Mengikuti Ritual Ruwat Bumi di Gunung Tidar Magelang Pada Festival Tidar 2016 |
Bus yang aku naiki beserta rombongan
undangan dari Disporabudpar Kota Magelang menyusuri jalanan kota menuju area
Gunung Tidar. Sebelumnya kami berkumpul di Hotel Safira (Depan Akmil). Menurut
Mas Andi (selaku panitia), siang ini kami akan mengikuti Ritual Ruwat Bumi di
Gunung Tidar.
Gunung Tidar, bukit yang berada di
tengah kota tersebut memang sudah ingin kudatangi sejak tahun lalu. Tahun 2015,
aku gagal mengunjung Gunung Tidar karena langsung menuju Candi Selogriyo. Dan penuntasaannya hari ini, aku dan teman-teman
Travel Blogger diundang untuk menyemarakkan Festival Tidar 2016. Ada banyak
rangkaian acara selama tiga hari 9-11 Desember 2016.
“Kita sudah sampai, dan mari turun
untuk mengikuti acaranya,” Ujar Perwakilan Duta Wisata Kota Magelang yang
senantiasa setia menjadi pemandu kami.
Langit mulai mendung, aku berharap
tidak hujan sehingg acara dapat berlangsung dengan baik. Di area jalan menuju
Gunung Tidar, sudah ada ratusan yang berkumpul. Mereka sudah menggunakan
pakaian adat serta kedua tangannya membawa Tumpeng. Ritual Ruwat Bumi ini
diikuti sebanyak 17 Kelurahan dari 3 Kecamatan Kota Magelang.
Arakan Kirab Ritual Ruwat Bumi di Gunung Tidar mulai berjalan |
Tepat saat aku beserta rombongan
sampai di lokasi, seluruh masyarakat yang mengikuti Ritual Ruwat Bumi berjalan.
Menyusuri jalan secara teratur menuju puncak Gunung Tidar. Setiap perwakilan
kelurahan, minimal mereka beranggota 20 orang yang terdiri dari orangtua,
remaja, bahkan yang sudah berumur tua. Antusias sekali mereka mengikuti acara
tersebut. Sementara itu di sepanjang tepian jalan tak ketinggalan para warga
menyaksikan kirab yang memanjang ini berjalan.
Perjalanan sedikit tersendat ketika
memasuki jalan anak tangga naik ke Gunung Tidar. Jalannya sudah terbuat dari
anak tangga, dan setiap sisi terdapat batas penghalang. Selain itu di beberapa
titik juga disediakan tempat untuk beristirahat. Di sini aku kagum dengan
beliau yang sudah berumur, dengan membawa Tumpeng dan berpeluh keringat, mereka
terus berjalan sembari becanda dengan sampingnya. Cukup panjang dan banyak anak
tangganya.
Menapaki anak tangga menuju puncak Gunung Tidar, Magelang |
Aku mencoba mencari informasi di
Wikipedia mengenai ketinggian Bukit Tidar. Tertulis di sana 503 MDPL. Pantas
saja banyak sekali anak tangga yang harus ditapaki, ditambah dengan sesaknya
peserta kirab, serta bawaan Tumpeng mereka yang lumayan berat. Salut buat
mereka yang mengikuti Ritual Ruwat Bumi, beban dan pengaruh fisik tak
mengurangi semangat tinggi untuk sampai di puncak.
Peserta Ritual Ruwat Bumi yang sudah
sampai atas langsung menempati tempat yang disediakan. Duduk beralaskan terpal
plastik dan beratapkan tenda. Berkumpul dengan kelompoknya dan meletakkan
tumpeng di dekat mereka masing-masing. Terlihat obrolan santai antara peserta,
tidak sedikit dari mereka yang mengibaskan kertas dibawa dijadikan sebagai
kipas. Di sini acara selanjutnya adalah pementasan tarian yang dilakukan oleh 5
orang.
Sebelum tarian dipentaskan. Aku mengikuti
Mas Halim (Travel Blogger dari
Solo) yang sedang menggali informasi tarian apa nantinya yang dipentaskan di
sini. Kami mendekati Mbak Ria, salah satu personil yang nantinya ikut menari.
Dari sini, aku diberi tahu jika nanti nama tariannya adalah Tarian Caroko
Walik.
“Tarian ini dipentaskan setahun satu
kali, mas. Lokasinya di Gunung Tidar ini,” Ujar Mbak Ira.
