Lonceng Tua di Gereja Kristen Jawi Wetan Jombang - Nasirullah Sitam

Lonceng Tua di Gereja Kristen Jawi Wetan Jombang

Share This
Gereja Kristen Jawi Wetan di Jombang
Gereja Kristen Jawi Wetan di Jombang
“Kita ke gereja dulu. Setelah itu lanjut ke air terjun Tretes. Satu arah kok jalannya,” Terang Mas Alid sembari sarapan.

Sontak aku terkesiap. Sekarang hari minggu, jika misalnya mengunjungi tempat ibadah, takutnya mengganggu mereka beribadah. Namun aku juga penasaran perihal cerita adanya lonceng tua yang terletak di lantai dua, tepatnya di atas Menara gereja.

Sarapan pagi telah usai. Rombongan kecil masuk ke dalam mobil, waktunya menghabiskan hari terakhir di Jombang. Perjalanan cukup panjang dari kota Jombang menuju kecamatan Morowarno. Gereja Kristen Jawi Wetan yang nantinya kami kunjungi berada di Jalan Merdeka No.2, Mojowangi, Mojowarno, Kabupaten Jombang.

Mobil menyusuri jalan sepi, dan terasa lama. Akhirnya sampailah kami pada bangunan gereja megah berwarna putih di sisi kanan jalan. Halaman depan terdapat beberapa mobil parkir. Pagi ini gereja baru saja selesai gunakan prosesi pernikahan. Mobil-mobil tersebut keluar, mobil yang kami naiki melintasi sisi kiri gereja, parkir di halaman belakang.

Sembari menunggu izin apakah diperbolehkan masuk atau tidak, aku berjalan menuju halaman depan. Berjejeran jendela indah ala bangunan Belanda. Jendela-jendela menjulang tinggi berlabur cat putih kombinasi dengan abu-abu bagian kayunya. Aku baru sadar jika jendela-jendela ini menjadi spot foto para remaja yang berkunjung.

Aku duduk di bawah pohon rindang menatap gereja. Di depan gereja terdapat tulisan besar dilengkapi dengan taman kecil yang melingkar. Taman ini sekaligus digunakan sebagai sekat mobil masuk dan keluar. Menara tinggi tampak gagah. Dari informasi yang kubaca, di sanalah letak lonceng tua tersebut.
Tempat meletakkan lonceng tua gereja
Tempat meletakkan lonceng tua gereja
Mas Alid keluar dari dalam gereja dengan wajah sumringah. Ini artinya kami diizinkan melihat lonceng tersebut, pun dengan mengeksplor tempat peribadatan yang dikenal mempunyai sejarah kuat. Sejarah tentang salah satu gereja yang tertua di Jombang.

Pak Nano yang menjaga gereja kali ini mengajak kami masuk lewat pintu belakang gereja. Di dalam ruangan belakang kutemui beberapa orang lainnya. Kami saling menyapa dan berjabat tangan, sembari kembali meminta izin serta memohon maaf karena merepotkan di siang hari.

Interior di dalam gereja megah dan khas ala peninggalan Belanda. Kursi-kursi yang terjejer berbahan baku kayu Jati berwana hitam. Kursi tersebut memanjang, cukup digunakan duduk banyak jemaat. Tiap tepian kursi diberi seikat bunga. Kami diarahkan naiki tangga yang letaknya berada di dekat pintu masuk gereja.

Anak tangga menuju ke lantai dua terlihat biasa. Namun perjalanan menuju menara yang ada di atas butuh perjuangan. Di lantai dua kami diarahkan pak Nano memasuki pintu kayu berwarna hijau toska. Beliau membagi kami menjadi beberapa kelompok. Kami naik secara bergantian. Aku mendapatkan urutan pertama beserta tiga orang lainnya dan dikawal pak Nano.
Menuju ke atas menara tempat lonceng tua
Menuju ke atas menara tempat lonceng tua
Tangga memutar dan sempit mengingatkanku saat naik ke mercusuar pantai Pandansari di Bantul. Pengap dan sempit lorong yang kulewati, anak tangga tersebut melingkar dan terasa lebih kecil. Bagi yang tidak biasa jalan seperti ini harus istirahat di tengah jalan lebih lama, mengusahakan tenaga tetap terjaga.

Beberapa teman suara nafasnya tersengal-sengal. Kadang terlihat bekas rumah laba-laba yang menempel di atap, jarang ada orang naik ke sini rasanya. Terus kutapaki anak tangga yang memutar, dan akhirnya sampai juga di lonceng tua yang bersejarah ini.

