Sebenarnya terasa kurang lengkap karena keterangan sejarah tempat ini hanya berada di prasasti. Sehingga jika ingin mengetahui informasi lebih detail, kita harus mencari literatur sendiri di jurnal dan referensi lainnya.
Lahan bermain untuk anak-anak |
Aku menuruni anak tangga, meninggalkan Gua Kakung dan Gua Putri yang selama lima tahun ditinggali Pangeran Diponegoro untuk melawan penjajah. Kita tahu perjuangan Pangeran Diponegoro tidak hanya di sini saja, bahkan ketika beliau dibuang ke Manado pun tetap berjuang.
Beliau dipindahkan lagi ke Benteng Rotterdam Makasar tahun 1834 sampai meninggal di sana. Akhirnya tahun 1973, NKRI memberi pengakuan kepada Pangeran Diponegoro sebagai pahlawan nasional melalui Keppres No.87/TK/1973.
Kutapaki anak tangga menurun. Di sisi kanan masih ada simbah-simbah yang tidak bosan menyapa kami. Menawarkan buah yang dijual; puluhan buah sawo yang siap dimakan.
Buah Sawo yang dijual simbah-simbah di Gua Selarong |
“Berapa mbah?”
Aku berhenti sejenak, memperhatikan temanku yang membeli buah tersebut. Aku ikut antri di belakang, memilah-milah buah sawo yang sudah masak, siap dimakan. Buah Sawo salah satu buah yang paling senang kumakan, rasanya benar-benar manis.
Tidak berhenti di sana, aku hanya membawa bekal roti yang kubeli di toko. Sayang rasanya kalau sudah sampai di sini tapi tidak sarapan pecel. Sangat menggoda pecel yang dibungkus dengan daun pisang. Terlebih saat ini waktu yang tepat untuk sarapan.
“Pecelnya satu bu. Tidak pakai nasi dan mie.”
“Pengunjungnya ramai nggak bu tiap akhir pekan?” Tanyaku sembari menunggu pesananku.
“Sepi mas. Sekarang wisatawan yang ke sini sudah jarang. Banyakan orang lokal sendiri yang datang,” Jawab beliau.
Aku tidak tahu ada berapa banyak wisatawan yang datang ke sini tiap hari. Bisa jadi memang sepi karena di sepanjang Bantul sekarang banyak destinasi wisata yang instagramable bertebaran. Hanya sedikit anak mudah yang tertarik dengan wisata heritage seperti ke Gua Selarong.
Pecel murah banget dan bikin perut kenyang |
Campuran daun bayam, kembang turi, daun pepaya dan beberapa sayur lainnya dibalur dengan sambal kacang. Awalnya aku hanya mengambil lauk satu gorengan, nyatanya sampai pecel ini habis lauk pun bertambah dengan 2 tahu bacem. Satu porsi pecel, satu gorengan, dua tahu bacem tanpa minum (bawa sendiri), aku hanya mengeluarkan uang 7 ribu saja.
Perut kenyang, tenaga sudah kembali pulih. Waktunya mengayuk pedal sepeda balik kos. Mengikuti jalan yang sama, tepat satu jam aku sampai di kos. Kembali bersepeda akhir pekan, mengunjungi destinasi wisata, dan menulisnya di blog. Sebuah aktifitas yang sempat aku rindukan di tengah-tengah kesibukan. *Bersepeda menuju Gua Selarong Bantul pada hari Minggu, 23 Juli 2017.
Ini kesukaanku. Wisata petualang. Kembali ke alam. Iya, entah kenapa paling suka ke tempat yang minim pengunjung. Lebih greget, gitu!
BalasHapusJauh lebih menyenangkan lagi jika ada banyak informasi yang dipajang, sehingga kita benar-benar bisa menikmati :-D
HapusDuh sedih lihat coretan di dinding gua itu. Kalau di Sumsel sini, gua putri yang paling terkenal. Sama-sama cakep, karena sudah dibagusin pelatarannya buat para wisatawan.
BalasHapusSawonya nampak menggiurkan. Tapi ntah kenapa lidahku menolak makan buah ini. Mungkin karena rasanya terlalu manis hehehe
omnduut.com
Benar om, sedih kalau ada coretan seperti di atas.
HapusWah sawo emang manis banget om. Enak loh om hehehhhehe
Hmmm pecelnya menggoda, apalagi abis gowes butuh bensin perut😁
BalasHapusHahahaha, sampe kos kembali sarapan *eh
HapusWaduh airnya "air Terjun" habis, perlu di "jok" lagi nih hehe...
