Secangkir kopi di Nobon Coffee Rembang |
Mengunjungi destinasi wisata kala pandemi memang tak bisa ditargetkan sesuai rencana. Sebelum mengunjungi Museum RA. Kartini di Rembang, aku melihat postingan warganet di media sosial, ada beberapa foto terunggah di media sosial.
Sampai pada akhirnya aku sudah di museum, tak kutemukan petugas dan informasi terkait museum buka atau tutup. Aku melepas lelah di taman depan museum, mengecek agenda selanjutnya. Mengopi di Nobon Coffee Rembang.
Sebelum menuju kedai kopi, aku melihat dulu postingan di Instagram Nobon Coffee. Di cerita Instagram, akun ini menginformasikan sudah buka. Aku bergegas memesan ojek daring. Sebenarnya tidak jauh dari Alun-alun Rembang, hanya saja tenagaku yang mulai lemah.
Lokasi Nobon Coffee agak tersembunyi. Ojek daring yang kupesan melintasi jalan kecil, sepertinya ini jalur alternatif. Lantas beliau berhenti di dekat penatu yang tertuliskan “Resik Loundry”. Pengemudi ojek daring agak bingung.
Kedai Nobon Coffee Rembang |
“Itu kedai kopinya, mas,” Tunjukku ke arah orang-orang yang bersantai.
Bangunan semi permanen ini lumayan ramai pengunjung kala siang hari. Mereka bersantai di kursi luar ruangan. Sekilas, aku teringat kedai-kedai kopi di Jogja. Hampir mirip bentuk bangunannya. Mungkin pemandangan sekitar yang membedakan.
Dua pohon mangga besar menjulang tinggi, menjadikan bangunan kedai kopi ini teduh. Sesekali terdengar suara kencang kala buah mangga ada yang jatuh. Tulisan Nobon Coffee tersemat pada salah satu dinding di gazebo.
Aktivitas di meja luar didominasi remaja. Ada yang menghidupkan laptop, ada pula yang bersantai dengan kawan. Mereka mengopi sambil merokok. Kopi dan rokok menjadi rutinitas sehari-hari di masyarakat Indonesia.
Bangunan ini tak sepenuhnya tembok. Dinding tembok satu meter, lantas dikombinasikan dengan papan-papan kecil yang disusun tegak. Bagian atas lagi susunan kayu yang berukuran sebesar batu bata. Kulepas sepatu, melintasi meja-meja kosong di dalam menuju pemiliknya.
Ruangan di dalam ruangan cukup minimalis. Lantai sudah keramik, di setiap tepian terdapat meja pendek. Pengunjung yang datang nantinya duduk lesehan. Tiap meja terdapat asbak, serta tempat colokan listrik. Kebersihan di sini tetap terjaga meski sebagian besar pengunjung adalah perokok.
Area dalam kedai kopi, konsepnya sederhana |
Layaknya kedai kopi dengan konsep sederhana, Nobon Coffee hanya memajang menu minuman dengan tulisan kapur. Tak tertera harga minuman, yang jelas minuman di sini harganya terjangkau. Selain minuman, kita juga bisa memesan kudapan seperti kentang goreng, atau malah mie instan.
“Kopi susu satu, mas. Berapa?”
“5.000 Rupiah, mas,” Jawab lelaki agak tanggung sembari mengaduk kopi.
Di sini, aku mulai kenal beliau. Namanya Mas Okta, beliau pemilik Nobon Coffee. Di masa pandemi seperti ini, seluruh pramusaji yang dulu bekerja terpaksa dirumahkan. Beliau dibantu ibu dan keluarganya sendiri melayani pengunjung.
Sembari melihat aktivitas beliau melayani pembeli, aku meminta izin masuk bagian dapurnya. Di sini kudapatkan banyak informasi terkait Nobon Coffee. Harga minuman di sini beragam. Untuk kopi hitam harganya 4.000 rupiah, Kopi Susu 5.000 rupiah, sementara minuman yang lainnya berkisar 7.000 rupiah.
Nobon Coffee dirintis Mas Okta sejak 2016. Sebelum kedai kopi, tanah ini digunakan ayah beliau untuk usaha yang lain. Tatkala banyak orang yang datang dan dibuatkan kopi, serta responnya bagus. Beliau membuat kedai kopi ini secara sedikit demi sedikit hingga membentuk bangunan.
Daftar menu di Nobon Coffee Rembang |
“Sebelum terjun ke kedai kopi, saya beberapa bulan belajar tentang Kopi Lelet, mas. Hingga akhirnya mantap membangun kedai kopi,” Terang Mas Okta sewaktu menemaniku menyesap kopi.
Sempat kutanya terkait harga yang menurutku murah. Beliau tertawa mendengar pertanyaanku. Mas Okta mengatakan bahwa rata-rata masyarakat di Rembang itu mempunyai rutinitas mengopi, serta penghasilan tiap bulan tak sebanyak kota-kota besar.
