Menyusuri Ruangan-ruangan di Museum Adityawarman Padang - Nasirullah Sitam

Menyusuri Ruangan-ruangan di Museum Adityawarman Padang

Share This
Museum Adityawarman di Kota Padang

Mendung tipis merata. Aku berdoa semoga tidak makin tebal, masih ada perjalanan nanti sore menuju Batam. Waktu masih luang, tanpa ada destinasi tujuan, kualihkan kunjungan ke Museum Adityawarman. Sebuah museum budaya yang berada di Kota Padang. 

Jalanan di Kota Padang lumayan macet. Salah satu jalur kalau tidak salah semacam tempat perbelanjaan perjalanan tersendat. Kiri-kanan banyak orang berjualan. Tampak juga toko-toko yang memajang souvenir. 

Mobil melaju pelan, hingga akhirnya belok kanan masuk dalam area parkir museum. Dua satpam yang berjaga mengatur posisi mobil, kami keluar dan menuju pos satpam. Pos kecil berwarna hijau muda cukup sederhana. Bagian atas terdapat papan informasi dua bahasa. 

Tidak ada perbedaan antara pengunjung domestik maupun manca. Orang dewasa dikenai 3000 rupiah. Sementara untuk anak-anak 2000 rupiah. Sekilas lumayan lengang. Ada beberapa pengunjung yang berfoto di pelataran museum. 

Usai membayar tiket masuk, mataku tertuju pada patung besar lelaki berpeci hitam dan menggunakan busana putih. Di sini ada Monumen Tamansari Pahlawan Nasional Asal Minangkabau. Terdapat pula mural wajah para sosok pahlawan tersebut. 
Monumen Tamansari Pahlawan Nasional Asal Minangkabau
Monumen Tamansari Pahlawan Nasional Asal Minangkabau

Nama-nama seperti Abdoel Halim, Ilyas Yakoub, Rasuna Said, Tuanku Imam Bonjol, Mohammad Natsir, Abdul Muis, dan Bagindo Azis Chan ada di sisi kiri mural. Di sisi kanan tersemat nama Adnan Kapau Gani, Hamka, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, H. Agus Salim, Sutan Syahrir, dan Hazairin. 

Dari keterangan nama, dapat kupahami jika daftar yang ada di sisi kiri merupakan keterangan untuk gambar tokoh pahlawan yang atas, dan sebaliknya. Tidak aku lihat sekitarnya, hanya ada semacam ayunan anak kecil di ujung tanah lapang. Bergegas aku menuju museum. 

Halaman museum memang luas. Aku sedikit berlari menuju pintu masuk. Sebelumnya, di tengah halaman terdapat tugu putih dengan puncak bulat. Di depannya terpasang tiang bendera sang merah putih. Ada juga patung seseorang memegang bambu runcing. 

Tulisan teks proklamasi tersemat pada bagian bawah tugu. Jalan menuju museum sudah tertata rapi. Selingan anak tangga dengan jalur datar. Tiap sisinya diberi tembok setinggi setengah meter. Pengunjung museum menyempatkan diri mengabadikan diri di depannya. 

Kutunggu waktu yang tepat untuk turut mengabadikan diri. Berusaha meletakkan kamera di lantai lantas memotret dengan bantuan aplikasi di gawai. Seperti ini rasanya lupa membawa gorilaz, jadi sekadar mengabadikan saja harus meletakkan kamera di lantai. 
Foto di anak tangga Museum Adityawarman
Foto di anak tangga Museum Adityawarman

Suasana di luar museum lumayan ramai. Berbeda dengan pemandangan waktu di bagian tiket. Sudut-sudut museum cukup luas untuk muda-mudi bersantai. Tidak ketinggalan anak-anak kecil yang berlarian sedari tadi. Sementara aku sedikit takut mereka menginjak kameraku yang tergeletak. 

“Isi buku tamu dulu, pak,” Celetuk remaja yang sedang berjaga. 

“Baik mbak. Nanti saya tulis rombonganku,” Jawabku sambil tersenyum. 

Aku memang tidak sendirian. Di sini aku bersama lima orang lainnya. Mereka sudah lebih dulu masuk. Kuambil pena dan menulis nama dan asal domisili. Menariknya, museum ini malah menjadi kunjungan para turis manca. 

Di bulan oktober ini sudah banyak kunjungan turis manca. Dari catatan buku tamu terdata asal para turis dari Inggris, Prancis, Kanada, Selandia Baru, Ukraina, Korea Selatan, Australia, Jerman, Hungaria dan yang lainnya. Bahkan ada juga catatan asal dari Suriname. 

