Sejumput Kenangan di Alun-alun Lasem dan Desa Dasun - Nasirullah Sitam

Sejumput Kenangan di Alun-alun Lasem dan Desa Dasun

Share This
Masjid Jami' di Lasem
Masjid Jami' di Lasem
“Pak, nanti turun di jembatan Babagan,” Pintaku pada kondektur Bus Indonesia jurusan Semarang – Surabaya.

Kondektur tersebut mengangguk paham. Aku duduk di kursi paling depan sisi kiri, tepatnya di belakang kondektur yang sibuk mengingatkan penumpang untuk turun. Mataku menatap maps yang di gawai. Sesuai keterangan, jembatan Babagan jaraknya beberapa ratus meter setelah terminal Lasem.

Selang sebentar, setelah menurunkan penumpang di terminal Lasem, bus kembali memperlambat lajunya. Aku berdiri dan turun dari bus seraya mengucapkan terima kasih. Hari masih cukup pagi di Lasem, aku berdiri sejenak menatap spanduk Lasem Fest di jalan menuju desa Dasun.

Sebuah becak terparkir di tepi jalan, pemiliknya duduk sembari menikmati rokok kretek. Tawaran naik becak kutolak dengan halus, setelah itu aku bertanya di mana surau/masjid terdekat.

Beliau mengarahkan aku ke masjid Jami’ yang jaraknya sekitar 600 meter dari tempatku turun. Bergegas aku jalan kaki menuju masjid tersebut dan menunaikan salat subuh. Meskipun agak kesiangan, tapi tak kupikirkan. Toh mau bagaimana lagi.

Selepas salat subuh, aku istirahat di teras masjid. Melihat lalu-lalang kendaraan dari pertigaan lampu merah. Kusempatkan untuk menyeberang dan mengabadikan masjid dari seberang jalan. Sayangnya, puluhan kabel melintang di atas. Membuat kubah berwarna hijau terang seakan-akan tergores kabel panjang.

Hari masih pagi kalau menuju Lawang Ombo, tempat nantinya menjadi persinggahanku bertemu teman-teman bloger yang kumpul di Lasem. Aku menyusuri jalanan di dekat masjid, mencari warung yang buka untuk sarapan.

Tak jauh di masjid sebuah tenda kuning bertuliskan Soto Surabaya menarik perhatianku. Kutuju tenda tersebut, dan memesan seporsi soto beserta teh panas. Semalaman perut hanya terisi roti dan wedang jahe sewaktu di Kartosuro.

Menunggu soto dihidangkan, aku iseng membuka gawai dan menulis kata “Alun-alun Lasem”. Tertuju sebuah petunjuk kalau di Lasem ada alun-alunnya. Kulihat lebih seksama di Maps, sepertinya tidak jauh dari tempatku duduk.

Semangkuk soto dan teh panas kulahap, lalu membayar dan meninggalkan warung. Mataku masih tertuju pada gawai yang menunjukkan alun-alun Lasem hanya berada di seberang Masjid Jami’. Tak kutemui lapangan layaknya laun-alun. Hanya seperti taman kecil yang ditutupi baliho besar dan warung-warung semi permanen.
Taman alun-alun Lasem dikelilingi pertokoan
Taman alun-alun Lasem dikelilingi pertokoan
Aku sangsi, apakah ini benar-benar alun-alun Lasem. Kutanya seorang anak yang berangkat sekolah. Jawabannya benar, ini adalah lokasi alun-alun Lasem. Rasa penasaran masih menggelayut, akhirnya aku putuskan mencari informasi melalui gawai.

Ada beberapa tulisan yang menerangkan bahawa depan Masjid Jami’ dulunya memang alun-alun, namun sekarang sudah beralih fungsi menjadi tempat pertokoan. Sayang rasanya jika Alun-alun tersebut tinggal kenangan, dan hanya menjadi cerita turun-menurun. Tentu terbesit harapan para warga Lasem untuk mengembalikan fungsi alun-alun mereka.

Aku rasa sudah waktunya untuk menuju Lawang Ombo, bersua dengan teman-teman bloger serta pegiat sosial media yang datang dari sekitaran Jepara, Pati, Rembang, Blora, dan Kudus. Aku berjalan menuju tempat turun dari bus, dan melangkahkan kaki menuju Lawang Ombo. Nantinya aku ceritakan sendiri kunjunganku ke tempat bersejarah ini.

Menyapa mentari di pematang tambak garam desa Dasun
Hari kedua di Lasem kusempatkan untuk menunggu sunrise di pematang tambak garam desa Dasun. Aku menunggu sang baskara muncul dari sela-sela perbukitan hijau di timur. Sengaja aku jalan sendiri, teman lain masih terlelap tidur.

