Khusyuk berdoa agar lebih baik |
Rinai hujan berhenti, mentari masih dibalut awan tebal. Suasana di depan kelenteng Fuk Ling Miau ramai. Satu regu polisi mengatur lalu-lintas, motor dan mobil silih berganti keluar masuk. Aku menuju pekarangan kelenteng. Selama hampir 12 tahun di Jogja, ini kali pertama aku memotret aktivitas tahun baru Imlek.
Para fotografer sudah lebih pagi datang. Kesibukan mencari momen yang tepat untuk memotret. Aku sendiri masih asyik di halaman depan melihat seorang bapak menuntun sepeda dan di belakangnya terdapat sangkar burung. Burung-burung Pipit ini harapannya lekas habis terjual.
Imlek 2019 ini adalah Shio Babi. Di tiap tembok kelenteng terdapat gambar babi berwarna merah muda nan lucu. Bersama kawan, aku masuk ke dalam kelenteng. Melepas alas kaki, menaruhnya di rak, lantas melihat suasana di dalam. Mencari tempat memotret tanpa mengganggu orang yang beribadah.
Ritual sembahyang masyarakat Tionghoa menjadi objek para pemotret. Kekhusyukan mereka dalam beribadah harus berbagi dengan lalu-lalang para pemotret. Aku menepi, mencari sudut samping lilin besar, berharap posisi ini tak mengganggu mereka saat beribadah.
Secara berkala, bapak-bapak petugas kebersihan mengepel lantai. Meski alas kaki sudah dilepas, namun tetap saja butiran pasir ada yang terbawa. Di ujung ruangan, bapak-bapak yang lainnya sibuk melipat semacam kertas.
“Boleh dipotret kok, mas.”
Mereka yang beribadah paham jika segala aktivitasnya menarik diabadikan mata lensa. Asap dupa mengepul. Tiap sisi kelenteng penuh lilin berjejer dengan tinggi beragam. Paling tinggi dan besar ada di depan dan belakang, berbaris di samping altar tempat menancapkan Hio.
Membakar hio di kelenteng Fuk Ling Miau Jogja |
Rak tempat Hio terbuka. Tiap masyarakat yang ingin sembahyang mengambil Hio. Hio dibungkus dengan kertas Khui Jin Hu yang berwarna kekuningan. Di dalamnya ada banyak Hio serta empat buah lilin.
“Silakan dimulai dari depan. Dua lilin ditancapkan di depan, kalau sudah selesai baru ke belakang. Dua lilin lainnya taruh di altar yang belakang.”
Bapak penjaga memberi arahan pada beberapa pengunjung yang baru. Beliau dengan ramah menerangkan jika membakar lilin maupun Hio bisa di altar yang di depan. Aku sendiri sudah beberapa kali mengabadikan masyarakat yang sembahyang dari balik lilin besar. Lilin merah ini sebagai alat penerangan yang menyimbolkan tiap manusia menjadi penerang bagi manusia yang lainnya.
Sembari berdiri di samping lilin besar, aku menunggu orang-orang yang ingin sembahyang membakar hio. Sudut yang paling aman mengambil tentunya dari samping, karena di depan rasanya kurang etis. Ada yang beribadah.
Membakar Hio pada lilin yang ada di altar depan |
Tua, muda, remaja, anak-anak bergantian membakar hio. Bau dupa menyeruak, namun asap tersebut tak membuat kami menghindar. Bau dupa dan asapnya menjadi penanda bahwa kami ini sedang berada di tempat peribadatan.
“Ayo berdoa,” Ujar seorang ibu yang mengajak dua anak kecilnya.
Anak lelaki ini mengikuti langkah orangtuanya. Dipegang erat hio yang sudah dibakarkan sang bapak. Dia mencari tempat agak di belakang, sepersekian menit anak kecil ini sudah khusyuk sembahyang.
Ada semacam rasa yang tak bisa diungkapkan. Melihat anak kecil berdoa khusyuk itu menjadi cambuk bagi diri sendiri. Melihat seperti ini bukan membuat iman kita melemah, justru menjadikan kita makin mencintai agama kita sendiri, tanpa mengusik agama orang lain.
Anak kecil turut sembayang bersama keluarganya |
Tiap orang mempunyai hak berdoa, mengharapkan tahun ini bisa dilewati dengan baik. Segala yang dicitakan tercapai, dan pastinya menjalani hidup dengan nyaman. Mata anak kecil ini masih terpejam kala para jurufoto menekan tombol shutter, membidiknya dari jarak aman.