Bagiku ini menjadi sesuatu hal yang menarik. Apa yang menjadi alasan para turis manca tersebut mengunjungi tempat ini. Sebelum aku menjelajah lebih dalam di Museum Adityawarman, pertanyaan-pertanyaan ini mengerucut. 

“Banyak kok pak turis manca yang berkunjung ke sini,” Terang mahasiswa yang menjaga bagian depan museum. 

Para wisatawan manca hampir tiap hari ada yang singgah ke museum. Mereka mencari informasi-informasi terkait kebudayaan Sumatera Barat. Jika aku datang sekadar ingin berkunjung tanpa rencana. Mereka (wisatawan manca) rata-rata sudah menyusun rencana kunjungan dengan matang. 
Catatan buku tamu di Museum Adityawarman Padang
Catatan buku tamu di Museum Adityawarman Padang

Sedikit lebih lama kami berbincang. Dari obrolan ini, aku mendapatkan informasi jika tiga remaja muda-mudi ini adalah mahasiswa dari UIN Imam Bonjol Padang. Lebih tepatnya mereka mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan. 

Ruangan di Museum Adityawarman terbagi menjadi beberapa bagian. Museum ini cukup luas. Aku menyusuri jalur dari sisi kiri. Di sini berbagai jenis rumah tersaji. Cukup indah, penuh dengan hamparan kain bercorak dengan warna dominan merah-kuning. 

Museum Adityawarman ini diresmikan pada tahun 1977. Konon dibangunnya sejak tahun 1974. Ruang lingkup koleksi yang ada di dalamnya meliputi semua yang berkaitan dengan Sumatera Barat. Jika ingin mempelajari budaya dan peninggalan Sumatera Barat, tempat ini menjadi salah satunya. 

Koleksi yang ada di dalamnya meliputi benda bersejarah di Sumatera Barat. Mulai dari seni rupa, hingga pernak-perniknya. Tidak ketinggalan pakaian adat, senjata tradisional, koleksi buku kuno, dan yang lainnya. 

Sejenak aku terpaku. Di depanku adalah semacam rumah-rumah yang terbangun dengan baik. Meja-kursi tertata di terasnya. Setiap sudut bangunan ini kulihat dengan detail. Bahkan kepalaku hingga melongok. 

Pita merah melingkari sudut-sudut tertentu di ruangan ini. Bagian bawah terdapat larangan untuk tidak menaiki tempat tersebut. Peraturan seperti ini harus ditaati demi menghindari kerusakan-kerusakan secara langsung. 
Miniatur rumah di Museum Adityawarman Padang
Miniatur rumah di Museum Adityawarman Padang

Satu ruangan ini penuh berbagai koleksi baju atas. Ada banyak baju adat yang terpajang. Aku tidak memperhatikan semuanya. Cukup menyenangkan bagi orang yang mempunyai ketertarikan pada wastra. 

Sesekali aku mengabadikan sudut ruangannya. Lalu mengikuti jalan menyusuri ruangan-ruangan yang lainnya. Rasanya cukup luas museum ini. Sedari tadi berbagai koleksi tak putus-putus terpajang. 

Etalase panjang di depanku. Di balik etalase ini pun serupa modelnya. Aneka perhiasan tertata rapi dalam sekatan kaca tebal. Ragam koleksi perhiasan ini terbuat dari berbagai bahan. Mulai dari batu, kayu, emas, perak, tanah, atau yang lainnya. 

Perhiasan ini ada yang digunakan untuk aktivitas harian hingga hanya untuk acara-acara tertentu. Perhiasan ini untuk leher, kepala, maupun tangan. Tertera juga gambar potret lama wanita Minang yang mengenakan pakaian adat lengkap dengan perhiasan. 

Aneka potret lama pun menerangkan orang-orang Minang mengenakan pakaian kebesarannya di depan Rumah Gadang. Ada juga laki-laki Minangkabau yang mengenakan tutup kepala/ikek, hingga ragam pakaian adatnya. 

Kulewati satu demi satu etalasenya. Membaca keterangan pada tulisan, hingga mengamati sekumpulan potret lawas. Bisa jadi ini salah satu alasan para wisatawan manca tertarik mengunjungi Museum Adityawarman. 
Ragam perhiasan yang berkaitan dengan Minangkabau
Ragam perhiasan yang berkaitan dengan Minangkabau

Menyadur dari website Museum Adityawarman, di sini koleksinya terdiri dari Arkeologika, Biologika, Etnografika, Filologika, Geologika, Historika, Teknologika, Seni Ukir, Seni Rupa, Numismatika, dan Keramalogika. 