Dari situ beliau menyimpulkan jika lebih baik harga murah dan terjangkau untuk semua kalangan, dan tentunya menjadi ramai. Daripada menaikkan harga kopi, padahal beliau sadar masyarakat pecinta kopi di sini adalah kalangan biasa.
Kopi bubuk yang menjadi andalannya adalah Kopi Lelet. Kopi khas Rembang ini memang sudah tak asing namanya. Aku sendiri pernah menikmati kopi lelet sewaktu liputan Festival Dumbeg Lasem beberapa tahun yang lalu.
Makin siang, suasana kedai kopi yang tadinya di dalam cukup lengang menjadi ramai. Siklus pengunjung di Nobon Coffee beragam. Siang sebelum duhur biasanya ramai orang-orang pekerja yang berdatangan, sore selepas asyar makin ramai orang nongkrong.
Terlepas dari banyaknya pengunjung yang datang, Mas Okta juga mempunyai banyak relasi. Kawan-kawan suporter PSIR Rembang menjadi pelanggan kedai kopi ini. Beberapa kali rombongan datang untuk sekadar kopdar ataupun memang ingin mengopi.
Bubuk kopi lelet khas Rembang menjadi andalan di Nobon Coffee |
Puncaknya waktu malam hari. Hampir tak ada tempat yang kosong. Namun selama pandemi ini, waktu kunjung dan pengunjung terbatas. Adanya imbauan untuk tidak berkerumunan menjadi hal yang harus dipatuhi setiap pihak, termasuk Nobon Coffee.
Kurun waktu seharian buka, stok kopi bubuk terus tergerus. Setidaknya tiap akhir pekan bisa mencapai 15 bungkus kopi bubuk berukuran 250 gram tandas. Di hari biasa, rata-rata satu hari menghabiskan 10 bungkus kopi lelet.
Secara tidak langsung, kedai-kedai kopi seperti inilah yang melambungkan kopi lelet. Di banyak tempat, termasuk rembang sudah dijamah kedai kopi modern. Namun, keberadaan kedai kopi sederhana seperti ini tak tergerus oleh waktu.
Disadari Mas Okta, budaya mengopi di Rembang ini sangat tinggi. Sehingga masyarakatnya sendiri bisa melambungkan nama kopi lelet sebagai promosi produk lokal. Ke depannya, beliau ingin berinovasi bagaimana budaya menyesap kopi juga digemari kaum hawa.
Bisa jadi di kedai-kedai kopi modern mulai banyak pangsa pasar yang menargetkan kaum hawa untuk menikmati kopi susu. Tapi, untuk kedai-kedai kopi yang sederhana seperti Nobon Coffee, belum banyak perempuan yang melirik untuk bersantai di sana.
Sedari tadi, aku bingung di meja terdapat papan kecil yang bentuknya ada banyak lubang setengah lingkaran di bagian permukaannya. Usut punya usut, ternyata papan berukuran 30 sentimeter ini adalah tempat untuk rokok yang sudah dilelet.
Salah satu pengunjung sedang bersantai sambil mengopi |
Tadi memang sempat kulihat ada yang mengoleskan ampas kopi pada batang rokok, lalu didiamkan di papan tersebut agar mengering. Hanya saja aku sungkan memotretnya, takut malah mengganggu. Mengoleskan ampas kopi, atau istilahnya lelet ini menjadi keunikan tersendiri di Rembang dan sekitarnya.
Inilah yang menjadikan kopi dan rokok itu satu kesatuan tak terpisahkan di masyarakat Indonesia. Sensasi rokok yang sudah dikasih olesan ampas kopi lebih berat. Selain itu, baunya juga menjadi harum. Dulu, aku pernah melakukan hal yang sama kala masih menjadi perokok aktif.
Kopi pesananku datang, secangkir kopi susu diantar. Sebelum diaduk, warna kopi ini benar-benar pekat. Kuaduk hingga mencampur, setelahnya kusesap. Untuk dinikmati pagi hari, kopi susu ini pas bagiku. Rasa manis berpadu dengan pahitnya kopi.
Untuk sebagian besar masyarakat yang kebiasaannya mengopi kala pagi, kopi susu semacam ini tepat sebagai teman pagi. Aku kira pengunjung kedai kopi ini seleranya memang disesuaikan dengan racikan kopi yang ada.
Selang sesaat, kentang goreng pun sudah siap. Aku kembali menikmati kudapan ini sembari kuselingi menyesap kopi. Tak ketinggalan memotret sudut kedai kopi kala santai. Di sela-sela kesibukannya, Mas Okta menemaniku berbincang, kami membahas kebiasaan warga yang mengopi di Rembang.
