Cerita Kala Mendaki Gunung Kembang Wonosobo - Nasirullah Sitam

Cerita Kala Mendaki Gunung Kembang Wonosobo

Share This
Puncak Gunung Kembang
Puncak Gunung Kembang
Mendaki gunung adalah salah satu hobiku. Ada semacam gairah kala aku menyusuri tiap tapak jalur pendakian, melepas lelah di tiap pos, bercengkerama dengan kawan, atau duduk bersandarkan pohon sembari mengatur nafas. Semua terasa menyenangkan. 

Seperti yang aku lakukan kali ini, rombongan berjumlah 8 orang rencananya ingin mendaki Gunung Kembang. Gunung yang mulai dilirik pendaki untuk menepi. Gunung Kembang berada di Desa Blembem, Darmakasian, Kretek, Wonosobo. Pendakian kali ini melalui jalur Blembem. 

Kami berangkat 8 orang dari Jogja, lantas berkumpul di Tugu Ireng yang menjadi perbatasan Jogja-Magelang. Aku dan Fajar sudah sampai di titik kumpul, sementara kawan yang lain masih dalam perjalanan. Pukul 08.00WIB, teman yang lain baru berdatangan. Padahal rencana awal, kami sudah sepakat kumpul di tempat ini pukul 07.00WIB. 

Rombongan sudah lengkap, kami melanjutkan perjalanan menuju Wonosobo. Rute yang kami lewati merupakan jalur alternatif. Menyusuri jalan Borobudur, Setelah semua berkumpul kami berangkat, lewat jalur alternatif Borobudur, hingga melintasi Sapuran, salah satu kecamatan yang ada di Wonosobo. 

Perjalanan panjang kurang lebih membutuhkan waktu 3 jam untuk sampai di basecamp. Seingatku sekitar pukul 11.00WIB, kami sudah sampai lokasi. Basecamp ini berada di pinggir jalan, sehingga mudah ditemukan. Sejenak kami istirahat sembari memesan makan, perut belum terisi selama perjalanan. Teman rombongan ada yang memesan nasi bungkus untuk dibawa ke puncak. 

Keramaian di basecamp semakin terlihat. Banyak pendaki berdatangan, entah itu yang baru turun dari puncak ataupun yang hendak mendaki. Selepas salat zuhur, kami disibukkan menata ulang barang-barang yang dibawa. Tak lupa kami mengecek perlengkapan seperti tenda, flysheet, kompor, gas, nesting, jas hujan, pakaian ganti, dan logistik. 

Tepat pukul 13.00WIB kami mulai berangkat menuju puncak. Tak lupa teriring doa sebelum berangkat. Nantinya akan ada beberapa pos sebelum sampai puncak, estimasi perjalanan 4-4,5 jam. Kugamit kerilku sembari memanjatkan doa. Karena setiap pendakian yang diharapkan adalah dapat kembali dengan selamat. 

Ketinggan gunung Kembang 2320MDPL, sebenarnya tidak terlau tinggi, tapi gunung ini mempunyai keunikan tersendiri. Sebelum gunung ini ramai dikunjungi, 5 bulan pertama saat dibuka untuk umun, pendaki yang minat tidak banyak. Berbagai publikasi melalui media sosial membuat gunung ini mulai ramai dikunjungi oleh pendaki. Awalnya hanya ada 20 pendaki perbulan, kini sudah ratusan pendaki yang ingin menjajal jalur gunung Kembang. 
Keluar dari basecamp menuju kandang celeng, hamparan kebun teh
Keluar dari basecamp menuju kandang celeng, hamparan kebun teh
Setapak demi setapak perjalanan ini dimulai. Ada beberapa pos sebelum sampai di puncak. Hamparan kebun teh menjadi suguhan yang istimewa. Lansekap alam ini memikat untuk diabadikan. Jalur yang kami lewati mempunyai nama-nama unik, aku sedikit tersenyum jika teringat nama-namanya. 

Jalur pendakian menguras tenaga. Salah satu spot awal bernama Kandang Celeng; tempat ini terdapat gubuk, ada pula kolam berbentu persegi panjang yang di dalamnya banyak Kecebong. Berlanjut naik, ada namanya Istana Katak; di sini ada dua kolam, dan masih dihuni Kecebong. 

Usai melintasi berbagai jalur, akhirnya sampai juga kami di Pos 1. Pos ini dinamakan Liliput, entahlah, aku tidak tahu perihal penamaannya. Tempat di pos ini lumayan luas, di sini pula aku dan rombongan melepas lelah cukup lama. Sembari mengatur nafas, kami menikmati camilan coklat. 