Loncengnya cukup besar, namun sudah ditanggalkan. Lonceng ini diganti dengan lonceng baru yang berwarna kuning keemasan. Terdapat tulisan pada lonceng baru yang terpasang, Tulisan tersebut “Agustus 2016”. Bisa jadi lonceng ini menggantikan si empu yang lama sejak tahun 2016, tepatnya bulan agustus.
Lonceng baru yang dipasang, sementara lonceng lama ditaruh diletakkankan
Lonceng baru yang dipasang, sementara lonceng lama ditaruh diletakkankan.
Lonceng lama berukuran lebih besar, warna kuningnya mulai kusam. Ditanggalkan tepat di bawah lonceng baru dengan penyanggah batang-batang papan besar. Perbedaan lonceng lama dengan yang baru tidak hanya pada ukurannya, tapi di tiap sisi lonceng lama terdapat emblem yang mengelilingi lonceng. 

Ada empat emblem pada lonceng lama. Ada literatur yang menuliskan jika lonceng tersebut sudah ada sejak tahun 1873. Menarik jika menilik sejarah gereja tua ini. Berbagai sumber menuliskan bahwa gereja ini dibangun pada tahun 1879. Dikerjakan secara bertahap dan sampai akhirnya jadi serta diresmikan pada tahun 1881. 

Jika ditarik ke belakang, lonceng yang katanya sudah ada sejak tahun 1873, sedangkan gereja dibangun tahun 1879; ini artinya lonceng tersebut sudah ada terlebih dulu. Bisa jadi literatur tersebut mengacu pada Gereja Kristen Jawi Wetan ini sejak tahun 1873 sudah mempunyai majelis sendiri.

Aku belum mendapatkan informasi valid berkaitan dengan lonceng tersebut berkaitan dengan pemasangannya atau pembuatannya di tahun ke berapa. Kesalahanku juga tidak menanyakan secara langsung pada pak Nano saat menemani kami.

Yang jelas, ketika aku di dekat lonceng tersebut, tak kutemukan tulisan tahun dan lainnya. Hanya ada ornamen beserta emblem pada lonceng. Biasanya lonceng sudah dibuat dan siap diletakkan pada menara gereja ketika gereja siap digunakan.
Lonceng tua bersejarah di gereja kristen jawi wetan, Jombang
Lonceng tua bersejarah di gereja kristen jawi wetan, Jombang
Teman yang lain gantian naik ke atas menara. Aku keluar dan menunggu mereka di lantai dua gereja. Kursi-kursi kecil berjejer rapi, dari kejauhan tampak mimbar. Sama seperti kursi di bawah, di sini seluruh kursinya berbahan kayu Jati.

Cukup lengang gereja ini, beda jika dilihat dari luar. Di luar sudah ada banyak remaja warga sini yang berdatangan. Mereka asyik foto dengan latar belakang jendela tinggi. Kebaktian di gereja ini dilakukan tiga kali. Jadwalnya adalah pukul 05.30 WIB, 09.30 WIB, dan 16.30 WIB. Sementara kami datang ke sini pukul 11.00 WIB.

Ruangan di dalam gereja temboknya berwarna hijau toska semua. Langit-langit pun dicat warna yang serupa, terlihat bergaris-garis. Aku tidak tahu apakah garis-garis tersebut adalah susunan papan kecil. Terdapat lampu hiasan yang berwarna temaram, membuat suasana di dalam gereja menjadi lebih sunyi serta khidmat.
Ruangan dalam gereja Kristen Jawi Wetan
Ruangan dalam gereja Kristen Jawi Wetan
Mimbar di depan berdampingan dengan gamelan yang berada tidak jauh di sampingnya. Peralatan lengkap gamelan di atas karpet merah. Mimbarnya di atas altar hitam. Seperti terbuat dari marmer. Aku berjarak dekat dengan pak Nano, beliau membereskan karpet dan peralatan lainnya.

