Kopi Kong Djie Belitung kala malam hari |
Lalu-lalang pengguna jalan di simpang warung kopi Kong Djie ramai. Aku sedikit bersabar sebelum menyeberang. Lampu temaram menerangi jalan, namun jalan simpang tiga ini tidak sepenuhnya terang benderang.
Tanpa menggunakan penyanggah kamera. Aku berusaha mengabadikan teras kedai kopi Kong Djie. Cuaca di Belitung menarik. Siang sempat hujan, berlanjut terang, dan menjelang malam kembali diguyur hujan. Tanah di dekat warung kopi masih basah. Memantulkan cahaya temaram dari tiang lampu.
Cuaca yang tepat untuk mengopi. Setiba di Belitung, aku memanfaatkan waktu untuk langsung menjelajah beberapa destinasi seharian. Mulai dari Replika Sekolah Laskar Pelangi, Museum Kata, hingga berlayar menuju Pulau Lengkuas. Malam ini baru berniat check in di MaxOne Hotel selepas menyeduh kopi.
Pengunjung yang ingin mengopi di Belitung |
Sebagai wisatawan yang mengunjungi pulau Laskar Pelangi, sekaligus pecinta kopi, tentu merapat ke warung kopi Kong Djie sebuah keharusan. Warung kopi yang sudah ada sejak masa perjuangan ini berdiri kokoh di lahan tidak luas. Pastinya dengan bangunan yang sederhana.
Masyarakat Belitung identik dengan mengopi di warung kopi. Setiap waktu banyak dihabiskan di kedai-kedai kecil sebelum maupun selepas beraktivitas. Kini, warung kopi menggeliat di segala penjuru Indonesia. Kong Djie tetap mempertahankan cara-cara sederhana dalam meracik kopi.
Kedatanganku disambut lelaki sedikit tambun dengan sumringah. Beliau sedari tadi disibukkan meracik kopi menggunakan ceret. Jejeran gelas sudah tertata rapi. Secara berkala beliau mengisi air pada gelas. Gelas-gelas ini berisi kopi hitam dan kopi susu.
Bang Ayogi menuangkan air panas pada gelas |
Perempuan muda yang menyajikan tak kalah cekatan. Sesekali dia memamerkan senyuman sembari menyapa pengunjung kedai. Dibantu bang Teguh, aku meminta izin memotret tiap sudut kedai kopi. Bang Ayogi merespon dengan ramah. Beliau memperbolehkanku hilir-mudik di kedai sembari memotret.
“Pokoknya abang boleh foto mana saja,” Suara kencang Bang Teguh memecah konsentrasiku.
Sudut yang paling wajib kuambil tentunya bagian depan yang menunjukkan nama kedai. Kong Djie Coffee. Tulisan tebal dari kayu mulai usang. Tiap hari harus terkena hawa panas dan asap air dari tungku pemasak air yang berbentuk ceret-ceret panjang nan tinggi.
Warung Kopi Kong Djie sejak 1943 |
Dari dalam warung kopi, ceret-ceret di atas tunggu airnya mendidih. Asap mengepul, di sampingnya tidak ketinggalan selembar serbet. Serbet tersebut digunakan sebagai pelapis pegangan ceret yang panas.
“Tidak apa-apa bang. Potret saja,” Kali ini Bang Ayogi yang berujar.
Sedari awal aku menunggu bang Ayogi mengangkat ampas kopi yang sudah digodok sejak tadi di ceret panjang. Namun, tak sempat kuabadikan. Beliau melakukan dengan cepat. Tahu-tahu, sudah tidak mengangkat ampas kopi dalam saringan.
Bau kopi merebak kala saringan berisi ampas kopi terangkat. Lantas dibuang ampas tersebut pada tempat yang sudah disediakan. Melihat ini, aku jadi teringat sebuah cuplikan video kawan yang merekam aktivitas warung kopi di Aceh. Rasanya mirip pemandangannya.
Jika wisatawan memesan kopi dengan duduk di bangku. Berbeda halnya dengan masyarakat setempat. Mereka malah sering membeli dengan membungkus kopi. Tidak perlu turun dari motor, cukup duduk di atas jok motor dan memberitahu jumlah pesanan.
Melihat dari dekat peralatan di Kedai Kopi Kong Djie Belitung |
Melihat geliat warung yang tidak pernah sepi, tentu warung kopi yang buka dari pagi hingga tengah malam ini menghabiskan banyak bubuk kopi. Sedikit kupancing Bang Ayogi terkait jumlah bungkus kopi yang dihabiskan dalam sehari.
Percaya atau tidak, dalam sehari-semalam, warung kopi ini menghabiskan 20 bungkus kopi bubuk. Satu bungkus kopi seberat 600 gram. Tidak terhitung berapa gelas kopi yang diminum semalaman. Bang Ayogi mengatakan, selain faktor wistawan, masyarakat di sini sudah melekat dengan mengopi.