Penari Caroko Walik di puncak Gunung Tidar, Magelang |
Tari Caroko Walik memang tidak begitu
popular, namun harus tetap dilestarikan. Tari yang dilakukan oleh 5 orang ini
bermakna menghilangkan segala keburukan yang adi di Kota Magelang. Tahun
sebelumnya 2015, tarian ini tidak dilaksanakan. Tarian Caroko Walik ini
diiringi Mantera Gayantri.
“Kiblat Papat, Limo Pancer,” Tambah
Mbak Ira.
Sejenak tertegun aku mendengarkan
ujaran tersebut yang belum bisa kupahami. Belum sempat aku bertanya lebih
lanjut, Mbak Ira sudah minta ijin bersiap menari. Setiap penari di sanggul
atasnya diberi Dupa panjang.
Mbak Ira, Saka, Nadia, Ros, dan Nanik
mulai menari dengan iringan Mantera Gayantri. Mereka berlima dari Sanggar Sekar
Dahlia. Aku hanya menyaksikan dari kejauhan bagaimana kelima penari tersebut
luwes mengikuti iringan musik. Sebuah tarian yang harus terus dilestarikan,
berharap generasi muda lainnya ikut mempertahankan tarian Caroko Walik.
Tarian Caroko Walik dipentaskan para penari |
Tarian Caroko Walik usai, aku menepi
sejenak melepas lelah. Namun, acara selanjutnya dimulai. Kali ini seluruh
tumpeng dan Ingkung yang tadi dibawa warga tersebut dibuka dan dimakan
bersama-sama. Ramai sekali bagaimana anak-anak kecil berebut lauk. Mereka
sedari tadi sudah mengintai target yang ada Ingkungnya. Sambil membawa bungkus
daun yang sudah dianyam, anak-anak tersebut berebut Ingkung pada tiap kelompok
yang ada.
Kembul Bujono
adalah ritual makan bersama yang dilakukan di atas Gunung Tidar. Setiap orang
yang hadir dapat berkumpul dan bergabung di mana saja untuk ikut makan bersama.
Menikmati Ingkung, makan Tumpeng, dan melahap lauk lainnya yang tersedia.
Keakraban cepat terjalin kala kami bergabung dengan salah satu kelompok. Riuh
sekali, dan sangat menyenangkan bisa berbaur menyatu tanpa ada sekat.
“Minta ayamnya!?” Riuh anak-anak
kecil berkerumun tidak jauh dari tempatku.
Anak-anak meminta lauk Ayam Ingkung yang disajikan |
Aku yang awalnya hanya fokus
menikmati santapan siang bergegas mengabadikan. Berbagai ekspresi anak-anak
kala itu. ada yang bergembira mendapatkan jatah lauk Ayam banyak, ada yang
sedikit kecewa dan mengambil lauk telur. Namun, keseluruhan mereka itu sangat
antusias. Aku percaya, potongan Ayam yang didapatkan tak mungkin dimakan
sendiri. Pasti dibagi dengan sesama teman yang sekelompok dengannya.
Usai melayani anak-anak yang meminta
jatah lauk, aku dan teman-teman mengajak para Duta Wisata Kota Magelang agar
bergabung makan bersama.
“Mbak sama mas kan Duta Wisata, masa
tidak mau makan bareng di sini,” Celetuh salah satu teman akun sosmed.
Aku tersenyum sendiri mendengar
ucapan teman sosmed tersebut. Empat pasang Duta Wisata yang ikut kali ini tak
bisa menolak. Mereka mengajak pasangannya untuk makan bersama kami. Kami dan
warga setempat yang satu kelompok makin riuh. Bukan tanpa alasan, sengaja kami
ajak mereka makan bareng peserta Ritual Kirab Bumi ini, agar mereka bisa
merasakan bagaimana berbaur dengan warga ketiga sedang bertugas.
Para Duta Wisata Kota Magelang ikut makan bersama dengan warga |
Di sela-sela acara santai usai makan
bersama. Aku dan beberapa teman Travel Blogger menyempatkan diri untuk melihat
sudut-sudut di puncak Gunung Tidar. Pada dasarnya, Gunung Tidar adalah tempat
wisata Spiritual dan wisata alam. Hanya saja, sementara ini kunjungan wisatawan
belum signifikan. Gunung Tidar juga merupakan lokasi yang banyak digunakan
kegiatan AKMIL.
