Aku melangkah menyusuri jalan kampung, mendekati payung-payung besar yang dijadikan stand panitia untuk mendata peserta di acara Festival Drumblek 2019. Di daftar kertas, namaku tersemat pada nomor 13. Ini artinya aku termasuk mendaftar di awal.
Kampung Ragam Warna yang berlokasi di Dusun Mranggen, Desa Kutoharjo, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal sedang ada hajatan selama dua hari. Akhir pekan ini nantinya ada ratusan pengunjung yang ingin melihat Festival Drumblek 2019.
Untuk berkunjung ke Kampung Ragam Warna sebenarnya tidak sulit. Aku sendiri sengaja menggunakan transportasi umum. Dari Jogja menuju Terminal Terboyo Semarang, lalu berganti naik bus ke Terminal Mangkang. Dari terminal Mangkang bisa naik bus kecil ke lokasi atau transportasi daring.
Transportasi yang lain bisa menggunakan Trans Semarang dan turun di Terminal Mangkang. Lanjut menggunakan bus kecil atau ojek seperti yang sudah aku jelaskan. Pada dasarnya menuju kampung ini cukup mudah.
Umbul-umbul terpasang, tulisannya sama persis dengan poster yang terunggah di Instagram Kampung Ragam Warna. Kesibukan panitia dalam menyelenggarakan rangkaian acara di sini tampak jelas. Semuanya bekerja demi kelancaran acaranya hingga selesai.
Rangkaian acara berlangsung di panggung kecil yang memanfaatkan tanah lapang di samping rumah warga. Suara pelantang menginformasikan jika sekarang waktunya lomba melukis payung. Siapapun boleh mengikuti, dan ada hadiah bagi pemenang.
Anak-anak berkreasi melukis payung |
Panitia yang di bawah pun sibuk menyiapkan payung serta menuangkan cat berbagai warna dalam gelas plastik kecil. Mereka melayani peserta yang turut mengambil bagian dalam melukis payung. Siang sangat terik, tempat-tempat yang teduh menjadi spot asyik dalam melukis.
Di teras rumah warga, dua anak kecil sibuk melukis. Tanpa pola, tangan-tangannya mengikuti imajinasi dalam berkarya. Kedua ibunya hanya mendampingi tanpa turut memberikan instruksi gambar dan warna. Mereka dibebaskan menyalurkan imajinasinya.
Menjelang sore hingga tengah malam, acara terpusat di panggung. Dekorasi panggung terbuka, berbagai properti ditambahi agar panggung lebih semarak. Sore ini penampilan Tari Sufi berlangsung. Lagi-lagi aku dan yang lainnya sibuk memotret.
Di Kaliwungu memang lokasinya berbaur menjadi satu dengan beberapa pesantren. Konon, penampilan tarian Sufi ini adalah para santri yang mondok di pesantren terdekat dari kampung. Sewaktu aku menuju Kampung Ragam Warna, sempat melewati beberapa pesantren.
Santri sedang perfom tarian Sufi |
“Warga di sini kompak, mas. Waktu pengecatan jalan dan tembok, semuanya bekerja. Pokoknya guyup,” Tuturnya.
*****
Drumblek, Tradisi kala Ramadan Menjadi Festival yang Menarik Kunjungan Wisatawan
Hari minggu di Kampung Ragam Warna Kendal jauh lebih ramai. Peserta Festival Drumblek sudah berdatangan. Sebelumnya, mereka tampil di sekitar Alun-alun Kaliwungu. Kini, tiap rumah warga yang di dekat panggung sudah dipenuhi kelompok yang siap menampilkan drumblek.
Drumblek sendiri berawal dari rutinitas warga yang membangunkan sahur saat ramadan. Seluruh peralatannya sederhana, apapun peralatannya yang penting bisa berbunyi dan membentuk irama saat dipukul secara bersamaan.