Tempat untuk mengopi di Warung Kopi Kong Djie ini ada tiga ruangan. Bagian teras yang dilengkapi beberapa meja panjang, bagian dalam, serta bagian dekat tempat meracik. Di atas meja ada banyak camilan yang bisa dimakan sembari mengopi.
Menuangkan air kopi panas pada gelas |
Camilan yang kupesan dua jenis. Singkong goreng dan pisang goreng. Segelas kopi hitam pekat tanpa gula beserta camilannya sudah lengkap. Aku berhenti dari aktivitas memotret, duduk santai di kursi panjang seraya menyesap kopi.
Tanpa sadar, Bang Ayogi menghampiriku. Beliau membawa segelas kecil kopi yang isinya setengah. Disela-sela kesibukannya meracik kopi, beliau menyempatkan duduk dan berbincang denganku.
“Ini bang ada ekstrak biji kopi di warung Kong Djie.”
Sebenarnya aku bukan orang yang paham betul tentang rasa kopi. Namun, mendapatkan kesempatan menyeduh ekstrak biji kopi dari warung kopi legenda di Siburik, Belitung adalah suatu penghormatan.
Sruppp!! Sekali seduhan, kopi ini kunikmati. Ingin rasanya langsung menandaskan hingga lepas tenggorokan. Tetapi kutangguhkan. Sayang rasanya jika tidak bisa menikmati rasa yang tinggal di lidah.
Wisatawan maupun warga setempat mengopi bareng di Warkop Kong Djie |
Meski berbincang singkat, aku merasa terhormat karena langsung dijamu peracik kopi di sini. Kembali kunikmati kopi dan camilan sembari melihat wisatawan yang makin ramai. Meski hujan belum sepenuhnya reda, magnet warung kopi Kong Djie sangat kuat bagi wisatawan.
Sebelum pulang, aku menyempatkan membeli beberapa bungkus kopi bubuk yang dijual. Seingatku, satu bungkus kopi seharga Rp.35.000. Bubuk kopi ini nantinya yang menemaniku dalam menulis cerita waktu mengunjungi warung kopi Kong Djie di blog.
Malam semakin larut, aku bergegas meminta izin sekaligus mengucapkan terima kasih pada Bang Ayogi atas jamuannya. Esok pagi, sebelum menuju bandara Internasional HAS. Hanandjoeddin, ingin kusempatkan melihat danau Kaolin Belitung, meski pemandangan tidak indah layaknya siang hari. *Kopi Kong Djie Belitung, 27 Oktober 2018.
Kopi Kong Djie sekarang kayaknya udah banyak frenchise nya deh. Apa yang menyebar di luar Bangka ini kong djie-kong djiean ya?
BalasHapusKalau informasi dari beberapa kawan di Belitung, kong djie di kota yang lain itu memang fenchise. Mahal loh katanya ahhahaha. Tep harus ke tempat yang pertama biar dapat ceritanya.
Hapuskirain kopinya khas dari sekitar tempat tersebut, ternyta ngambil dari luar daerah ya, malah dari jawa barat..
BalasHapusKopi dari Lampung dan Jawa masih dominan di sini, mas
HapusMantap nih, wajib dicoba bagi pecinta kopi. Kalo di tempat saya juga ada kopi yang terkenal nikmat, namanya kopi Hawai dan kopi sekanak.
BalasHapusSepertinya bisa diagendakan datang ke sana mas kalau ada waktu yang tepat.
Hapuskedai kopi ngetop ini ... kalau saya ke Belitung ... tempat ini wajib disambangi :)
BalasHapusKalau ke Belitung jangan sepedaan, kang. Puanas banget ahahhaha
HapusIni yang di video Youtube itu kan ya hehehe. Sejak 1943 bahkan sebelum Indonesia merdeka! Suka sama kedai ini; sederhana, tradisional, terasa keramahannya.
BalasHapusIya mba. Jadi legend banget ini kedai kopi di Belitung
Hapusaku bukan pecinta kopi, tetapi suka aromanya.. terlebih kalau disajikan di warung sederhana dan otentik kaya gini :D
BalasHapus-Traveler Paruh Waktu
Selain kopinya, orang datang ke kedai kopi biasanya juga karena suasananya, bang. Memang suasana dan aroma kopi itu memikat.
HapusWah abangnya ganti, bukan bang jon lagi. Sekarang udah buka sampai malam, ya. Dulu cuma buka sebelum subuh sampai sore saja.
BalasHapusBisa jadi gantian mbak. Kalau misalnya setiap ahri harus abang itu yang bekerja sampai larut bakalan capek eheheheh
HapusSuasananya itu lho.. wuenak. Betah kalo saya di sana sambil ngopi-ngopi wkwkwkwkwk
BalasHapusMemang suasana itu tidak bisa membohongi hehehehe
HapusNamanya mirip kedai kopi di Jakarta yang bisa difranchise :D
BalasHapusBerapa stok tulisan tentang belitung?
Masih banyak, stok pantai belum sedikitpun terjamah ahahahhaha
Hapus