Tidak banyak yang kuabadikan ketika
menaiki Gunung Tidar tadi karena kami sedang jalan kirab ke puncak. Tapi aku
ingat beberapa lokasi ada petilasan yang banyak orang di sana. Selain itu juga
ada bangunan musholla. Dari informasi yang kudapatkan ketika menggali informasi
dari beberapa warga di sini, ada beberapa petilasan di sini. Tapi yang paling
ditekankan di sini ada patok/tugu kecil. Tugu tersebut berada di tengah-tengah
luasnya puncak Gunung Tidar dan dikelilingi pagar.
Tugu yang di atasnya bertuliskan “So” dalam Aksara Jawa ini mempunyai
banyak makna. Ada tiga tulisan “So”.
Warga di sini menyebut dengan kata “Sososo” yang mempunyai makna dari kalimat
dari “Sopo Salah Seleh”. Tugu ini
dipercaya sebagai Pakunya pulau Jawa oleh sebagian besar masyarakat.
Sopo: bisa
aku, kamu, kalian, kita, atau siapapun; Salah:
kesalahan yang dilakukan bisa pikiran, ucapan, atau tindakan; Seleh: Harus berani mengakui kesalahan –
Hasil kutipan wawancara dengan Bapak Bambang Eka Prasetya. Jadi jika
digabungkan bisa berarti “Siapapun kamu jika sudah melakukan kesalahan dalam
bentuk apapun harus berani meminta maaf, mengevaluasi diri, dan tidak
mengulangi kesalahan di lain waktu.”
Tugu yang berada di tengah-tengah puncak Gunung Tidar |
Petilasan-petilasan yang ada di
Gunung Tidar berpencar di titik-titik tertentu. Di antara pepohonan Cemara yang
menjulang tinggi sepanjang perjalanan naik tadi, di tengah-tengah perjalanan
ada Petilasan dan Makam Syaikh Subakir. Menurut cerita Syaikh Subakir berasal
dari negeri Turki dan datang ke Gunung Tidar ini untuk menyebarkan Agama Islam.
Beranjak tidak jauh dari makan Syaikh Subakir, ada juga makam Ki Sepanjang.
Konon Ki Sepanjang adalah senjata berbentuk Tombak milik Syaikh Subakir untuk
melawan Jin penunggu Gunung Tidar.
Aku hanya menyempatkan memotret di
atas saja. Sebuah pohon beringin besar di bawahnya sebuah petilasan bertuliskan
Pangeran Purboyo. Aku tertarik mengikuti jalan ada di dekat Petilasan Pangera
Purboyo. Sebuah jalan setapak mengantarkan aku dan teman-teman sampai di sebuah
makam besar berbentuk kerucut dan berwarna kuning keemasan. Ini adalah situs dan
makam Kiyai Semar, sosok yang dipercaya sebagai Jin penunggu Gunung Tidar.
Situs dan Makan Kiyai Semar berbentuk kerucut berwarna kuning keemasan |
Tuntas sudah perjalanan kami di atas
puncak Gunung Tidar, sebelum kami turun ke bawah, kami sempat mengabadikan diri
berserta teman-teman Travel Blogger yang tersisa. Sebenarnya ada banyak teman
Travel Blogger yang ikut, hanya saja kami di atas berpencar mencari informasi
dan meliput acara Ritual Ruwat Bumi di Gunung Tidar. Kami berfoto di tiang
besar yang katanya digunakan untuk tiang bendera. Dokumentasi ini dipotret oleh
anak-anak kecil yang dengan senang hati membawa kameraku dan asal mengabadikan.
Foto bareng sebagian teman blogger di puncak Gunung Tidar |
“Sekali lagi!! Sekali lagi!” Begitu
teriakan anak yang memegang kameraku.
Usai memotret, mereka juga minta
diabadikan. Aku gantian memotret mereka yang bermain. Aku periksa hasil potret
anak tersebut di kamera, ada 8 foto, dan hanya satu yang fokus. Tidak masalah.
“Masukkan kami ke Koran ya, mas!” Duh
teriakan anak-anak minta dimasukkan ke Koran. Aku masukkan ke dalam blog
pribadi saja ya dek.
Ini mereka yang mengabadikan kami pas foto bareng |
Potensi lain wisata Gunung Tidar
Hari sudah menjelang sore, aku dan
rombongan turun menyusuri jalanan tadi yang kami naiki. Berbeda dengan jalan
turun tidak ramai, sehingga aku dapat menikmati menjulangnya pepohonan Cemara.
Suasana sejuk pun terasa walau kami sedikit kecapekan setelah berjalan ke atas.