BalasHapusTelepon ke pengisian ulang? buahahahhah
HapusAkhirnya posting juga tentang nyepeda, eh ini juga nyindir aku juga, lama ga posting nyepeda...saya pernah ke sana, beberapa tahun lalu. Masih belum dibangun pagar depan goa kakung dan putri, waktu itu pas musim hujan jadi masih bisa menjumpai air terjun ini. :) nice artikel...broe
BalasHapusBanyak yang tanya kenapa aku gak posting sepedaan lagi buahahahaha
Hapuseh jadinya kita gak boleh masuk ke gua ya mas?
BalasHapusaku yo seneng nek buah sawo. bisa dimakan sama kulit kulitnya
Boleh masuk kok. Cuma aku sendiri yang sengaja nggak mau masuk hahahahha
HapusDan aku baru tau jika Diponegoro punya selir, apakah perlakuannya sama dengan istri sah?
BalasHapusItu pecelnya menggoda iman, ahahaha! :D
Hemmm itu pertanyaan susah mas :-D
HapusKapan singgah Jogja, biar bisa berburu pecel bareng
Kamu serius kenyang kak makan pecel segitu ?
BalasHapusby the way kamu kudu ikutan goes goes macem tour de flores atau tour de singkarak atau tour de celebes yang bakalan belangsung beberapa bulan lagi maaaas.
Aku kalau ada rejeki dan sehat, mau lah diajak goes kesini. Tapi kalau aku lelah, kudu bonceng aku yaaah :p
Kenyang sih, tapi pas abis gowes balik ya laper lagi buahahahhha.
HapusAku pengennya nyari Tour de Mantan aja :-D :-D
Ayo sepedaan bareng
aku mau ke sana, yeey (duh kayak anak kecil)
BalasHapusseneng liat alam tapi bisa belajar sejarah gitu mas
iya sayang banyak coretannya ya.
Padahal gua ini bersejarah banget, perang jawa yang heboh itu...
Benar mas, masih banyak oknum yang tidak bertanggungjawab seperti ini.
Hapuskenapa gamau masuk ke gua? hehe
BalasHapussha pernah ke bantul, duluuu banget, sampe lupa ke sana mau ngapain :D
Hahahhaha, entahlah, pengennya cuma motret dari luar aja.
HapusJadi kapan mau ke Bantu lagi?
Kalau kesini selalu satu yang ku ingat, ada yang jualan sawo,jadi pengen kesini lagi. Dah lama terakhir ke goa selarong.. Apalagi bisa gowes, duh, mantep..
BalasHapusKe sana lagi mas. Buaahahahaha
Hapustahu goa selarong dari buku pelajaran sejarah .. ternyata begini toh penampakannya.
BalasHapusMemang Anak muda jaman sekarang sering wisata tapi tidak tertarik wisata heritage .. wisata instagramable yang bisa di dipakai untuk photo eksis :)
Anak-anak sekarang lebih suka yang spotnya lucu buat posting di Instagram kang :-D
Hapusmurah amat 7 ribu doank nasi pecelnya,,,kembang turi :( kangen,,, tapi agak pait sih menurut aku... setuju banget ama komentar BERSAPEDAHAN. Tapi ya menurut aku, meskipun aku suka mempelajari sejarah sebuah tempat juga, aku tak men-judge mereka2 yang suka jalan2 untuk foto2 saja, karena setiap orang kan kesukaannya beda2, kalau mereka bahagia dengan apa yang mereka lakukan, jalan2, foto2, update ig, kita juga lakukan yg kita suka, pelajari sejarahnya, ambil ilmunya, bagikan dengan sesama :)
BalasHapusHehehehehe
HapusBenar juga sih. Memang pengelola harus bisa membaca situasi sekarang, dan semoga bisa merias menjadi lebih baik dan membuat orang tertarik untuk datang.
Btw, coretan2 di gua itu bikin sedih, pecelnya enak, lama g makan pecel. padahal ada pedagang asongan yg sering lewat depan rumah, jd pen beli.
BalasHapusBenar banget mas. Kalo sempat ketemu orang-orang seperti ini bawaannya pengen nyoret-nyoret mukanya :-D
HapusCoret-coretan itu mengganggu banget btw.
BalasHapusAnyway baru tau ternyata Mas Nasir suka sepedaan. :D
Vandalnya memang menggangu mas.
HapusHeheheh, hanya menyempatkan sepedaan kok :-D