Landmark di Bukit Tompak, Piyungan |
Laju sepeda mulai melambat. Kami sengaja menikmati tiap jengkal jalanan cor yang hanya bisa dilintasi sepeda motor. Lepas ladang warga setempat, sebuah jembatan kecil kami lintasi. Lalu jalan menikung dan bertemu pertigaan. Kami berhenti.
Tujuan bersepeda pagi ini adalah Bukit Tompak. Area perbukitan di Srimulyo tersebut sekilas mirip seperti Tebing Breksi. Bukit Tompak sebenarnya sudah lama dikenal para pecinta sepeda, dijadikan destinasi tujuan, hanya saja dalam beberapa waktu terakhir senyap.
Aku mengamati dari banyak postingan pesepeda di grup sepeda, bukit Tompak tak riuh. Masih kalah dengan bukit-bukit yang tak jauh di sekitarnya. Sebagai contoh adalah Gunung Wangi ataupun bukit Ngleseh yang sedang ramai di bulan-bulan ini.
Sementara ini, jalur menuju Bukit Tompak masih aman. Jalan cor dengan dua sisi pemandangan hijau membuat kami lebih bersemangat mencari konten foto. Bahkan, di pertigaan tempat kami berhenti, sudah banyak foto yang kami abadikan.
Secara bergantian, aku, Yugo, dan Ardian mengabadikan diri. Dua kamera yang kami bawa. Yugo menjajal kamera barunya. Lansekap sawah dengan jalanan sedikit tanjakan serta meliuk menjadi komposisi yang pas. Lebih dari setengah jam kami hanya berkutat di sini. Memotret saja.
Jalur jalan cor menuju Bukit Tompak Piyungan |
Perjalanan berlanjut, jalanan cor dua tapak sudah menanti. Pun dengan tanjakan. Sebenarnya, tanjakan di sini tidaklah berat. Cenderung aman untuk pesepeda pemula. Kondisi jalan yang berlubang ini pastinya menyulitkan bagi pesepeda, serta harus lebih berhati-hati.
Deretan rumah warga tersebar di dua sisi. Di sini masih banyak pohon Asam. Kulihat beberapa pohon asam cukup rindang. Tanjakan pertama lumayan panjang, melintasi Sebagian besar deretan rumah warga. Jalan berlubang.
Di ujung jalan datar tampak pertigaan, satu jalur mengarahkan ke Bukit Pangon (jika tidak salah). Kami mengambil jalan belok kiri. Sedikit turunan, lalu tanjakan lumayan tinggi yang tidak panjang. Tepat di atasnya, sebuah musola berada di sisi kanan.
Tak jauh dari musola sebenarnya ada semacam situs Sumur Bandung. Aku memang tidak menyambanginya, tapi dari berbagai foto kulihat sumur batu ini tidak dalam. Mungkin ini juga yang menjadikan salah satu alasan jalan di sini disematkan nama Jalan Sumur Bandung, Cikal, Srimulyo, Piyungan.
Keramaian terdengar cukup jelas. Dua tikungan kami lintasi, hingga akhirnya sampai di gerbang Bukit Tompak. Spanduk informasi destinasi sudah terpasang. Lengkap dengan plang petunjuk arah. Berbeda waktu di jalan, taka da informasi ataupun plang petunjuk arah yang menuntun kami.
Tebing lumayan tinggi mengingatkanku dengan Breksi tahun 2016, sewaktu destinasi tersebut belum populer. Tiang bendera sudah tersedia, pun dengan sang saka merah putih yang berkibar. Tempat ini tak mau kalah dalam menyambut HUT RI.
Tebing dan joglo di Bukit Tompak Piyungan |
Secara singkat, Bukit Tompak ini memang dikonsep sebagai destinasi tujuan para wisatawan. Tentu di akhir-akhir tahun ini target yang paling relevan adalah pesepeda. Ditambah dengan pengunjung yang lainnya.
Fasilitas umum seperti toilet dan musola kecil sudah lengkap. Tempat parkir kendaraan juga sudah ada. Menariknya, pendopo besar dan gazebo sudah disediakan. Pada dasarnya, tempat ini memang sudah dikonsep dengan baik.