Udara segar yang kami hirup, serta canda-tawa bersama blogger yang sebagian
besar baru ketemu setelah sekian lama bersua dan berinteraksi melalui sosmed
saja.
Dari atas puncak ke bawah, aku rasa
Gunung Tidar ini berpotensi jika dikonsep dan dibangun tempat untuk memandang sunrise dan sunset. Di sela-sela batang pohon menjulang tinggi, aku dapat
melihat atap-atap rumah warga dari atas. Bahkan jika memang dibuat tempat
berfoto seperti yang beredar di Jogja, aku rasa Gunung Tidar menjadi salah satu
spot untuk mengabadikan sunrise/sunset.
Kita tidak pernah tahu ke depannya seperti apa, siapa tahu lokasi ini bisa
menjadi terkenal layaknya Pinus Kragilan yang terkenal dengan sebutan “Top Selfie”.
Selain itu, jalur Gunung Tidar bisa
juga diberdayakan menjadi wisata olahraga. Banyak para pesepeda yang suka blusukan di perbukitan. Kemungkinan bisa
dibuatkan jalur untuk bersepeda. Atau malah menjadi lokasi teman-teman yang
suka running dengan menjelajah
sudut-sudut Gunung Tidar.
Di area masuk Gunung Tidar, terdapat
banyak kursi permanen dan meja kecil untuk bersantai. Dari informasi yang
kudapat, untuk memasuki Gunung Tidar ini sementara hanya sumbangan sukarela.
Lokasi yang sudah dikonsep dengan meja dan kursi permanen ini bisa disulap lagi
menjadi area permainan keluarga. Semacam tempat yang menyediakan outbond kecil
bagi keluarga.
Wiata Gunung Tidar mulai berbenah, bersolek lebih baik |
Lokasi yang berada di tengah kota,
dan menjadi jantung kota (secara tidak langsung bisa disebut Hutan Kota),
Gunung Tidar yang mudah dijangkau ini sangat potensi jika dikembangkan. Tinggal
menunggu terobosan pengelola untuk membuat ide yang bisa mendatangkan wisatawan
ke sini. Jika memang ada outbond di sini, secara berkala nantinya banyak
keluarga yang berlibur dan menikmati akhir pekan di sini. Mungkin salah satu
tantangannya ketika ke sini adalah, lahan parkir. Memang harus disediakan lahan
parkir luas untuk menampung kendaraan besar.
Tidak terasa kami dan rombongan sudah
sampai bawah. Di antara pohon Cemara menjulang tinggi yang berada di tepi
jalan. Aku melihat segerombolan Kera kecil. Mereka bergelantungan di atas kabel
listrik, ada juga yang berjalan di tembok kecil. Kehadiran kami tidak dirasa
mengganggu. Aku dan rombongan bergegas mencari bus. Kami akan kembali ke hotel
dan malamnya akan menyaksikan pertunjukan Wayang.
Keringat mengucur, rasa lelah
tertutup oleh kompaknya teman-teman satu bus. Canda-tawa sepanjang perjalanan
pulang mengikis rasa capek. Senang rasanya berkumpul dengan teman blogger dan
bisa menyaksikan rangkaian acara Festival Tidar; salah satunya adalah Ritual
Ruwat Bumi di Gunung Tidar. *Famtrip
Festival Tidar 2016 bersama Travel Blogger, Admin Sosmed, dan Pegiat Pariwisata
atas undangan Disporabudpar Kota Magelang pada hari Jum’at – Sabtu (9-10
Desember 2016).
puncak bukit tidar luas yaa mas sitam...?
BalasHapussampai bisa dibuat acara ritual ruwat bumi segala
Luas kalau di puncaknya mas.
HapusJika dikelola dengan tepat, bukan tidak mungkin gunung ini bisa jadi wisata yang lengkap ya, sekaligus menghilangkan stigma negatif yang mungkin ada di masyarakat soal gunung ini. Jujur saya baru tahu kalau gunung ini ada di tengah kota, hehe. Benar-benar "paku"-nya Jawa ya, kalau kata orang. Jadi penasaran dengan situs-situs yang tersebar di gunung ini, pasti menarik sekali jika ditelaah lebih dalam.
BalasHapusDan, prosesi ritualnya pun sangat menarik. Beberapa aspeknya kelihatan sekali masih bertahan dari masa klasik yang jauh lebih lama--tapi terutama saya penasaran dengan tari Coroko Walik itu. Mudah-mudahan suatu hari bisa menyaksikan langsung pagelarannya secara lengkap, hehe.