Warga Kampung Mranggen sendiri sedari dulu sangat bersemangat melakukan drumblek. Kegiatan ini pernah dilombakan, dan perwakilan dari Kampung Mranggen ini juara. Setelah itu diminta menjadi tuan rumah dalam gelaran Drumblek.
Kepekaan terhadap potensi drumblek ambil pihak-pihak yang berada di Kampung Mranggen. Hingga akhirnya tradisi ini menjadi sebuah festival yang dapat mendatangkan banyak wisatawan. Dari sini juga akhirnya ide kampung Mranggen disulap menjadi Kampung Ragam Warna dan drumblek menjadi festival unggulannya.
Sebenarnya peserta Festival Drumblek ini banyak. Namun, hingga menjelang tampil, yang siap di lokasi sepuluh peserta. Mereka menampilkan tarian dan lantunan suara dari perkakas yang dipukul. Alat-alat ini identik dengan waktu anak-anak membangunkan orang saat sahur.
Peserta Drumblek menunggu waktu tampil |
Mereka terus berbincang dengan temannya. Ada yang memutar-mutar pukulan drum. Stik yang digunakan bagian ujung dilapisi bola kasti. Ada juga yang masih menata bulu yang tersemat di kepala. Mereka berusaha tenang sembari menunggu waktu tampil.
Perempuan kecil di depanku terus membaca syair yang ada di balik daun kering. Sepertinya dia bertugas membaca syair saat tampil. Tia namanya, perempuan kecil ini berusaha tersenyum meski hatinya bergejolak dan sedikit grogi.
“Deg-degan, mas,” Ujar Tia.
Tia berujar jika sudah mempersiapkan untuk mengikuti Festival Drumblek ini sebulan yang lalu. Dia bersama 17 temannya rajin berlatih. Amblotan Etnika sendiri sudah ada sejak empat tahun yang lalu, kelompok ini berasal dari Kampung Blorok, Pujirejo, Brangsong. Salah satu kelompok yang dari luar Kaliwungu.
Tia, peserta Drumblek dari Amblotan Etnika |
Suara pelantang menyebutkan Amblotan Etnika untuk tampil. Anak-anak yang menggunakan kostum dominan warna merah berbalut hitam berjalan. Para lelaki terlebih dulu berjalan, diikuti rombongan perempuan.
Wajah-wajah tegang terlihat jelas, sesekali mereka tersenyum guna menyapa pengunjung yang sudah memenuhi lapangan dan tepi jalan. Aku sendiri mengikuti mereka hingga naik panggung. Berusaha melihat hingga tuntas tariannya.
Berjalan menuju panggung untuk tampil |
Perkakas seperti tong besar, gong, berkombinasi dengan peralatan modern. Personil yang lain turut menari sembari membawa properti masing-masing. Sebelumnya personil putri ini menaburkan bunga sambil naik panggung, lantas memberi hormat kepada juri dan semuanya.
Ritme sedikit melambat. Belum sepenuhnya berhenti, langsung kembali kencang. Tangan-tangan para pemukul drum gesit. Mereka tampil maksimal, membuktikan apa yang mereka latih selama sebulan tidak sia-sia.
Kelompok Amblotan Etnika perfom di Festival Drumblek 2019 |
Gonjang Ganjing Sak Buwana
Ngayahi urip iku gampang, nanging ojo digampangake
Makaryo ora mung mburu upo lan bandha
Tegese, makarya diniati kanti ngibadah
Aja mung tahu tempe, pisan-pisan nyate
Ben ngerti urip orak mung ngemplok
Tapi yo ono slilitenne barang...?
Kawitan seneng mergo dibiasakke
Ngunduhe kamulyan amarga wani kangelan
Sing teko tampanana
Yen lungo lalekno
Sing durung teka aja dienteni, ning
Sing wis ana syukurana
Wong sing iso seneng iku wong sing iso syukur
Syukur marang sak kabene nikmat
Yen tresna amarga rupa lan bandha pha piye anggone tresna marang Gustine
kang tanpa rupa lan kabeh sak isine donya
Gusti kang nduweni...?