Mengopi di Nobon Coffee Rembang |
“Saya ingin ke Jogja, mas. Ingin mempelajari konsep kedai kopinya. Katanya, ada kedai kopi sederhana yang berada di sekitaran sawah dan ramai.”
Menyenangkan bisa berbincang dengan Mas Okta. Beliau tanpa pamrih berusaha untuk mengenalkan kopi lelet Rembang melalui kedai kopinya. Pun dia terus belajar untuk mencari inovasi baru yang bisa dikembangkan terkait kedai kopi.
Di Rembang, kita bisa melihat banyak kedai kopi di tepian jalan. Berbagai stigma masyarakat pun muncul. Kehadiran Nobon Coffee kuharapkan semacam pemantik kedai-kedai kopi tradisional yang lainnya untuk bangkit dan bersama-sama mengenalkan kopi lelet Rembang. *Rembang; 19 September 2020.
itu kalau mangga pas jatuh di seng, pasti bikin kaget dah, heuheuheu
BalasHapusjarang jarang sih kulihat kedai kopi lesehan..
Di Jogja dulu banyak banget mas. Terlebih di sekitaran Sorowajan hehehehhe
HapusKalo denger kata kedai kopi tradisional, aku langsung keingetan Klinik Kopi di Jogja, kepunyaan Mas Pepeng. Seru juga ya explore kedai kopi lokal begini. Biasanya menyajikan kopi yang khas dan tentunya yang paling menyenangkan adalah obrolan-obrolan yang menarik.
BalasHapusMas Pepeng emang keren hehehehhe.
HapusDulu ke sana waktu masih di lokasi awal, abis itu lanjut main di jalan Kaliurang
Jadi penasaran juga ama rokok yang dikasi ampas kopi. Di sini belum pernah liat sih.
BalasHapusMeski aku bukan perokok, tapi penasaran juga sih, unik soalnya.
Sering kok di Jawa kalau ada yang ngasih lelet rokok hehehheheh.
HapusMuraaaaah benerrrr kopi susu cuma 5 ribu :D Harga kopi dll nya juga murce pisaaaan. Kok bisa ya si empunya kedai kopi menjual dengan harga segitu? Mana kedainya terbilang bagus dan rapi. Namanya unik, kopi lelet. Tapi sigap melayani pembelinya kan? Hehehe :)
BalasHapusHarga kopi seperti ini biasanya menyesuaikan dengan peminatnya, mbak. Nggak sedikit di Jogja kedai kopi yang harganya di bawah 10.000 rupiah, ramai pisan haaaa
HapusKopi2 yg ga banyak campuran apa2 begini yg justru LBH sedap :D. Walopun aku ttp blm bisa ya kalo cm kopi hitam, hrs tambahin susu :D.
BalasHapusBener juga kata ownernya, mending murah tp bisa menjangkau banyak, drpd mahal dan hanya kalangan tertentu :).
disesuaikan dengan tradisi setempat mbak. Banyak di sini yang mengopi sambil merokok atau bersantai, jadi harganya segitu. Enak loh mbak heeee
Hapus
BalasHapuswah harganya bener2 murce gilee .... tempatnya juga asyik nuat nongkrong
Di Rembang dan sekitarnya masih banyak kedai kopi seperti ini, kang. Meski ya kedai kopi modern juga sudah mulai bermunculan.
Hapusharganya merakyat sekali...
BalasHapustempatnya juga lumaya ketje...
Harga memang disesuaikan dengan kondisi perekonomian di Rembang.
HapusKeren banget, Mas, postingan yang ini. Saya jadi tahu kalau rembang punya istilah sendiri buat mengoleskan kopi ke rokok. Di Jogja sebutannya cethe. :)
BalasHapusAku juga kepikiran kalau di Jogja namanya apa gitu hehehehhe.
HapusKedai kopi seperti ini membuat orang makin erat berkumpul, mas.
Harga kopinya murah banget. Aku kalo inget kata lelet tuh ingetnya ke rokok yang di-"lelet"-in kopi. Katanya rokok begini rasanya beda dengan kopi tanpa di-"lelet"-in kopi ya? Aku sendiri pernah ikut-ikutan lelet-in ampas kopi ke rokok pas main ke lasem, tapi nggak nyoba rokoknya, cuma minum kopinya.
BalasHapusMemang benar, rasanya lebih ada wangi-wanginya, dan isapannya lebih berat sedikit. Di Lasem banyak mbak, pas lagi nongkrong di Omah Candu, aku pernah lihat aktivitas serupa.
HapusAku suka kopi leleeettt! dan karena kopi lelet juga aku menang salah satu lomba penulisan feature. Murah banget ya mas, setara harga kopi sobek :D
BalasHapusWah keren mas bisa menang lomba dengan ide kopi lelet heheheheh.
HapusHarganya memang terjangkau banget, mas.