Puluhan Hio tertancap pada wadah yang ada di altar. Sebagian sudah pendek, namun kembali ada hio-hio yang baru dinyalakan tertancap. Seperti halnya yang dilakukan perempuan ini, selepas dia sembahyang, lalu menancapkan tiga hio di altar depan.
Hio yang digunakan pada saat perayaan tahun baru Imlek bergagang merah. Tiap hio ditancapkan sebanyak tiga batang. Makna tiga batang Hio ini adalah melambangkan tiga alam kekuasaan Tuhan. Kekuasaan Tuhan ini disebut dengan nama too kwan sam Thuian, yakni alam ketuhanan (Thian), alam semesta (tee), dan alam kemanusiaan (jien).
Menancapkan tiga hio pada altar |
Selepas sembahyang, menancapkan hio di tiap altar, dan juga lilin, mereka mengambil kertas berwarna kuning. Kertas ini dinamakan khui jin hu, pada kertas terdapat gambar tiga dewa. Dewa Hoki, Dewa Berpangkat, dan juga Dewa Panjang Umur.
Sebuah tong sudah disediakan tepat di belakang altar yang di depan. Abu kertas sudah menumpuk, namun aku belum melihat orang yang membakar kertasnya. Bisa jadi bekas abu kertas ini ketika sembahyang pas pagi hari.
Kertas-kertas disiapkan, lantas salah satu orang yang beribadah membakar kertas tersebut menggunakan api dari lilin yang ada di tiap sisi altar depan. Konon membakar kertas ini adalah pengharapan untuk keberuntungan, lancar rezeki, dan tentunya menangkal tolak bala.
Membakar kertas Khui Jin Hu |
Sebagian besar mereka yang sembahyang lantas pulang setelah membakar khui jin hu. Namun ada yang menarik, satu ritual yang dilakukan seorang bapak membawa dua bungkus plastik berisi burung Pipit. Ini adalah fang sheng.
Tradisi fang sheng (menerbangkan burung Pipit) ini masih dilakukan oleh sebagian orang kala Imlek. Mereka percaya dengan melepaskan burung Pipit ini mempunyai makna mendapatkan karma baik, pun juga menghapus dosa.
Sebagai orang yang baru pertama melihat ritual Imlek, aku mendapatkan banyak hal baru di sini. Secara tidak langsung, aku sedikit paham ritual mereka kala beribadah, makna-makna tiap tahapan beribadah, dari datang hingga membakar khui jin hu, atau malah sampai melepas burung.
Tradisi melepaskan burung Pipit usai sembahyang |
Selain itu semua, aku juga paham, bahwa Imlek juga memberikan pintu rezeki bagi orang-orang sekitar. Seperti yang dialami bapak-bapak penjual burung Pipit. Beliau datang ke kelenteng membawa burung, dalam waktu tak lama beliau pulang penuh sumringah karena burung-burung yang dibawa sudah habis terjual.
Lagi-lagi aku menepi, duduk di kursi luar kelenteng sembari meneguk minuman. Tahun 2019, Imlek di beberapa tempat sempat ada gejolak penolakan dengan alasan melemahkan iman orang yang beragama lain. Aku sendiri bingung, bagaimana mungkin iman kita menipis karena melihat agama yang lain beribadah.
Seharusnya kita belajar dari mereka, tiap orang mempunyai hak yang sama dalam beribadah tanpa melihat sisi mayoritas atau minoritas. Aku belajar dari bapak yang menjual burung pipit, tentu beliau tidak berpikir tentang iman yang menipis, tapi berpikir positif bahwa Imlek bisa menjadi waktu beliau mengambil rezeki.
Ketika aku menulis tulisan ini, ada satu penyesalan yang kurasakan. Aku tidak sempat mengabadikan bapak-bapak yang menjual burung pipit kala Imlek, hanya mengingat jelas raut senyuman beliau kala burung yang dijual habis terbeli. Beliau keluar dari dalam area kelenteng penuh senyuman. Tersenyum sambal bersyukur atas rezeki pada tahun baru Imlek. *Kelenteng Fuk Ling Miau, 05 Februari 2019.
Sisi humanis seorang fotografer diujinya pas motret di rumah ibadah seperti ini ya, Mas. Meskipun itu tempat publik, tetap saja kita mesti menghormati privasi individu-individu yang sedang khusyuk beribadah di sana. Dan kayaknya kita yang di Indonesia ini sudah belajar banyak dari kisruh foto Waisak di Borobudur dulu. Hehehe.
