Keriuhan suara anak-anak terdengar kencang
dari lantai dua, aku bergegas menaiki anak tangga menuju sumber suara. Di sana,
ada lebih dari sepuluh anak kecil sedang bernyanyi dipandu seorang perempuan
dewasa. Aku termangu untuk sesaat, kemudian terlarut dengan dendangan lagu Jawa
yang dinyanyikan serempak. Hanya sesaat kunikmati suara dendang lagu tersebut,
kemudian mereka bergegas pergi. Bahkan, aku sendiri belum sempat mengabadikan
mereka.
Museum Anak Kolong Tangga Yogyakarta |
“Mbak bayarnya berapa?” Kutanya pada perempuan yang menjaga pintu masuk sendirian.
“Empat ribu, mas. Mas mau sekalian memotret di dalam?” Perempuan tersebut balik tanya
melihatku memegang kamera pocket.
Aku menganggukkan kepala, “Kalau sekalian memotret, dikenai biaya lima
ribu, mas. Jadi totalnya Sembilan ribu.” Ujar beliau seraya menunjukkan
sebuah peraturan pada kertas yang terlaminating di meja.
Kuberikan uang Sepuluh ribu. “Pas kan aja jadi sepuluh ribu, mbak,” Jawabku
seraya tersenyum.
Perempuan yang menjaga pintu depan
pun tersenyum, dikasihnya aku karcis masuk sekalian satu bungkus kecil souvenir
yang berisi dua buah kelereng dan stiker. Sebuah karcis yang bertuliskan “Tiket Masuk Museum Pendidikan & Mainan
Kolong Tangga” termasuk nominal 4000 (15 tahun keatas). Ya, kali ini aku
menyempatkan diri untuk memasuki Museum Anal Kolong Tangga yang berada di
Gedung Taman Budaya Yogyakarta lantai II. Lokasi ini masih di Jalan Sriwedari
No. 1 Yogyakarta.
Memasuki dalam museum, terlihat di
setia sudut terdapat banyak pajangan. Aku meruntuti satu demi satu setiap
pajangan yang berada di dinding. Pandangan pertama tertuju pada miniatur
kendaraan. Dimulai dari Sepeda jaman dulu, Dokar, Delman, Motor Vespa. Kemudian
pada bingkai selanjutnya miniatur kapal laut. Phinisi, Kano, Rakit, bahkan
mainan Kapal Klotok pun terpajang di sini. Bayangku tentu terpikir masa kecil
yang sering bermain Kapal Klotok, takjub dengan suara dan laju kapal saat
diberi Kapas + Minyak Kelapa, kemudian dibakar. Benar-benar seperti menyusuri
lorong waktu menembus masa kecil yang menyenangkan. Aku tertawa sendiri jika
mengingat masa itu.
Miniatur yang terpajang rapi |
Di tengah-tengah ruangan terdapat
tiga mainan yang terlihat usang. Sepeda Kayu (yang ditemukan di desa kecil
dekat Magelang tahun 1992; sesuai keterangan), Gokar yang ditemukan terbengkalai
di dekat Alun-alun (ditemukan tahun 1998). Keusangan mereka tampak bahwa
umurnya sudah sangat lama. Tampak juga miniatur dua kendaraan yang beda jaman.
Kendaraan semacam Dokar (ditarik dengan Sapi) dan juga Kereta Api. Dua
kendaraan yang jaya pada masanya.
Berbagai miniatur alat transportasi |
Sementara dibingkai yang lain
terdapat mainan terbuat dari tanah maupun keramik. Dimulai dari peralatan
dapur, sampai patung-patung kecil menghiasi setiap sudut. Warna-warni yang
mencolok membuat kita akan terasa gatal untuk memegangnya. Namun, kuatkan hati
selama di sini. Karena semua benda di sini terdapat tulisannya “Jangan
Disentuh”. Abaikan sejenak hasrat untuk memegang, biarkan memoriku saja yang
melanglang kembali ke masa silam. Masa dimana aku tidak asing dengan berbagai
benda yang ada diruangan ini.
Berbagai kerajinan dari keramik |
Museum Kolong Anak Tangga ini
tidaklah luas, namun sedikit memanjang. Menyesuaikan dengan kondisi ruangan,
sehingga benda-benda di dalamnya pun ditata sedemikan rupa, sehingga terlihat
lebih bagus dan tidak mengganggu para pengunjung. Terbagi menjadi tiga sekat
ruang yang besar, dan setiap sekat terdapat banyak mainan serta miniaturnya
yang membuat kita dapat mengenang masa lalu.
