Review Buku Mata Lensa Karya Adek Berry - Nasirullah Sitam

Review Buku Mata Lensa Karya Adek Berry

Share This
Mata Lensa karya Adek Berry
Mata Lensa karya Adek Berry
Sebuah tweet dari Om Arbain Rambey yang memposting pre order buku melintas di linimasaku. Aku tertarik melihat lebih lama. Dua hal yang kuperhatikan saat itu, judul buku dan siapa penulisnya. Buku ini berjudul “Lensa Mata”, lalu ku-search nama penulis di Google. Hanya sepersekian detik di google, ada banyak tercantum nama penulis.

Tidak perlu berlama-lama, aku langsung menghubungi nomor tertera dan memesan satu eksemplar. Dari awal aku sudah membayangkan jika buku ini pasti menceritakan kisah penulis ketika sedang bertugas sebagai jurnalisfoto. Pekerjaan yang tidak semua orang bisa lakukan, terlebih dia perempuan.
*****

Judul: Mata Lensa – Jejak Ketangguhan Seorang Jurnalisfoto Perempuan
Penulis: Adek Berry
Penerbit: TransMedia
Tahun Terbit: 2017
Halaman: xxvi + 366
Bahasa: Indonesia

Buku non fiksi Indonesia karya Adek Berry ini menceritakan pengalamannya selama menjadi seorang jurnalisfoto di berbagai tempat, bagaimana ketika pertama terjun menjadi seorang jurnalis, berinteraksi dengan sesama jurnalis ataupun masyakarakat, serta menempatkan diri ketika meliput peristiwa besar.

Pada awal tulisan, Berry menceritakan siapa sosok “Berry” pada pembaca. Bagaimana bisa perempuan yang awalnya kuliah di jurusan Ilmu Kedokteran Gigi malah menjadi jurnalisfoto. Tidak lupa diceritakan tentang kali pertama jatuh cinta dengan kamera. Sehingga dia benar-benar menyatu dengan kamera dalam kehidupannya.

Karir Berry berawal dari seorang reporter di majalah Tiras. Kemudian pindah menjadi jurnalisfoto di majalah Tajuk. Setelah itu karirnya makin naik pesat ketika menjadi jurnalisfoto di Kantor Berita Prancis, Agence France-Presse (AFP) biro Jakarta.

Alur cerita yang ditulis cukup membuat pembaca ikut berdebar. Terlebih ketika cerita pengalaman meliput di Afganistan. Berry menceritakan dengan detail serta gaya penulisannya khas seorang jurnalistik yang simpel, jelas, lugas, dan apa adanya. Pun jika ada kata-kata baru. Mungkin sebatas kata yang biasa digunakan oleh seorang jurnalisfoto.

Buku ini terbagi menjadi beberapa bagian. Tiap bagian menceritakan kisah yang berbeda. Berry membagi ceritanya seputaran peristiwa alam (gempa bumi di Jogja, tsunami di Aceh, dll), daerah konflik (Afghnistan dan sekitarnya), serta cerita ketika dia masih menjadi jurnalisfoto di Istana Negara.

Berry menceritakan pengalaman meliput tentara USA, mengikuti prosedur yang tidak bisa memotret sembarangan. Dia juga menceritakan pengalaman saat mendaki gunung Salak beserta para Tim SAR dan TNI. Bahkan dengan lugasnya Berry menceritakan bagaimana dia melanggar aturan ketika meliput erupsi Merapi demi mendapatkan dokumentasi yang lebih.

“Reporter dan fotografer adalah profesi di bidang jurnalistik dengan medium yang berbeda, meski di berbagai media kedua profesi tersebut sering dilakukan oleh orang yang sama – Mata Lensa halaman 20.”

“Satu sisi, hatiku miris menyaksikan warga yang menangis dan tercengung di depan rumah mereka yang tinggal puing. Di sini lain, aku harus mengerjakan tugas sebagai jurnalis yang meliput peristiwa – Mata Lensa halaman 115.”

“Jurnalis memasuki semua sisi kehidupan masyarkat, baik yang menyenangkan maupun sisi yang gelap, yang nyaman maupun medan yang sulit, tidak terkecuali meliput di wilayah konflik – Mata Lensa halaman 174.”

“Menyusup rasa takut dalam hatiku, bayangkan aku hanya seorang diri di tengah gunungan jemari di tengah malam buta di negara yang sedang dilanda konflik itu. Bagaimana kalau serangan justru datang dari balik jerami? – Mata Lensa halaman 249.”