Semburat cahaya tampak, kamu duduk beralaskan sandal yang kulepas. Mata terus menatap perbukitan, sesekali mengatur setelan kamera. Tidak sesuai rencana, tepat di area mentari terbit sudah ada awan tebal.

Desa Dasun cukup indah serta mempunyai potensi wisata yang lengkap. Dari desa sini kita bisa mengakses destinasi heritage cukup dengan jalan kaki atau menaiki motor. Ada juga pantai, pun dengan susur sungai. Nantinya susur sungai akan aku lakukan menjelang siang.
Menyapa mentari di desa Dasun, Lasem
Menyapa mentari di desa Dasun, Lasem
Hamparan tanah lapang berumput hijau bersekatan dengan tambak garam. Musim hujan, petani garam rehat dari aktivitasnya. Mereka mencari pekerjaan lain untuk menambah tabungannya. Barisan tiang sutet memanjang, berpuluh-puluh kilometer membelah area sawah.

Gagal mendapatkan foto sunrise, aku tidak langsung pulang ke rumah warga yang kuinapi. Sengaja aku berjalan meniti pematang tambak garam. Petakan-petakan tambak garam ini dibiarkan begitu saja, tidak digarap karena musim hujan mulai datang.

Teringat obrolan kemarin sore dengan pak Karmin, petani garam sekaligus tuan rumah yang aku inapi. Kami berbincang tentang harga garam, beliau bilang jika tahun ini hanya produktif mengolah tambak garam selama dua bulan. Beruntung harga garam sempat melambung naik, sehingga beliau dan petani garam lainnya tidak mengalami kerugian.

Jika musim hujan seperti ini, tambak garam dibiarkan terisi air, kemudian ditaburi benih ikan bandeng. Tidak ada perawatan khusus, hanya sebar benih dan dibiarkan saja sampai panen. Untuk makanan, ikan bandeng memakan lumut-lumut yang ada di tambak. Menurut pak Karmin, jika banyak lumutnya biasanya dalam kurun waktu empat bulan bisa panen.
Tambak garam yang sementara tidak dikelola
Tambak garam yang sementara tidak dikelola
“Kalau lumutnya sedikit ya paling tujuh bulan baru panen, mas,” Ujar beliau.

Beliau juga menjelaskan jika tambak garam itu bukan lahan pribadinya, tapi milik pihak lain yang dikelola beliau selama beberapa tahun. Biasanya rentang waktu mengelola satu petak tambak itu sekitar lima tahun. Jika waktu kontrak sudah habis, kembali kedua belah pihak bertemu dan menyepakati harga serta berapa lama akan disewakan lagi.

Mentari mulai menampakkan cahayanya. Pematang yang awalnya temaram menjadi benderang. Barisan bukit terlihat lebih hijau. Pematang garam dan ladang warga ramai oleh sapi-sapi warga. Sapi-sapi tersebut berlarian, mengelilingi ladang.

Seorang bapak sibuk mengarahkan sapi agar tidak berlarian liar. Beliau berteriak sembari memegang ranting untuk menghalau sapi agar tidak keluar dari ladang rumput. Terus kuamati, sepertinya sudah lama sekali tidak melihat gerombolan sapi. Biasanya melihat sapi hanya di kandang, itupun sewaktu main ke desa wisata.

Aku tidak tahu, melihat tingkah sapi di ladang luas cukup menarik. Jalan kecil berlumpur kulewati, tanpa terasa alas kaki menjadi tebal banyak tanah yang menempel. Dari jarak dekat, kubidik beberapa sapi yang terikat sendiri. Sapi-sapi tersebut tidak merasa terganggu.
Belasan sapi di hamparan rumput hijau
Belasan sapi di hamparan rumput hijau
Jarang ada sapi banyak di hamparan rumput seperti ini. Anak sapi berlarian tanpa arah, sesekali balik ke arah semua dengan laju kencang. Bagi sebagian orang, pemandangan seperti ini bukanlah hal yang menarik. Tapi bagi sebagian lagi, pemandangan ada belasan sapi itu hal yang menarik untuk diabadikan.

Sinar mentari mulai terasa di kulit. Waktu sudah pukul 07.00 WIB, kuputuskan kembali menuju rumah pak Karmin. Selama di Lasem, aku sudah menikmati dua waktu pagi yang menyenangkan. Aku beranjak dari tempat duduk, melangkahkan kaki menyambut kegiatan menjelang siang. Susur sungai dan bermain di pantai Dasun. * Minggu, 19 November 2017.

32 komentar:

  1. Baca artikel anda saya jadi ingat kampung halaman saya, jadi bawaannya mau pulang kampung

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah membaca mas, semoga bisa lekas pulang kampung.