BalasHapusBtw foto-fotonya keren banget :D
Sewaktu memotret memang harus peka, mas. Tidak banyak stok foto saya waktu Imlek. Malah banyak duduk santai di luar ataupun bersembunyi di balik lilin besar yang ada di samping tempat ibadah. Kita harus sama-sama menghargai.
HapusTerima kasih karena sebenarnya sampai sekarang masih latihan motret
Kalau fotografer yang baik, mereka pasti tahu memosisikan diri saat merekam kegiatan ibadah. tidak sampai mengganggu mereka yang beribadah.
BalasHapusjadi ingat kejadian yang sempat ramai ketika Waisak dan para fotografer alay merekam foto yang mengganggu umat yang lagi beribadah.
foto2nya keren om!
Kembali pada diri kita masing-masing hehehhe. Kalau kita beribadah, pasti orang yang memotret mencari jarak aman. Sebenarnya sama pas muslim saat ied dan diliput. Mereka yang meliput mencari tempat di samping atau menggunakan lensa tele.
HapusSemoga saya bisa motret di Papua ahahhaha
Tiap kali ada perayaan Imlek, yang paling ditunggu adalah ritual fang sheng atau melepaskan burung pipit. Entah mengapa, kalau bisa melihat makhluk hidup bisa hidup bebas tanpa dikerangkeng gitu ada semacam perasaan menyenangkan.
BalasHapusGak pernah icip-icip hidangannya sih, tapi penasaran sama jenang bulet entah apa namanya itu.
Dan salut aku karena gak motret orang sembahyang dari posisi depan. Meski itu dapat angle yang unik, menurutku emang gak sopan banget
Kue Keranjang kalau yang barengan dengan Imlek.
HapusPengen dari depan tapi pakai tele, jadi dari luar kelenteng ahahhahah
saya belum pernah lihat peryaan imlek, maksutnya dalam arti ritual berdoanya mereka. tapi di post ini jelas tergambarkan dengan bai, dan itu pun tidak menganggu privasi mereka.
BalasHapusSaya juga baru sekali ini. Pengennya pas imlek 2021 ke Singkawang hahahahhah
Hapuswew tahun 2019 baru muncul postingannya, stok postingan blog masih banyak banget nih, heuheuheu.
BalasHapusBtw aku belum pernah sih melihat ritual imlek di klentengnya langsung, palingan cuma lihat pawai imlek di jalan pas di lombok. Foto foto di klenteng pernah sih di klenteng purworejo, tapi enggak pas imlek :)
Ini tulisannya langsung jadi sehari setelah memotret. Langsung aku jadwalkan setahun ke depan ahhahaha
HapusWahhh suasana imlek memang sangat seru, apalagi bisa ikut merayakan di klentengnya langsung.. btw kalo disini gak ada yang layatan gitu yaa, kayak mendoakan di kuburannya gitu>
BalasHapusPada dasarnya mereka yang datang ke sini untuk beribadah :-)
HapusSaya belum pernah lihat perayaan Imlek secara langsung di klenteng, seringnya sih lewat tv. Semoga saja selalu rukun terus antar umat beragama di Indonesia.
BalasHapusHarapan kita pun sama. Kerukunan antar umat beragama
HapusKirain foto tahun ini. Apik momente, Sitam. Jadi pingin hunting ning klenteng-klenteng Yogyo kih. ^^
BalasHapusTahun ini malah tidak keluar kosan, koh. Ayo agendakan ahahhaha
Hapusdominasi warna merah dengan beberapa aksen warna yang ngejreng meriah begini memang menarik banget untuk difoto ... main kesana sekalian kita juga belajar bertoleransi
BalasHapusIya, imlek memang sellau meriah. Tidak sedikit lampion-lampion di tengah jalan menghiasi kota tertentu. Semoga kita terus bisa saling toleransi
HapusTulisanya bagus Bro. Aku baru tahu tentang sembahyang imlek dari tulisan ini. Yang aku tahu dari Imlek cuma sebatas tiap Imlek pasti hujan, yang artinya banyak rejeki tahun ini.
BalasHapusPas ke sini juga tahunya cuma sembahyang biasa, nyatanya ada banyak hal yang belum saya ketahui. Menyenangkan bisa melihat langsung seperti ini.
Hapus