Rombongan pesepeda yang tak sengaja datang bersamaan denganku mulai mengabadikan diri bersama sepeda. Untuk menuju Bukit Tompak ada beberapa jalan. Salah satunya bisa melintas dari sisi yang lain. Jika diruntut, mungkin lewat sekitaran Bucu.
Lahan di Bukit Tompak luas, pepohonan kersen menjadi peneduh. Tidak ada petugas yang berjaga. Hanya sebuah kotak sukarela yang terpasang di dekat pohon. Kemungkinan besar adanya kotak ini untuk menerima sumbangan sukarela dari berbagai pesepeda ataupun pengunjung yang singgah.
Aku melepas lelah, bersantai di bawah pohon kersen. Kulihat pesepeda yang hendak berfoto tepat di tulisan Bukit Tompak harus bersusah payah mengangkat sepedanya naik bukit. Akses anak tangga ada di ujung yang sedikit lebih rendah.
Pesepeda memanggul sepedany ke atas tebing di Bukit Tompak |
Tulisan bukit Tompak terbuat dari papan. Tebing yang menjulang dibatasi dengan pagar dahan-dahan pepohonan. Tampak juga miniature helikopter dan sebuah tower. Aku tidak tahu apakah tower ini untuk internet atau yang lainnya. Jika penguat sinyal kok rasanya kecil towernya.
Tidak ada niat ingin naik ke bukit, pun singgah di pendopo. Kami sepakat menuju warung yang tepat di dekat pintu masuk Bukit Tompak. Bangunan semacam rumah belum jadi tepat di depan warung kecil. Dua tempat duduk menghadap ke bawah. Pemandangannya pun sama dengan dari atas bukit.
Warung ini menjadi satu-satunya tempat jualan di Bukit Tompak. Ibu penjualnya pun sendirian, beliau berujar biasanya ditemani anaknya. Dapur pemilik warung luas, kami diperbolehkan masuk sembari memesan gorengan.
Mendoan di wajan sudah siap saji. Kami harus menahan diri tidak mengambil, karena mendoan ini sudah dipesan pesepeda yang ada di pendopo. Sembari menunggu giliran jatah gorengan, kami menyesap minuman hangat.
Ibu-ibu pesepeda bergegas pulang, kami lantas menempati kursi yang ditinggalkan. Pemilik warung mengatakan jika bukit Tompak memang tidak ramai. Bahkan, warung ini tiap siang tutup. Lantas Kembali buka menjelang sore.
Menyempatkan singgah di warung sekitaran Bukit Tompak |
Jauh sebelum pandemi, Bukit Tompak ini mungkin diharapkan dapat menggerakkan perekonomian masyarakat setempat. Hanya saja saat ini seperti tidak terkelola dengan baik. Padahal lahannya lumayan luas, dan rute ke sini pun menarik bagi pesepeda.
Di meja depan ada bungkusan jagung yang diplastik. Aku tidak tahu apakah meja ini dijadikan tempat menjual sayuran, atau jagung ini untuk keperluan yang lain. Tidak tampak ada sayuran yang lainnya, hanya jagung saja.
Pesepeda silih berganti datang dan pergi. Tidak semua singgah di warung. Sebagian dari mereka foto di spot yang tersedia, lantas melanjutkan perjalanan. Minimnya warung mungkin menjadi salah satu alasan pesepeda tidak menjadikan tempat ini sebagai tujuan akhir destinasi.
Dari tempat duduk warung, terbentang luas mata memandang lansekap sekitaran Bantul. Gunung Merapi terlihat ketika cerah. Di depannya tampak gundukan bukit Gunung Wangi Bangkel. Destinasi yang sekarang menjadi tujuan pesepeda karena banyak warung dan dikelola dengan baik.
Petakan sawah tak banyak, dan sebuah bangunan memanjang cukup mencolok. Bisa jadi yang terlihat dari sini semacam pabrik. Ketika pemilik warung sedikit senggang, kami bertiga memesan indomie rebus. Sudah kami sepakati, setelah ini tidak mencari kuliner. Cukup makan di warung.