      Hapus
  2. Knp ga turun depan masjid langsung aja mas? Trus baru jalan kaki ke jalan dasun😅

    Untuk menikmati pagi memang begitu syahdu di dasun. Mau sunrise an disana lagi😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini kali pertama ke Lasem, jadi yang ada dipikiranku itu kampungnya dulu. Eh gak tahunya dekat sama masjid jami'buahahhahahah

      Hapus
  3. Ini tulisan Lasem yang beda dari yang lain. Lasem nggak melulu Pecinan yang digadang-gadang jadi heritage itu :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Besok mau kutulis kelentengnya mas, biar sama kayak lainnya yang ditulis hahahhahah

      Hapus
  4. mas sitam ini ada dimana-dimana, kadang ku jadinya kepengen juga jalan kesana kemari, btw, aku jadi keinget Kalimantan, di derahku juga banyak sapi yang berkeliaran di persawahan, kapan-kapan main ke kalimantan hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meluangkan waktu main di dekat-dekat kok hahahahha. Aku sampai sekarang loh nunggu kamu nulis tentang sudut kota Caen :-)

      Hapus
  5. Lasem itu seperti the new Jogja ya. Damai, hangat, ngangenin...

    Foto sunrise-nya nggak gagal kok. Itu masih dapet semburat keperakan. Kalau seluruh langit tertutup awan (seperti yang kualami di Bukit Moko Bandung, 2 kali, padahal udah bangun pagi, huft) nah itu baru gagal xD

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau damai, setiap tempat yang kukunjungi rasanya damai semua kok hahahahha

      Hapus
  6. Aih, serunya main ke tambak garam. Aku malah belum pernah mampir ke tambak garam dari dekat. Salut mas, hal pertama yang dicari adalah tempat sembahyang.

    BalasHapus
  7. Di Jawa, baisanya sih, masjid jami' pasti satu kompleks dengan alun2, kompleks bangunan pemerintahan, dan juga kompleks pemakaman keluarga 'babat alas'.

    Tapi, yaa sayang sekali ini sudah beralih fungsi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar banget, namun ini kan hanya kecamatan. Sama seperti di Karimunjawa

      Hapus
  8. Untung yg jualan soto tendanya kuning ya, coba kl tenda biru. Hahaha
    Kok alun2nya bikin miris ya, sayang banget diubah jd pertokoan gitu.. Btw itu mataharinya syahdu banget sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau tenda biru masukin amplop mbak buahahahha
      Iya kasian liatnya

      Hapus
  9. ak menyesal, cuma sehari di lasem, harusnya sekalian bermalam juga disana ahaha. ga sempet mampir masuk ke mesjid alun-alun ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku sempat baca postinganmu itu mas. Kayaknya postingan lama heheheheh

      Hapus
  10. Selama ini Lasem yang banyak dieksplorasi hanya warisan budayanya. Ternyata alam Lasem juga cantik. Menunggu sunset di sawah yang sedang menghijau seperti permadani itu sungguh indah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sewaktu ke sini memang sempat mengelilingi beberapa destinasi wisata heritage bu. Hanya sengaja belum saya tuliskan :-)

      Hapus
  11. menyenangkan sekali melihat sapi yang digembala... karena di daerahku, sapi hanya tinggal di kandang...
    Fot yang indah dan gaya bertutu yang menarik...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga gembira saat lihat ada banyak sapi, mengenang masa kecil waktu menggemala sapi

      Hapus
  12. Lasem selama ini diceritakan mengenai bangunan tuanya yang keren2 .. tapi ini dari sudut yang berbeda, jadi lebih mengenal Lasem .. yang ternyata Alun alun-nya sudah beralih fungsi ... sayang banget ya ... zaman now setiap kota mempercantik alun alun-nya .. ini bagaimana ..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selain bangunan tua bersejarah, Lasem juga punya potensi lainnya yang nggak kalah indah, kang

      Hapus
  13. Nah ini, Lasem itu cuma kecamatan tapi punya alun alun. Unik asli.

    Itu nek malam mesti kalo nggak denger suara kodok ya jangkrik. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beberapa kecamatan di Jateng memang ada alun-alunnya, termasuk Karimunjawa

      Hapus
  14. Wah baru tau kalau ada juga kontrak tambak garam & bandeng. Kalau di Bandung biasanya kontrak sawah atau Kebun. Penasaran deh belum ke Lasem. Disana banyak tempat menarik tampaknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ke Lasem bisa dieksplore seharian mas. Menarik loh hehehehheh

      Hapus
  15. wah.. akhir2 ini banyak tulisan tentang Lasem ya.. sebagai separuh orang sana.. jadi bangga juga.. hehehe...

    BalasHapus
  16. tau gak, sha jadi laper pengen makan soto..

    buat sha, itu menarik juga, apa pemiliknya gak takut sapinya ilang? apa udah ditandain satu2? hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu emang laperan teh ahahhahah
      Sapinya udah ada ada kodenya kok *eh

      Hapus

Pages