Saya yakin kalau mas Gara ikut acara festivalnya bakal antusias banget. Di sini juga banyak petilasannya mas.
HapusUnik dan menarik mas. Semoga bisa lebih berkembang ke depannya.
BalasHapusFestival ini diharapkan bisa menjadi magnet bagi para wisatawan yang ke Kota Magelang.
HapusBener banget lahan parkir di sekitar pintu masuk masih belum memadai untuk menampung kendaraan rombongan wisatawan. Parkir terdekat di halaman ruko di bawah dan wisatawan kudu jalan kaki dari sana, padahal mereka kudu melewati puluhan anak tangga buat ke puncaknya. Keburu capekkk hahaha.
BalasHapusHahahaha, benar toh mas. Tapi kudu berpikir keras di mana lokasinya untuk lahan parkir.
HapusAcaranya seru banget, dan asiknya kita bisa mengenal elbih dekat tradisi dan budaya bangsa Idnonesia yang kaya akan warna dan pembelajaran di dalamnya. Keren kang, bikin ngiler aja. ha,,, ha,, ha,,
BalasHapusSeru bisa ikutan kang, jadi bisa kumpul dengan teman-teman blogger
HapusNegara ku Indonesia penuh dengan ragam budaya yah. I'm proud of it.
BalasHapusBenar-benar beragam mas.
Hapusmbak duta wisata, hati aku juga perlu dipromosiin nih, mbak. :3
BalasHapusmakan bareng rame gitu seru banget kali ya. rebutan gitu hahahahaa.
Kamu harusnya ikut kok, Gal hahahahha
HapusMantap :D
Hapusmasih kental budayanya ya, kalau di jabar sepertinya sudah jarang ada ruwatan bumi
BalasHapusDi Jateng DIY beanr-benar masih kental, mbak.
Hapuswah serunya bisa ikut Famtrip Festival Tidar 2016
BalasHapusBisa kumpul bareng teman, mas.
HapusTarian nya khusus untuk gunung tidar yaaaa
BalasHapusIya om, seru loh bisa lihat tariannya.
Hapuseh memang belum dibuka untuk umum ya?
BalasHapuskirain memang kayak taman kota gitu yang bisa kapan aja bisa dikunjungi :D
tapi rawan disalah gunakan sih IYKWIM
Sebenarnya buka untuk umum, mas. Hanya saja belum banyak yang melirik mas.
HapusAku kok baru sadar skarang ya kalo suasana di sana serem. Wkwkwk
BalasHapusMasa seram? Hahhahah
HapusPerasaanmu aja yang seram :-D
Hihi mas aji baru nyadar.. Apalagi waktu sore dah remang2.kita malah wisata makam yo.. Alhamdulillah senang ngumpul dgn teman2 blogger
BalasHapusBener banget mbak, hahahaha. Bukan seram sih, tapi lebih pada berkharisma :-)
Hapus"Masukkan kami ke koran ya, Mas!"
BalasHapushahag anak2nya lucu banget dah :D
kak traveling ke malang dong, ntar aku diajak ya wkwkwk
Ntar kalau aku ke Malang kamu lagi sibuk syuting kakakakkak.
HapusDi Malang baca blognya Papanpelangi, dia di sana dan pastinya bisa diajak main :-)
beruntung cuman mendung saja, gak hujan.
BalasHapuskalau hujan malah semakin syahdu ntar acaranya...ahaha
Kalau gerimis masih aman, kalau deras bakal kasian :-(
HapusSelama ini kenal Magelang hanya karena Borobudurnya ternyata banyak destinasi yang lain ya, mantap hehehe
BalasHapusKamu harus ke Magelang mas hehehehhe
HapusAhh, aku telat tak melihat arakan tumpeng sampai atas....hahhaah #salahkudewe
BalasHapusMakanya datangnya jangan terlambat ahahahahah
Hapuskemarin aku yo diminta masukin poto bapak2 ke koran mas. Suruh naruh di headline news. Hehe. Karna nulisku yo di blog akirnya ya kupasangnya di blog. Disitu saya merasa ingin ngekek. wkwkw. Btw nice story
BalasHapusTernyata kita sama mbak hahahaha. Pokoknya yang penting ditulis.
HapusTrims infonya. Ruwatan memang suatu kepercayaan yang cukup unik. Namun ini menandakan betapa kaya dan beragamnya budaya Indoneisa
BalasHapusKeberagaman ini yang membuat Indonesia indah :-)
Hapus