Lansekap dari atas bukit Tompak Piyungan |
Sedikit bisa kuambil simpulan, destinasi Bukit Tompak ini harus dikelola lebih baik lagi agar dapat menggaet pengunjung, tentu salah satunya adalah pesepeda di Jogja kala akhir pekan. Karena, tak jauh dari tempat ini ada banyak destinasi baru yang bermunculan.
Selain itu, joglo ataupun bangunan yang sudah ada bisa dimanfaatkan lebih baik lagi. Pengelola bisa menjadikan tempat ini menarik kala sore untuk muda-mudi. Atau malah diperbolehkan wisatawan untuk kamping, tentunya setelah pandemi berakhir.
Terbesit di pikiranku jika Bukit Tompak bisa tertata dengan baik lantas membuat promosi untuk menikmati senja dari ketinggian sembari menikmati gorengan ataupun jagung bakar, tentu menjadi hal yang menyenangkan. Semua ini harus ditopang dengan jalur yang baik, minimal penerangan.
Waktunya pulang. Ardian mengikuti rombongan kampung melintasi jalur lain yang arahnya ke Bucu. Sementara aku dan Yugo melintasi jalur tadi pagi, kami berpisah di jalan Wonosari. Bukit Tompak seperti sedang tertidur, menunggu sentuhan para pengelola agar bisa menggeliat.
Kita tahu, ketika destinasi dikonsep dengan baik, promosi yang ditawarkan juga menarik, pengunjung pun bisa datang kapanpun. Warung-warung bermunculan, geliat perekonomian masyarakat dapat berputar dengan baik. Harapannya begitu, kutunggu geliatmu Bukit Tompak. *Rabu, 11 Agustus 2021.
pas masih kos di Blok O dulu suka motoran ke berbah lanjut ke piyungan
BalasHapusduh jadi kangen panorama bukitnya
bener mas pengelolaanya harus lebih baik lagi agar banyak pengunjung yang datang
sekarang sekitaran sana banyak bukit yang menyediakan warung, mas. Enak buat pas pagi-pagi ahhaahah
Hapuspemandangan dari atas bagus
BalasHapusbener sih, bisa dikembangkan jadi tempat wisata alternatif, khususnya buat penikmat senja dan kopi
heuheuheu
Secara tidak langsung, pesepeda tak kebingungan cari rute gowes hahahah
HapusEh iyaa tebingnya ingetin Ama tebing breksi. Makin banyaaak aja tempat2 destinasi sepeda di sana ya mas. Ini kalo suamiku aku KSH bawa sepeda ke Jogja, bisa2 aku ditinggal seharian iniii 🤣🤣. Dia bakal sepedaan Mulu 😅
BalasHapusHahahhha, kalau ke Jogja suruh bawa sepeda aja mbak.
Hapuswah ini pejuang content .. hahaha
BalasHapussetuju mas Sitam, kalau ditata lebih baik ... bakalan ramai bukit ini sama dengan "pesaing2-nya" :)
Demi ada konten di blog, kang. Semoga lekas lebih bagus lagi
HapusKalau rutenya seperti yang dijelaskan, kayaknya kelak bakal ramai dengan para pesepeda. Banyak pesepeda yang selalu mencari bukit-bukit untuk disinggahi.
BalasHapusKalau foto sepeda, kenapa banyak yang bergaya angkat sepeda yaa mas? padahal itu berat..wkwkwkwkk
Sebenarnya pernah ramai, tapi gak terlalu sekarang. Banyak tempat yang konsepnya sama ditambah warung banyak
HapusTebingnya emang sekilas mirip sama tebing breksi ya mas, aku dulu pernah ke tebing breksi pas baru awal buka kayaknya, trs adikku kesana juga, aku liat fotonya bagus2 bgt, terlihat dikelola dg baik, semoga bukit tompak piyungan ini juga bisa dikelola dgn baik jadi bisa menggerakkan ekonomi masyarakat sekitar
BalasHapusBetul, di awal tahun 2015an, Breksi bentunnya juga seperti ini. Sekarang bisa lebih bagus karena pengelolanya keren
Hapus