Sembari membereskan, pak Nano bercerita jika dulunya di sini ada alat orkestra besar. Aku belum sepenuhnya paham yang beliau bilang. Beliau terus bertutur jika alat-alat tersebut dulunya untuk mengiringi musik saat beribadah. Pada akhir tuturan beliau, raut wajah menyesal jika alat-alat tersebut dulu hanya diletakkan di belakang gereja. Tidak terawat dan beberapa benda lainnya hilang.
Pak Nano yang menjaga gereja tua tersebut
Pak Nano yang menjaga gereja tua tersebut
Aku mengeksplor kembali sudut gereja dari luar, meninggalkan pak Nano yang sibuk membersihkan kursi-kursi dari debu. Langkah kaki kuarahkan ke pintu masuk dari depan gereja. Terdapat satu pintu utama masuk ke dalam gereja. Di kedua sisi pintu masuk terdapat kartu katalog. Kartu katalog tersebut dibuatkan sesuai jenis kelamin.

Tepat di samping kartu katalog, kedua sisi gereja juga ada anak tangga untuk jemaat yang ingin ke lantai dua. Pada dinding dekat tangga naik dipajang lukisan Yesus. Naik ke lantai dua ternyata tidak hanya dari dalam gereja saja jalannya, dari luar pun bisa langsung menuju lantai dua gereja.

Sebuah pengalaman pertamaku masuk ke gereja. Ini memang kali pertama masuk gereja, mengeksplor ke dalam, serta diperbolehkan naik ke atas menara untuk melihat langsung lonceng tua. Hari semakin terik, cuaca di Jombang panas, aku menunggu teman-teman lain keluar di bawah pohon. Setelah lengkap, kami foto bersama di depan gereja.
Gereja GKJW tampak dari luar
Gereja GKJW tampak dari luar
Satu persatu rombongan kami pamitan, pak Nano tetap saja tersenyum ramah seperti waktu kami pertama kali datang. Beliau bercerita jika sudah terbiasa menerima kunjungan seperti kami. Terima kasih pak, terima kasih juga untuk semuanya yang beribadat di Gereja Kristen Jawi Wetan karena kami diperbolehkan masuk ke dalam. *Minggu, 20 Agustus 2017.

44 komentar:

  1. Sekilas kalo kulihat, desain menara tempat lonceng gerejanya mirip sama desain menara yang ada di Keraton Solo yah..

    Cheers,
    Dee - heydeerahma.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pernah berpikir ini mirip mana gitu, dan benar banget mbak ahahhahaha. Aku baru sadar.

      Hapus
  2. wah ini pasti rame sekali besok pas natal

    BalasHapus
  3. Bangunan yang megah, interiornya juga bagus. Itu Pak Nano a.k.a Dwi Winarno ya? Di Jawa Pos nama lengkapnya demikian. Pengin ke sana lagi hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepertinya iya mas, pas aku tanya waktu itu jawabnya Pak Nano, atau malah beliau bilang pak Narno dan kudengar hanya pak Nano :-D

      Hapus
    2. Wkwkwkwk, loyal ya pengabdian beliau luar biasa :)

      Hapus
  4. Bangunan tua zaman Belanda selalu terlihat cantik dan elegant .. terawat seperti gereja ini .. warna hijau toska-nya keren

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampai sekarang gerejanya masih digunakan untuk beribadah

      Hapus
  5. Duh aku belum pernah ke jombang. Pengin ah kapan2 mampir ke gereja ini, interiornya kok unik banget ya.. Tangganya juga lucu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cepat ke sana mbak, kalau butuh teman kabari aja *eh buahahahha

      Hapus
  6. Unik gerejanya, bangunan khas Belanda gitu..

    Jangan sampai ilang tuh lonceng lamanya..

    -Traveler Paruh Waktu

    BalasHapus
  7. bangunan tua jaman dulu memang kokoh kokoh ya, tahan lama
    fotogenik pula

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bangunan dulu memang seperti itu mas, megah pula :-)

      Hapus
  8. Aliiid mana alid, aku mau diajakin ke sini kalo ke Jombang. Mau sampe atas, walaupun kayaknya bakalan ngap juga hehe. Tapi gini-gini aku pernah menaklukan mercusuar di Pulau Lengkuas Belitong, ya bisalaaaah kalo cuma gereja doang mah. *somboooong

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau naik mercusuar sudah lolos, dijamin naik ke sini pasti kuat hahahhahaha

      Hapus
  9. Udah lama pengen ke tempat ini, belum juga kesampaian. Dari dulu tertarik karena liputan di tivi pas natalan. Gereja ini konon, satu2nya di Jawa Timur, kalo gak salah lho, yang kidung sama khotbahnya pake bahasa Jawa diiringi gamelan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, saya mendapatkan info seperti itu. Masih pakai bahasa Jawa, dan emmang ada alat gamelannya

      Hapus
  10. Aku belum pernah masuk ke gereja satupun. Haha.
    Untung e pas nggak kebaktian ya. Jadi nggak ngganggu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sengaja siang hari dan waktu sedang tidak ada yang beribadat.