Sedikit demi sedikit perjalanan mulai terasa capeknya. Pos 2 kami lewati, lokasinya tidak cukup luas. Hingga tidak terasa kami sampai di Pos 3. Menariknya di Pos 3 ini terdapat akar belukar yang dapat dipakai main ayunan. Pikiranku terbesit pada film Tarzan. Aku tersenyum sendiri membayangkan jika bermain ayunan di sini. 
Istirahat di Pos 1
Istirahat di Pos 1
Pada titik selanjutnya, jalur yang dilewati adalah sabana. Jika biasanya sabana itu pada bentangan tanah yang relatif datar, di sini posisinya berada pada tanah yang menanjak. Sabana terlewati, lali-lagi rute tanjakan yang ada di hadapan kami. Jalur ini disebut dengan istilah “tanjakan mesra”. Saking mersanya, sampai-sampai terasa tak habis-habis. 

Sampai di puncak sekitar pukul 17.00WIB. Tidak ada agenda khusus, dan kami hanya ingin menikmati perjalanannya. Bonus selama perjalanan tentunya tanjakan. Selain itu kabut turun silih berganti. Membuat pemandangan kadang hanya putih. 

Waktunya mendirikan tenda, kami mencari tempat yang datar agar saat di tempati nyaman. Di puncak sudah ramai para pendaki, akhirnya kami mendirikan tenda dekat dua pohon kecil agar bisa dijadikan bantuan mendirikan flysheet untuk dapur. Semua telah terpasang, usai salat magrib, kami berbincang sembari menikmati kopi. Aku sendiri membuat seduhan Jahe wangi. 
Jalur pendakian yang menguras tenaga
Jalur pendakian yang menguras tenaga
Selang beberapa waktu gerimis datang, rinai hujan ini semakin lama semakin lebat.ada waktu tiba-tiba hujan reda. Malam makin larut, ketika kawan yang lain masih asik bersenda gurau, aku sudah memejamkan mata, menikmati waktu istirahat setelah mendaki. 

Pukul 02.00WIB dinihari aku terbangun karena hujan lebat, sementara flysheet tembus, dan air masuk ke tenda. Yosa (teman satu tenda) riuh. 

"Mbak, aku basah kok gak kerasa ya!?" 

Aku hanya menengok sebentar. Kupikir dia sedang mengigau. Mata kembali terpejam. Lagi-lagi aku terbangun satu jam kemudian. Kali ini sedikit lebih sadar, nyatanya memang basah. Aku beranjak keluar memeriksa. Ada patok yang terlepas, dan karena ini air hujan masuk. Terlihat juga Mas Ari (paling dekat dengan tenda kami) sibuk memperbaiki patok sambil kehujanan. 

Setelah kejadian itu, kami tidak bisa tidur. Aku dan Yosa tertawa mengingat kejadian yang barusan kami alami hingga subuh. Bergegas aku menyalakan kompor, merebus air, dan menyeduh Jahe. Selain itu kami juga memotong-motong sayuran untuk sarapan. Ada buncis, wortel, tempe, dan telur. 

Semua bahan terpotong, aku mulai membuat bumbu dan ingin memasak tumis. Satu persatu bangun, ada yang sibuk ingin buang hajat. Mumpung masih temaram, sehingga membuang hajat masih bisa. Jika sudah pagi, semuanya pasti tampak jelas. 

Sarapan sudah siap, ada tumis buncis wortel, kering tempe (yang aku bawa, di sini hanya tinggal dipanasi) dan telur goreng yang diirisi cabai. Nasi bungkus bekal dari basecamp masih ada, aku jadikan nasi goreng. Entah seperti apa rasanya. Bagi kami, kalau di gunung itu adanya enak dan enak banget. 

Sarapan sudah selesai, sementara puncak masih berkabut dan gerimis tipis. Kami mengabadikan foto bersama di plang puncak gunung Kembang. Plang ini menjadi spot yang menarik pendaki untuk antre berfoto. Seandainya cuaca cerah, gunung Sindoro akan telihat di depan tenda kami, dan sunrise menyeruak dari belakang gunung Sindoro. Kami belum beruntung, semoga bisa ke sini kembali untuk melihat pemandangan tersebut.
Foto bareng rombongan di puncak Gunung Kembang
Foto bareng rombongan di puncak Gunung Kembang
Saking asiknya berfoto, tak terasa sudah pukul 09.30WIB. Waktunya mengemasi peralatan dan turun pulang. Nyatanya hujan masih ingin turun, ketika kami packing, gerimis kembali menyapa. Mau tidak mau kami mengemasi barang sambil hujan-hujanan. Beruntung tiap orang membawa jas hujan. 

Perjalanan pulang makin berat. Jalur semakin parah karena hujan yang tak kunjung berhenti. Tanah menjadi seperti lumpur dan licin. Harus ekstra hati-hati ketika melangkah. Saking licinnya, acapkali ada yang terpeleset. Kukeluarkan webbing (tali berbentuk pita) dibantu Mas Tio yang di belakangku. 