Bisa sedikit terbayangkan seberapa banyak dan beragam koleksi yang ada di museumnya. Mulai dari naskah-naskah kuno, hewan yang sudah diawetkan, aneka benda gerabah, senjata tajam, hingga berbagai jenis uang kertas kuno, dan yang lainnya. 

Selaras dengan tujuan awal. Museum Adityawarman sebagai lembaga pelestarian warisan budaya. Selain itu, di museum juga melaksanakan kegiatan semacam seminar, lomba, atau apapun yang berkaitan dengan informasi budaya. 

Di salah satu ruangan terbuka, tepatnya sisi kanan terdapat semacam diorama Rumah Gadang. Berbingkai gelap, susunan Rumah Gadang lengkap dengan langit biru. Spot ini sering digunakan para pengunjung museum untuk berfoto. 

Dua perempuan sedang asyik berfoto. Mereka secara bergantian mengabadikan diri. Sesekali juga melakukan swafoto. Aku tidak ingin mengganggu keseruan mereka, kulewati saja sudut tersebut. 

“Bisa difotokan, bang?” Tanpa sadar satu perempuan sudah di sampingku. 

“Oh, siap laksanakan,” Jawabku reflek. 

Mereka berjejer di tiap sisi diorama. Aku mundur, menyelaraskan bingkai kamera agar keduanya terlihat dalam komposisi yang bagus. Berkali-kali kutekan tombol bulat pada layar kamera. Entah sudah berapa momen terabadikan. 

Ruangan di sini memang banyak yang indah. Sayang untuk sekadar dilewatkan. Aku tetap di sini hingga menunggu rombongan yang masih ketinggalan di belakang. Tidak semua ruangan kumasuki. Aku hanya mengikuti jalur di satu ruangan besar saja. 

Silih berganti para pengunjung lewat di depanku. Aku kembali ke arah pintu masuk. Di sana ada banyak pengunjung yang tampak keluar dari museum. Salah satunya adalah wisatawan manca yang menggendong anaknya. 
Wisatawan manca selepas mengunjungi museum bersama anaknya
Wisatawan manca selepas mengunjungi museum bersama anaknya

Tidak ketinggalan para anak-anak tanggung yang sedari tadi berlarian. Entah mereka muncul dari mana saja. Bahkan tadi ada yang sempat menyalipku di ujung lorong. Tiba-tiba sudah muncul lagi di ruangan yang berbeda. Sepertinya dia hafal betul seluk beluk bangunan ini. 

Dari tempat titik kumpul, aku kembali menuju ruangan diorama bangunan Rumah Gadang. Ada jalan yang mengarahkan keluar museum. Meniti anak tangga kecil, hingga sampai di sisi museum. Tepat di bawah bangunan terdapat delman. 

Lamat-lamat kuamati sudut ini menarik untuk diabadikan. Kuserahkan kamera pada kawan, lantas aku berlari naik lagi. Dalam waktu sekejap, dia paham jika aku ingin dipotret. Dia melakukan tugas dengan baik. 

Puas mengelilingi sebagian sudut Museum Adityawarman, kami kembali menuju tempat parkir. Di sana sudah ada Bang Edwin. Teman sejawat yang dulu kuliah S2 di Jogja. Orang yang tadi pagi mengajakku keliling ke Pantai Padang
Jendela-jendela di Museum Adityawarman
Jendela-jendela di Museum Adityawarman

“Kalau di sini beberapa hari mungkin kita bisa main ke Pagaruyung, Lembah Harau, atau malah singgah di tempatku Dharmasraya,” Terang Bang Edwin. 

“Semoga di lain kesempatan ada waktunya, bang,” Jawabku. 

Waktuku di Padang memang tidak lama. Ini juga yang membuatku sengaja tidak menyiapkan daftar kunjungan selama di sini. Bisa sedikit menjelajah Kota Padang saja sudah bagus. Setidaknya ada sesuatu yang kudapatkan. 

Selalu ada harapan jika suatu saat bisa kembali mengunjung Tanah Minang. Dari Museum Adityawarman, aku mendapatkan banyak hal informasi baru. Semoga museum ini tetap terjaga dan menjadi tempat untuk mencari informasi tentang Sumatera Barat. *Museum Adityawarman Padang; 24 Oktober 2018.