Tia membaca semacam syair diiringi dengan musik dan tarian |
Harapannya, setiap festival yang ada di Kampung Ragam ini tidak hanya menonjolkan keindahan dan kemeriahan. Namun, sekaligus menjadikan sebagai ajang melestarikan tradisi masyarakat yang mulai ditinggalkan.
Kurang lebih lima menit kelompok Amblotan Etnika tampil. Pesan yang ingin disampaikan pada tampilan mereka adalah tentang dunia, keseimbangan. Adanya kekacauan, pasti ada yang mendamaikan, hidup itu harus berjuang dan tidak hanya sekadar hidup.
*****
Potensi-potensi yang bisa dikembangkan Kampung Ragam Warna Kaliwungu
Sejatinya, keberadaan Kampung Ragam Warna Kaliwungu ini menjadi pemantik potensi-potensi yang lainnya untuk menggeliat. Silih berganti para wisatawan berdatangan, sehingga ada beberapa potensi yang bisa dikembangkan.
Jauh sebelum acara Festival Drumblek digelar, waktu masih subuh, aku sudah berkeliling kampung Mranggen. Warga setempat ramah, kami bertegur sapa saat bertemu di jalan. Aktivitas pagi ini lebih pada membersihkan rumah.
Anak-anak Kampung Mranggen melintasi mural-mural di kampungnya |
Di tepi jalan, aku berbincang dengan Pak Slamet. Beliau salah satu warga yang membuka warung makanan. Menurutnya, makin dikenalnya Kampung Ragam Warna membuat dagangannya lebih sering dikunjungi.
Susesap kopi sambil mendengarkan cerita Pak Slamet. Beliau menuturkan jika geliat perekonomian warga seperti bergairah. Tinggal bagaimana nantinya para warga itu sendiri mengambil potensinya.
Tidak hanya Pak Slamet, tetangga beliau yang jualan lontong sayur, gorengan, dan yang lainnya juga merasakan dampak yang besar setelah kampungnya terkenal. Perekonomian makin meningkat, dan warga harus paham hal tersebut untuk dimanfaatkan.
Aku menyesap kopi sambil berbincang dengan warga setempat |
Berkat kunjungan wisatawan, banyak warga yang berdagang |
Kunjungan wisatawan tidak hanya dari peserta yang ingin menyaksikan Festival Drumblek. Beberapa kali aku melihat pesepeda yang melintasi Kampung Ragam Warna. Mereka ada yang berfoto di tulisan, ataupun sekadar lewat.
Tentu adanya pengunjung seperti ini bisa mengenalkan potensi spot bersepeda bagi para pesepeda di Kendal dan sekitarnya. Lagi-lagi, jika memang dikemas dengan baik, bukan hal yang mustahil jika Kampung Ragam Warna ini menjadi salah satu tujuan pesepeda di Kendal, Semarang, dan sekitarnya.
Kabar yang menyenangkan tentunya di sini sudah lengkap toilet umum. Bagi wisatawan yang sekadar datang, berfoto, dan menyempatkan singgah di warung, tentu keberadaan toilet umum menjadi fasilitas yang harus ada.
Pesepeda yang menyempatkan diri melintasi Kampung Ragam Warna Kendal |
Langkah kaki terus menapaki jalan yang sedikit menanjak. Menurut informasi warga, di ujung terdapat taman kecil yang biasa digunakan anak-anak berkumpul dan bermain. Benar saja, di samping rumah warga terdapat taman kecil penuh warna.
Petakan tanah kecil yang sudah disulap menjadi taman ini bisa dimanfaatkan masyarakat untuk wisata edukasi atau untuk tempat bermain tradisional seperti dakon dan yang lainnya. Jika memang memungkinkan, bisa ditambahi taman baca, sehingga lebih mengayikkan.