Aku sempat terjatuh. Celana hitamku berubah menjadi coklat terkena lumpur. Walau jalurnya lumayan parah, perjalanan turun tetap aman. Kami bertemu Tim Sar sedang mengevakuasi pendaki yang cedera. Tepat pukul 13.00WIB, kami sudah sampai di basecamp. Hujan masih deras, kami membersihkan badan dan menyeduh teh panas sebagai pengusir hawa dingin. 
Jalur pulang berlumpur karena hujan
Jalur pulang berlumpur karena hujan
Musim hujan memang tidak cocok untuk mendaki. Jika tetap ingin mendaki pada musim penghujan. Kita harus mempersiapkan banyak hal lebih teliti lagi. Setidaknya, tenaga yang kita butuhkan jauh lebih berat ketika hujan datang dibanding pada musim kemarau. 

Meski mendaki malam sudah diperbolehkan, namun lebih disarankan untuk mendaki pagi hari, karena jalurnya masih alami. Selain itu jangan membawa tisu basah, usahakan membawa botol minum uang isi ulang agar gunung ini terhindar dari sampah plastik. *Pendakian Gunung Kembang pada tanggal 22-23 Desember 2018. 

Catatan: Perjalanan ini adalah cerita yang dikirimkan oleh Andaryani Dewi P (akun Instagram @andarbaebae). Semua dokumentasi diabadikan menggunakan gawai.

23 komentar:

  1. Baru dengar mt. kembang
    cocok nihh buat pemula

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sekilas dari cerita kawan yang menulis, gunung ini memang cocok untuk pemula.

      Hapus
    2. menurut saya malah kurang cocok untuk pemula, entahlah mungkin ini hanya pendapat saya hehe

      Hapus
  2. Wiih, lamanya ngga mampir di mari yah. Banyak tulisan baru ternyata. Btw ini sebelah mananya Sumbing Sindoro Mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahhaha, halo mas.

      Aku juga kurang paham lokasinya, nanti coba kutanyakan lagi ke penulisnya untuk dilengkapi.

      Hapus
  3. Saya tidak sanggup melakukan hal-hal semacam ini lagi ... usia sudah uzur *halaaaah* hahaha. Kalau saya ikut rombongan ini, sudah pasti bakal ngetem aja di Kandang Celeng. Ada gubuk, ada ada kolam. Tidur aja nungguin kalian yang muncak :D ha ha ha ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangankan kamu mbak. Aku aja kalau disuruh naik gunung mikir beberapa kali ahahahhahahh

      Hapus
  4. Pantes kok ga ada fotomu mas. Guestpost ceritanya ini? :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biar ada selingan mas. Guestpost yang menyenangkan karena topiknya menarik ahahahhaha

      Hapus
  5. Cieee cieee, mbak ini tah yg kemarin km pamerin, Mas? Uhuk
    Btw aku pengen ke mt. Kembaaaang, tp cuaca kurang klik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dibaca dulu, itu siapa pengirimnya. Duh kamu sebagai warganet kok kurang hebat stalkingnya.

      Hapus
  6. weleh, sekilas aku bacanya Gunung Kembar

    BalasHapus
  7. perjalanan mendaki gunung memang meletihkan ya .. tapi sepadan dengan pemandangan dan pengalamannya.
    seperti waktu yang tepat untuk mendaki adalah musim kemarau ya mas Sitam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar kang.
      Kemarin kawan satu ini juga mau mendaki pas musim hujan, namun ditangguhkan karena cuaca

      Hapus
  8. Luar biasa memang para pendaki ini hahaha
    Sudah susah-susah naiknya, tar turun lagi #eh

    Sampai sekarang saya belum pernah mendaki, belum bisa menemukan enaknya mendaki gunung. Kalau berdaki sih sudah pernah, gara-gara lama gak mandi
    Hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehhe,
      Orang-orang seperti ini sudah sedikit cocok untuk kerja lapangan seperti di Papua belum, daeng? hahahahah

      Hapus
  9. Mendaki gunung dan berpetualangan memang asyik bagi anak muda. Bisa mendapatkan pengalaman untuk menghadapi tantangan. Tidak patah semangat menghadapo medan berat. Layak untuk menempa mental sehingga siap menghadapi masa depan. Aktivitas mendaki gunung memang banyak nilai positifnya. Apalagi Anda semua juga rajin shalat selama pendakian. Allah pasti menolong Anda semua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sejatinya mendaki itu yang paling dinantikan adalah kembali dengan selamat :-)

      Hapus
  10. Beruntunglah pendakian kala itu tak ada lintah yang menggerayangi kaki....wkwmwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya juga ya ahhahahah
      Dia nggak cerita terkait lintah, mas.

      Hapus
  11. Wah mantap inget tahun 2018 naik ini gunung rasanya aduhai sekali, pendek tapi menyiksa, gak tau sekarang keadaanya gimana, salam lestari

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini pengalaman kawan yang ke sana, terus dia ingin pengalamannya ditulis. Keren deh

      Hapus

Pages