23 komentar:

  1. wuih mantap, bule aja banyak yang tertarik sejarah indonesia ya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini cukup menarik bagiku. Menjadi sesuatu yang menyenangkan tentunya bagi museum.

      Hapus
  2. Taman di depan Museum Adityawarman ini namanya Taman Melati, Mas. Di jalan sekitar kawasan Taman Melati ini, sampai waktu saya kelas 1 SMA dulu, malam-malam bakal banyak taksi atau mobil sewaan jalan pelan-pelan mencari "pelanggan wisata malam." Sekarang kayaknya udah beda, soalnya Padang sudah semakin agamis. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Info tambahan yang menarik. Mungkin pas awal tahun 2000an pasti lebih mengena kalau lewat sini malam-malam. Perubahan sekarang menjadi lebih baik menurutku

      Hapus
  3. Dan aku kagum karena museum ini lumayan ramai. Bukan rahasia umum kalau museum di Indonesia sepi pengunjung. Museum di Medan saja sepi, hanya satu dua orang. Waktu di Palangkaraya juga aku doang pengunjungnya. Berasa ngeri sendiri, takut tiba-tiba semua patung bangun dan menyerang aku wkwkwkw. Nggak menyangka klo sini rame turis yak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama hahahaha.
      Awalnya aku berpikiran kalau nanti pasti lengang. Nyatanya tidak. Angkat topi bagi pengelola Museum di sini. Hampir tiap hari ada wisatawan manca yang datang

      Hapus
  4. Jadi malu, saya yang asli sana saja belum pernah sampai sekarang berkunjung ke museum tersebut :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya kalau asli orang sana malah fokus di tempat-tempat yang lainnya hahahaha. Saya pun begitu.

      Hapus
  5. Dulu aku di padang hanya singgah. Sebentar saja, kemudian melanjutkan perjalanan ke bukittinggi.
    Bisa dibilang perlu balik lagi ke sumbar. Lebih lama di padang, menyempatkan diri untuk datang ke sini.

    Pas di bukittinggi juga ketemu bule-bule yang berkeliling bukittinggi dan daerah sekitarnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga ini hanya sebentar mas. Kadang waktu sebentar itu memantik untuk ingin ke sana lagi dalam waktu lebih lama.

      Hapus
  6. mantab betul..baca ini doang rasanya udh seperti ada disana, walopun blm pernah kesana wkwk..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga memantik orang untuk datang ke lokasinya hehehehe

      Hapus
  7. Beberapa waktu terakhir aku juga lg seneng main ke museum.. Takjub aja rasanya, btw jendela2nya unik bgttt sih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau kamu terbiasa mengunjungi museum, pasti besok-besok bakal ketagihan ahahhha

      Hapus
  8. Sepertinya budaya Indonesia sangat menarik di mata para bule. Malah kayaknya mereka yang jauh lebih tertarik pada budaya Indonesia ketimbang orang Indonesianya sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya kita pun punya rasa tertarik yang sama. Hanya saja tidak begitu kelihatan layaknya bule. Karena bule untuk datang saja membutuhkan banyak pengeluaran dan waktu jauh lebih panjang

      Hapus
  9. Lama gak gak main ke museum, baca dan lihat foto ini jadi pengen main lagi. Nunggu covid hilang dulu ah. Ternyata udah banyak yang tau ya, Mas. Buktinya turis mancanegara juga udah ada yang kesitu. Miniaturanya unik, terlihat banget awetnya, tapi memang betul harus ada aturan dilarang duduk, kadang ada sih yang pengen eksis foto kalau ke museum.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mas, lebih baik menunggu suasana kondusif dulu. Ini salah satu tempat yang senang aku kunjungi, tidak saya rencanakan, sampai di sini ramai. Benar-benar menyenangkan.

      Hapus
  10. Sumatera Barat tak hanya rumah bagi suku minangkabau, tp ada etnis mandailing di pasaman dan pasaman barat, suku anak dalam di dharmasraya sama suku mentawai, sayangnya tidak ada ruang buat suku selain minang, pernah ada pameran etnografi mentawai tp hanya temporer

    djangki.wordpress.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menarik sebenarnya menjelajah di Sumatera barat. Semoga di waktu lain, bisa ke sana lagi.
      Mohon tidak menyertakan link aktif di blog ya, terima kasih

      Hapus

Pages