      Hapus
  11. Bangunannya Eropa banget ya, dan masih bagus. Baru tahu kalau di Jombang ada kota lamanya kayak di Semarang, kapan-kapan ntar gue ke Jombang ah hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ke Jombang bisa kabar-kabar ke empunya mas. Dia pasti bantu hhahhaha

      Hapus
  12. Arsitektur serta loncengnya bikin hati kepincut! Caw ah kesana ^-^

    BalasHapus
  13. bentar lagi natalan.. bakal padat nih gereja..hehe

    BalasHapus
  14. Ah loncengnya menarik sekali, bangunan gerejanya pun sangat clasik, baru tau bisa keliling di gereja kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ada beberapa gereja yang memperbolehkan kita untuk menjelajahnya

      Hapus
  15. Pas baca gereja kristen jawi wetan di jombang, langsung nyambung kalau ini di mojowarno, dan bener masnya emang ke mojowarno.
    kalau dari rumahku buat ke geraja ini lumayan dekat mas, ada kurang lebih 30-45 menit.
    aku sendiri belum pernah singgah kesana, cuman sesekali lewat kalau ke mojowarno

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe, benar adanya mbak.
      Masa? Padahal gereja ini banyak yang datang loh, kalau bisa pas lagi sepi dan izin ke pak Nano siapa tahu diperbolehkan juga ke atas

      Hapus
  16. Unik ya. Biasanya gereja tua dan bersejarah itu ada di pusat-pusat kota (besar), tapi yang ini malah ada di kabupaten Jombang. Aku jadi penasaran, apakah Mojowangi ini dulunya salah satu kawasan penting dalam masa penjajahan? aku suka warna toskanya, teduh dan sejuk.. Wajib ke sini nih kalau ke Jombang, sekalian ibadah :)

    daaannn aku baru tau di Bantul ada mercusuar! main ke sana ah, liburan gini harus cari yang antimainstream xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, selamat mengeksplor tempat-tempat yang mungkin jarang dilirik wisatawan :-d

      Hapus
  17. Wah aku belum pernah nih cobain mampir ke gereja. Paling seringnya lihat-lihat ke Vihara.
    Bangunan megah yaaa, bagus.

    BalasHapus
  18. Kalo melihat lonceng gereja seperti itu, aku jd inget cerita2 novel petualangan enid blyton. Ada yg ttg lonceng gereja yg dibunyikan pada saat bahaya :) . Kalo traveling ke negara2 yg mayoritas kristiani, aku suka datangi bbrp gerejanya yg megah. Kadang ada yg punya lonceng, tp ada jg yg gak.. :). Mendengar lonceng gereja berbunyi, trutama pas hari kebaktian, itu rasanya kyk adem. Tapi memang semua tempat ibadah slalu ninggalin kesan seperti itu sih di aku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setiap tempat ibadah pasti hawanya tenang mbak hehehhehe. Kita pun mengalamai hal yang sama jika di tempat mana pun.

      Hapus
  19. Bagus sekali ya bangunannya. Salut dengan perawatannya yang baik. Kadang pengen masuk ke bangunan ibadah umat lain. Tapi takut ganggu. Jadi moto dari luar saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kami sengaja masuk dan izin dulu mas. Terlebih ada teman dari Jombang dan dia paham kalau tempat ini boleh dikunjungi selama tidak ada aktivitas ibadah.

      Hapus
  20. kalo ada acara kawin pasti khusyuk banget, suasana gerejanya vintage gitu mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dan lokasinya juga mendukung koh, karena berada di pinggiran. Bukan di tengah kota.

      Hapus
  21. Kalau melihat bangunan seperti ini, saya selalu berharap bisa tetap terjaga, panjang umur supaya bisa jadi jejak sejarah yang panjang bagi anak-cucu kita.

    sayangnya di Indonesia, kadang kita suka lupa untuk merawat. selalu yang terbayang hanya bagaimana menggantinya dengan hal baru yang lebih moderen

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga saja daeng. Iya, banyak di Indonesia bukannya melestarikan, tapi malah menggantikan dengan yang baru.

      Hapus

Pages