Kampung Pitu dan Mentari Terbit di Nglanggeran - Nasirullah Sitam

Kampung Pitu dan Mentari Terbit di Nglanggeran

Share This
Sunrise di Gunung Bantal Nglanggeran
Sunrise di Gunung Bantal Nglanggeran
Jamuan makan malam berupa Ingkung sudah tersaji. Aku dan delapan teman blogger menyantap makan malam tersebut. Mas Lilik, Mas Aris, dan pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran menyambut kami penuh keramahan. Benar-benar jamuan besar. Tak hanya Ingkung, buah-buahan segar pun tersedia.

Sudah seyogyanya aku harus mengenalkan terlebih dulu Desa Wisata Nglanggeran. Desa yang dikelola sejak tahun 1999 – 2006 ini mengalami pasang surut. Tahun 2007 kembali bangkit dan mendeklarasikan sebagai desa wisata, karang taruna disulap menjadi pokdarwis. Destinasi wisata yang paling dilirik orleh wisatawan di desa ini adalah Gunung Api Purba Nglanggeran.
Pemandangan Gunung Api Purba Nglanggeran dari kejauhan
Pemandangan Gunung Api Purba Nglanggeran dari kejauhan
Membludaknya wisatawan naik ke Gunung Api Purba membuat kegelisahan tersendiri. Sampah di mana-mana, sehinga pokdarwis melakukan aturan untuk mengurangi sampah. Uniknya, pokdarwis di sini sengaja membatasi pengunjung yang naik namun omset didapat meningkat, dan sampah pun berkurang. 

Bayangkan tahun 2014 dalam satu minggu mereka harus menurunkan sampah sebanyak 15 kantong, sedangkan tahun 2015 menjadi 2 kantong perpekannya. Hebatnya lagi, tahun 2015 Gunung Api Purba Nglanggeran mendapatkan penghargaan Geopark dari UNESCO. Oya, di Desa Wisata Nglanggeran ini terdapat sekitar 80 homestay yang bisa diinapi wisatawan sekitar 250 orang.
*****

Sebelum adzan subuh berkumandang, kami beserta pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran sudah bersiap menuju Gunung Bantal. Lokasi yang berada di Gunung Wayang, Nglanggeran. Tujuan kami datang menjelang subuh agar dapat mengabadikan sunrise, dilanjutkan sowan ke rumah sesepuh Kampung Pitu.

Mobil bak terbuka merangung kencang, jalan menuju area perbukitan Gunung Wayang berupa tanjakan. Jalan tidaklah besar, sehingga harus ekstra hati-hati. Terlebih tiap sisi jalan masih gelap. Sesekali kami menundukkan kepala agar tidak terkena ranting yang menjalar ke jalan. Perjalanan sempat berhenti, kami menunaikan sholat subuh di musola. Di sini kami disapa warga yang hendak menunaikan sholat subuh berjamaah.

Perjalanan berlanjut, masih dalam kegelapan mobil kembali berhenti dan kami diarahkan untuk turun. Perjalanan selanjutnya hanya bisa diakses berjalan kaki. Kami menuju Watu Wayang, dari sini gemerlap lampu perkotaan terlihat jelas. Aku tersenyum geli kala naik memperhatikan beberapa teman yang kesulitan naik karena penerangan terbatas.

Waktu menikmati gemerlap lampu tidak lama, rombongan harus pindah ke Gunung Bantal. Dari sana nantinya kami menikmati sunrise. Menyusuri jalan setapak, kami berjalan riang. Bahkan salah satu teman sempat bernyanyi ala India. Pasti kamu sudah tahu siapa orang yang kumaksud.

Sebuah bangunan gazebo berdiri kokoh di Gunung Bantal. Cahaya merah marun mulai menghiasi ufuk timur. Aku beserta teman-teman sibuk sendiri. Mencari tempat strategis untuk mengabadikan Baskara. Barisan bukit di depan tampak jelas, pun dengan awan tipis merata.
Masih gelap, dan mendung tipis mulai menutupi ufuk timur
Masih gelap, dan mendung tipis mulai menutupi ufuk timur
“Jangan-jangan tertutup kabut juga.”Gumanku.