“Aku sendiri takjub dan bersyukur dengan semua sisi perempuan berkeluarga yang aku lalui selama bekerja sebagai jurnalisfoto – Mata Lensa halaman 339.”

Rangkaian kutipan di atas berasal dari dalam buku Mata Lensa – Adek Berry. Mungkin dari kutipan ini, kalian (bagi yang belum membaca) tertarik untuk membaca buku tersebut.
*****


Koleksi pribadi buku Mata Lensa karya Adek Berry
Koleksi pribadi buku Mata Lensa karya Adek Berry
Membaca buku Berry membuatku sedikit paham bagaimana beratnya menjadi seorang jurnalisfoto. Ada banyak faktor yang membuat seseorang menjadi lebih kuat saat meliput peristiwa, pun dengan sebaliknya. Ketika seorang jurnalisfoto harus terkekang melewatkan sebuah momen besar di depan matanya sendiri tapi tidak diperkenankan untuk diabadikan.

Insting seorang jurnalisfoto harus jauh lebih peka membaca situasi. Mereka rela bersusah-payah bergerak, mengambil momen, menjaga keseimbangan ketika memotret, ataupun mengambil sudut terbaik dengan posisi sempit sekalipun.

Sesama jurnalisfoto hendaknya tercipta rasa kekeluargaan, tidak hanya sebagai mitra, tapi menjadi keluarga untuk saling membantu dalam peliputan. Membantu secara langsung ataupun tidak langsung. Memperbanyak mitra menjadi hal yang mutlak jika ingin terus berkembang.

Adek Berry menghapus stigma jika jurnalisfoto dan bertugas di daerah konflik itu tugas jurnalisfoto pria. Nyatanya pekerjaan sebagai jurnalisfoto di tempat-tempat tertentu itu tidak pandang gender. Semua bisa melakukan jika ada keyakinan tinggi, kemantapan hati, dan doa dari orang-orang terdekat.

Di antara semua itu, satu hal menurutku yang menjadi istimewa. Terlepas dari profesi menajdi seorang jurnalisfoto, Adek Berry tetap bisa menjadi seorang ibu dari kedua anaknya. Salut untuknya yang bisa berkomunikasi dengan baik dengan keluarga untuk berbagi tugas selama dia meliput peristiwa dengan kurun waktu lama.

Buku ini tidak menuliskan bagaimana cara memotret yang baik, mendapatkan foto dengan sudut yang indah, ataupun bagaimana mengatur setelan kamera ketika ingin membidik suatu objek. Buku ini murni bercerita tentang pengalaman seorang jurnalisfoto yang bertugas di wilayah konflik, bencana alam, peristiwa besar dan cepat, serta tanggap menangkap momen untuk diabadikan.

12 komentar:

  1. Wah aku penasaran sama bukunya, kayaknya keren banget ya.. Seorang jurnalisfoto yang merangkap menjadi ibu bagi dua anak.. Mesti suaminya juga hebat nih, hhh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di buku ini ada cerita tersebut; menarik untuk dibaca loh :-)

      Hapus
  2. Benar-benar menghapus stigma bahwa yang harus bekerja di daerah konflik itu hanyalah pria. Jadi penasaran dengan bukunya. Pasti banyak cerita menarik mengenai konflik afgan yang selama ini beritanya memang udah mulai meredup.

    salam kenal.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagi para insan yang bergelut denga kamera serta peristiwa besar, buku ini wajib dibaca untuk menambah pengalaman

      Hapus
  3. aku paling salut ama jurnalis photo itu gimana gitu rahasianya dapat photo keren

    BalasHapus
  4. gila ya .. berani bener .. perempuan pergi meliput ke daerah konflik ..
    segelintir orang yang mau pergi kesini ... top deh .. saluttt

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itulah istimewanya kang. Menjadi pengalaman yang tak ternilai harganya

      Hapus
  5. Kavernya cantik dan penasaran isinya kayak apa *langsung cek di goodreads.
    Belum banyak ya buku yang ngebahas tentang profesi tukang foto, jadi penasaran, apalagi ini berdasarkan pengalaman meliput tentara USA. Wow!

    @omnduut

    BalasHapus
  6. Penasran sebenarnya isi bukunya? seorang ibu dua anak yang hebat bngat pastinya

    BalasHapus

Pages