Lahan kecil dimanfaatkan menjadi taman dan spot foto |
Potensi lain yang bisa dikembangkan oleh Kampung Ragam Warga adalah wisata religi. Di atas, terdapat Makam Waliku dan makam-makam orang berpengaruh yang lainnya. Tempatnya tidak hanya di Kampung Mranggen, namun berdekatan. Tentu ini bisa dimanfaatkan untuk wisata religi. Waliku sendiri kepanjangan dari wisata alam, religi, dan kuliner.
Di Makam Waliku terdapat makam KH. Mustofa, KH. Musyafak, dan KH. Abu Chaer. Beliau semua adalah sosok ulama yang berpengaruh di Kaliwungu. Di sini juga terdapat makam Bupati Kendal Ke 38, Drs. H. Djomadi. Tidak jauh dari sana juga ada makam Wali Hasan Abdullah (Eyang Pakuwojo).
Jauh sebelum kampung Mranggen dikenal dengan sebutan Kampung Ragam Warna, sudah banyak para peziarah yang berdatangan. Aku pun turut mengunjungi Komplek Makam Waliku, di bangunan makam, sudah ada beberapa warga yang ziarah.
Para santri berjalan melintasi komplek makam Waliku |
*****
Potensi-potensi ini seharusnya bisa membuat Kampung Ragam Warna lebih baik lagi jika bisa dikelola dengan baik. Mulai dari wisata kuliner hingga wisata religi dan digabungkan dengan adanya festival, sudah pasti pengunjung jauh lebih banyak.
Tidak menutup kemungkinan kampung ini menjadi desa wisata, warganya mempunyai rumah-rumah yang bisa ditawarkan sebagai homestay, serta kegiatannya dapat menjadi penarik wisatawan untuk berkunjung.
Dua hari penuh cerita dari Kampung Ragam Warna. Di sini aku tidak hanya meliput kegiatan, bersua dengan teman, tapi juga mendapatkan kenalan baru. Masyarakat Kampung Ragam Kaliwungu begitu ramah, membuatku ingin datang ke sini lagi. *Kampung Ragam Warna, Kendal; 26-27 Oktober 2019.
Catatan: Artikel ini ditetapkan menjadi Juara Harapan IV Lomba Blog Festival Drumblek Kampung Ragam Warna Kendal 2019
weh ada tarian sufi, pernah liat di video klipnya ahmad dhani yang judulnya apa ya, lupa, haha.
BalasHapusbagus udah ada toilet umum, semoga selalu dirawat, biar wisatawan makin nyaman
Iya, di salah satu klip lagunya Dewa memang ada hehehehehehe.
HapusBenar mas, adanya MCK umum membantu bagi pengunjung yang ingin buang hajat
keren .... sekarang banyak daerah tampil kreatif ... kegiatan seperti ini memang menaikkan perekonomian warga sekitar. saya baru dengar jika ada festival Drumblek di Kendal
BalasHapusSetiap kampung memang harus berinovasi untuk menggaet wisatawan. Dan adanya festival salah satu cara yang digunakan.
HapusSetuju, orang2 kampungnya ramah pada pendatang. Ini udah masuk kunci buat destinasi yang oke. Semoga ke depannya makin banyak yang bisa digali ya
BalasHapusKemarin aku malah banyakan ngobrol sama warga setempat. Tanya-tanya pas pengecatan dan lainnya ahahhahah
HapusWah, seru artikelnya kak...asik ya ikutan festival kayak begini
BalasHapusHeeee, kemarin bermandikan keringat demi mencari ide bagaimana menulisnya hahahahha
HapusDitempatku nggak ada drumblek macam gini mas, eh ada ding tp jarang.. serius penasaran sm penari sufi, mumet ora kui muter2 gitu
BalasHapusKalau aku dengar dari wawancara beberapa teman yang ngevlog, katanya santai saja mereka. Malah senang heheheheh
HapusWah mantep mas, sampean yo teko to ?? wkwkwk..
BalasHapusiki tonggo desoku :D
Aku pas neng kene mikir suwi. Sopo sih blogger kendal seng sering nulis curug. Hahahaha. Gek lagi eling pas wes rampungan mas. Wes balik Jogja
Hapus