Cukup lama kami menanti penuh kecemasan. Tidak hanya raut wajahku, wajah teman-teman juga tampak gusar. Awan menghalangi sang Baskara, padahal kabut di bawah sudah merata bak selimut. Sepertinya memang belum rejeki kami mengabadikan sunrise dari Gunung Bantal. Bisa jadi ini tanda aku harus ke sini lagi di lain waktu.

Asa itu sempat hadir saat gugusan awan merangkak berpendar. Walau mentari sudah agak tinggi, namun sinarnya masih elok dipandang. Kami kembali fokus ke arah timur, setiap orang sudah mempersiapkan kamera untuk membidik pemandangan indah.

Lagi-lagi awan tebal merangkak naik, dan menutup kembali sang mentari yang ingin menyapa kami. Kami tertawa, setidaknya sudah terlihat sedikit mentarinya. Tak mau pulang dengan tangan hampa, sebanyak mungkin kami mengabadikan cahaya yang menerobos ke bumi. Ibarat kata, wujud tak dapat, cahayapun diraih. Ini sebagai bukti bahwa kami sudah pernah menyambangi salah satu puncak di Nglanggeran.
Semburat mentari kala pagi di Gunung Bantal Nglanggeran
Semburat mentari kala pagi di Gunung Bantal Nglanggeran
Ini tanda kalau kita harus ke sini lagi di lain waktu,”Ujarku kembali.

Ungkapan yang mungkin diamini kedepalan teman blogger. Kita tidak pernah tahu rencana mendatang, bisa saja ujaran tadi teringat dan benar-benar dilaksanakan. Tak mau bergelut dengan kecewa, aku dan teman-teman lainnya memanfaatkan semburat cahaya di ufuk timur. Mengabadikan dan mencoba menikmati suasana pagi di atas ketinggian.

Mentari sudah tinggi, namun tetap berbalut awan. Langkah kaki kami bukit terjal, berjalan ke bukit yang lebih landai serta berada di tebing. Kabut tipis terlihat mengapung, sementara pemandangan hijau di bawah benar-benar elok. Kami menikmati pagi di atas bukit, menghirup udara segar.
Menuruni jalan terjal menuju bukit yang lebih landai
Menuruni jalan terjal menuju bukit yang lebih landai
“Banyak-banyak menghirup udara, mumpung udaranya bersih,”Celetuk salah satu teman.

Pemandu mengajak kami ke sini bukan tanpa alasan, mereka mengatakan di sini merupakan lokasi yang bagus untuk berfoto. Kami masih belum paham, sampai salah satu pemandu menunjukkan Embung Nglanggeran jauh di bawah. Dari sini aku baru sadar, memotret embung dari ketinggian memang indah.

“Wooh embungnya kelihatan dari sini!”
 Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian
 Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian Embung Nglanggeran terlihat dari atas ketinggian
Gagal fokus hasil kameraku. Tak jadi masalah, toh yang penting ada dokumentasi. Memang bagus pemandangan pagi dari atas. Kami bersembilan sibuk memainkan kamera masing-masing, dan mengabadikan pagi hari. 

Beberapa teman pun menjadi model dadakan. Keriuhan terjadi kala ingin memotret dengan latar embung. Satu persatu teman berganti ingin diabadikan. Dari sini, aku bisa melihat bagaimana polah teman-teman saat berpose.
Spot foto berlatarkan Embung Nglanggeran
Spot foto berlatarkan Embung Nglanggeran
Sembilan orang blogger kali ini cukup akrab, bahkan kami bilang bahwa trip kali ini layaknya kumpulan keluarga yang sedang main bersama. Di sini, kami pun mengabadikan diri bersama. Wajah-wajah sumringah walau belum mandi. Berlatarkan hamparan hijau dengan kabut tipis tersebar, kami mengikuti arahan pemandu yang sibuk mengabadikan.