Area ruangan di Museum Anak Kolong Tangga |
Aku menatap lama miniatur yang
terpajang disalah satu bingkai. Di sini banyak miniatur orang, hewan, maupun
senjata yang berdiri. Aku pastikan setiap anak kecil pernah memiliki mainan
seperti ini. Aku teringat ketika masih kecil, tidak pernah sekalipun orangtuaku
membelikan miniatur orang seperti gambar ini. Namun, jangan salah. Aku
mempunyai maina seperti ini lebih dari satu karung. Aku dapatkan mainan seperti
ini dari laut. Jika musim-musim tertentu, banyak barang yang hanyut akibat
kapal tenggelam ataupun sampah yang sudah dibuang terdampar di pantai. Sebagai
anak pantai, aku dan yang lainnya selalu mengais barang-barang tersebut untuk
dijual. Jika mendapatkan mainan seperti ini akan aku simpan, dan aku jadikan
teman dikala sedang tidak sekolah.
Pasti dulu punya mainan seperti ini |
Memasuki ruang terakhir, di sana ada
terpajang semacam Wayang. Seru juka kalau misalnya diperbolehkan untuk
memainkan, namun lagi-lagi aturan itu tidak berlaku. Jika setiap pengunjung
diperbolehkan memegang/memainkan, bisa jadi dalam waktu sebentar barang
tersebut rusak. Aku hanya membaca keterangan yang ada ditulisan bawahnya saja.
Jangan kira museum ini hanya dipenuhi koleksi mainan tradisional, ada juga rak
yang di dalamnya banyak boneka robot. Hayo pengen yang mana? Kalau aku sih
pengen semua *rakus. Dari sekian banyaknya mainan robot, waktu kecil aku hanya
punya satu. Yakni salah satu dari Power Ranger yang merah. Itu pun hasil dari
mengais di pantai, dan tangannya tinggal satu yang kanan saja.
Main Wayang atau Robot? |
Katanya, tidak afdol rasanya jika
mengunjungi suatu tempat tanpa mengabadikan diri. Minimal sebagai bukti bahwa
kita pernah berkunjung di sana. Aku pun memanfaatkan Tripod Mini yang selalu
kubawa kemanapun aku pergi. Jemari ini sudah hapal bagaimana menaruh kamera
pada sudut tertentu, agar bidikannya tepat dan seakan-akan ada yang memotret.
Hasilnya pun seperti di bawah ini. Lumayan kan? Namanya juga foto sendiri.
Bergegas aku keluar melalu pintu yang
berbeda. Aku tidak serta merta meninggalkan museum ini, kembali aku menuju
bagian pintu masuk menemui perempuan yang menjaga. Aku sedikit mengais
informasi mengenai pengunjung yang datang ke sini. Jawaban dari perempuan
tersebut membuatku miris. Dalam hari biasa “Selasa – Kamis (Senin tutup),”
pengunjung rata-rata antara 3-10/orang perhari. Sementara Jum’at – Minggu
biasanya lebih banyak. Pengunjung akan lebih banyak lagi jika ada rombongan
anak kecil yang sengaja diajak berkunjung ke sini. Di sini juga terdapat
secretariat yang berguna bagi para pengunjung untuk bertanya-tanya.
Duduk tenang mengamati dan diabadikan |
Jika ada waktu luang, ada baiknya
mengajak anak kecil (adik atapun keponakan) untuk mengunjungi museum ini. Di
sini, kita dapat mengajarkan pada anak kecil bagaimana rasanya pernah hidup
dengan mainan-mainan tradisional. Menikmati waktu tanpa harus bergantung pada
barang elektronik. Berkreasi tanpa mengeluarkan banyak uang, dan tentunnya
membuat kita akan terlarut pada memori masa kecil. Masa di mana kita pernah hidup
dan bermain dengan benda-benda yang ada dihadapan kita. *Kunjungan ke Museum Anak Kolong Tangga ini pada hari Sabtu, 17
Oktober 2015.
Baca juga kunjungan lainnya
yang menarik, pendirinya malah orang Belgia ya mas.....
BalasHapuskok sendiri e ke Sananya? hahaha :D
Anu mbak, ke sini sendiri siapa tahu dapat pasangan di sini hahahahhah
Hapusjadi inget jaman kecil dulu
BalasHapusBenar banget, gan
HapusAku ke sini hari Minggu kemarin, mas. Sendirian. Sepi, nggak ada barengan pengunjung lain.
BalasHapusMau minta katalog nama2 mainan yg ada tp sayangnya habis :(
Iya, emang sepi kalau nggak ada kunjungan siswa ke museum
HapusSaya suka sama Museum. Sayangnya ini jauh banget di Jogja. Kalo ke Jogja kudu bisa nyamperin Museum anak ini :D
BalasHapusDi Jogja ada banyak museum yang dapat kita kunjungi dalam satu hari :-D
Hapuswkwkwkw jadi teringet kalo ke sini slelau gagal fokus sampe gak bayar tiket masuk hadeeehhh....
BalasHapusWehh hahahhaha malahan :-D
Hapuslihat mobil-mobilan dari kayu jadi inget masa kecil.. hhe
BalasHapusoh iya, aku baru tahu lho kalau ada museum anak, thanks infonya..
Kembali dengan kenangan masa kecil.
Hapus