“Satu Dua Tiga!” Teriak pemandu yang mengabadikan kami.
Foto keluarga Deswita Jogja
Foto keluarga Deswita Jogja (sumber: insanwisata)
Sebenarnya tidak hanya embung yang terlihat dari sini. Puncak Gunung Api Purba Nglanggeran pun jelas kokoh dengan tiang bendera sebagai penanda. Dari sini, aku bisa melihat ada lebih dari empat orang berdiri di puncak sembari menatap mentari. Kalaupun bukan menatap mentari, tentu mereka menatap kami yang ada di bawahnya.

Sowan ke rumah sesepuh Kampung Pitu
Waktu menikmati alam sudah usai. Kami kembali berjalan menuju parkiran mobil. Agenda selanjutnya adalah mengunjungi rumah Mbah Redjo Dimulyo. Beliau adalah sosok juru kunci Kampung Pitu dan berumur 100 tahun. Di rumah Mbah Redjo Dimulyo, kami mendengar banyak cerita berkaitan dengan Kampung Pitu.

Obrolan panjang bersama Mbah Redjo Dimulyo dipandu salah satu perwakilan dari Pokdarwis Desa Wisata Nglanggeran. Beliau menuturkan sejarah dan cerita berkaitan dengan Kampung Pitu menggunakan bahasa jawa. Kami seksama mendengarkan, pemandu menjelaskan lebih mudah menggunakan bahasa Indonesia agar mudah kami cerna.

Keberadan Kampung Pitu ini sudah lama dan mempunyai cerita yang unik. Sebelumnya penamaan Kampung Pitu adalah Dusun Telogo, sejak tahun 2015 nama Kampung Pitu mulai dikenal. Kampung Pitu merupakan perumahan warga biasa yang terletak di perbukitan, namun jumlahnya adalah 7 Kepala Keluarga.




Salah satu rumah warga di Kampung Pitu Nglanggeran
Salah satu rumah warga di Kampung Pitu Nglanggeran
Dulu sempat sampai 8 Kepala Keluarga, namun entah kenapa ada perselisihan, sehingga mau tidak mau harus digabungkan menjadi 7 Kepala Keluarga. Apabila tidak mau digabung, salahs atu kepala keluarga harus pindah ke bawah. Untuk kehidupan sehari-hari, Kampung Pitu sama dengan warga lainnya. Yang membedakan adalah tradisi mempertahankan 7KK tersebut sampai sekarang.

Di Kampung Pitu terdapat 25 jiwa. Walau berada di atas, stok air sangat melimpah. Di sana ada sumber air yang bernama Telogo Guyangan. Saat musim kemarau pun air dari sumber ini tidak pernah kering. Ada cerita legenda yang terkait dengan Telogo Guyangan, yakin berkaitan dengan telapak Kuda Sembrani. Aku tidak bisa menceritakan lebih detail cerita legenda tersebut.

Walau terlihat biasa, Kampung Pitu mempunyai nilai tradisi yang kuat. Ada banyak hal yang Mbah Redjo Dimulyo ceritakan kenapa sampai beliau bisa menjadi juru kunci di sini, dan cerita-cerita mistis berkaitan dengan Kampung Pitu. Kami bersembilan mendengarkan dengan takzim mengenai sejarah Kampung Pitu.
Foto bersama Mbah Redjo Dimulyo, juru kunci Kampung Pitu Nglanggeran
Foto bersama Mbah Redjo Dimulyo, juru kunci Kampung Pitu Nglanggeran (Sumber: insanwisata)
Menjelang siang, kami pamitan pada Mbah Redjo Dimulyo. Sebelumnya kami habiskan terlebih dulu teh hangat yang disajikan. Sebuah pertemuan yang mengesankan, dan kami mendapat banyak cerita berkaitan dengan Kampung Pitu. Jika kalian penasaran, kalian bisa mengunjungi Kampung Pitu melalui Pokdarwis Nglanggeran. *Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Tagar #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.
Kawasan Ekowisata Gunung Api Purba Nglanggeran
Sekretariat: Kalisong, Desa Nglanggeran, Patuk, Gunungkidul
Website: gunungapipurba.com
Sosial Media: Gunung Api Purba Nglanggeran (FB) & @gunungapipurba (Twitter&IG)
Narahubung: 081804138610 (Aris Budiyono)

30 komentar:

  1. Kapan ya terakir maen ke tempat ini, jadi kangen dah lama soalnya. Beberapa taun yang lalu. Oh, jadi ini kegiatan sebelum Ramadhan ya, Mas, kalau pas puasa tetap rame gak ya kira-kira :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas ini dilaksanakan sebelum ramadan.

      Hapus
    2. Habis ramadhan pengen kesana aku, semoga dapat sunrise :)

      Hapus
  2. menantikan sunrise itu seperti menantikan jodoh.. :D aku pun beberapa kali juga gak dapat sunrise tapi cukup menikmati saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jodoh tak kemana, tapi jodoh harus dikejar :-D

      Hapus
  3. keren ya mas, asri. sejak di Jakarta aku kangen suasana seperti ini. Hiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena pekerjaan kita harus jauh dari tempat asri mas. Tapi dengan cuti dari kantor selama beberapa hari, kita juga bisa merasakan hal-hal yang asri :-)

      Hapus
  4. Weihh terbawa suasana cuy. Btw nglanggeran tuh dimana sih? Kok tempatnya seolah jauh ke pelosok desa bagian dalam banget. Jadi pengin kesana atau paling ga ke tempat yang suasananya mirip seperti ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini di Gunungkidul, DI. Yogykakarta. Mungkin 1.5 jam dari pusat kota Jogja

      Hapus
  5. Indah ya mas. Saya masih penasaran banget ke Nglanggeran ini :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga rasa penasaranmu bisa lekas membuatmu main ke sini mbak.

      Hapus
  6. Jilbab kuning siapa sih mas? Salam kenal :)

    Nglanggeran selain punya alam yang elok, juga punya tradisi yang masih terjaga. Berkesann sekali ketika di Nglanggeran ini... Pingin lagii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi kamu lebih melirik jilbab kuning? Hemmm begitu rupanya hahahhaha

      Hapus
  7. Ah biasanya beruntungan lho Mas menanti sunrise.. Tapi asri banget y Mas suasana kampung nya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heehehehe, setiap orang yang beruntung juga bakal merasakan hal yang kurang beruntung :-)
      Yang penting tetap dinikmati heheheheh

      Hapus
  8. Embung Nglanggerannya kenapa eksotis sekali kelihatan kecil tapi biru banget di bawah sana T_T

    BalasHapus
  9. Sunrise dan sunset murni suka-sukanya alam. Aku juga sering mengalaminya. Terutama sunrise. Sudah bangun pagi-pagi sekali, eh yang bertemu cuma awan abu-abu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cahaya pagi dan sore itu bagus banget untuk diabadikan tante :-)

      Hapus
  10. wah sunrisenay indah sekali, gunungnya unik , embungnya bikin adem

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih indah lagi jika mentari dapat terlihat tanpa diselimuti kabut mbak :-)

      Hapus
  11. Kangen Nglanggeran, Mas, kangen Bu Mawar, kangen ademnya, kulinernya, :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener banget, aku masih inget waktu kita pamitan di depan warung

      Hapus
  12. sunrise nya cantiiik
    dari dulu pengen ke nglanggeran, tapi gak jadi jadi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini juga sudah lama banget pengen ke sini pas sunrise, akhirnya terlaksana juga :-D

      Hapus
  13. tahun lalu waktu liburan ke jogja ngelewatin gunung purba ini, sayang waktunnya mepet mesti ngejar ke destinasi lain, Jadi ga sempet mampir. Kayaknya mesti balik lagi ke jogja nih ... banyak banget tempat2 yang kece

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ke Nglanggeran enak lagi naik sepeda kang. Seru jalurnya :-)

      Hapus
  14. Seumur-umur aku ke Jogja belum pernah sempat mampir ke Ngglanggeran ini Nasi. Nanti kalau main ke Jogja lagi aku ke sana ah~

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tenang, kalau di Jogja nanti kami antar buahahahhahah

      Hapus

Pages