Kotagede dalam Setengah Hari - Nasirullah Sitam

Kotagede dalam Setengah Hari

Share This
Plang Tulisan Pasar Legi Kotagede

Teman-teman mulai ketagihan beraktivitas memotret di spot-spot tertentu. Ardian menginformasikan jika sore nanti ingin memotret di sekitaran Kotagede. Ide ini disebarkan melalui WAG. 

Sebagian besar kawan di WAG turut gabung, termasuk aku. Titik kumpul di Pasar Legi Kotagede selepas duhur. Sampai di pasar, aku mencari rombongan yang sudah datang lebih awal. Kuturuti jalur yang berjejer gerobak kuliner. Termasuk tulisan Dawet Jepara. 

Di bawah pohon, rombongan berkumpul. Malah ada kawan yang sudah memesan es. Bukannya ikut memesan, kami malah meminta salah satu kawan untuk memegang dan mengabadikan semangkuk es yang menggoda di siang hari. 

Pasar Legi Kotagede menjadi rute pertama. Siang hari keramaian tidak sebanyak waktu pagi. Para penjual di pasar duduk di los, mereka menyapa dan menawarkan barang dagangannya kepada tiap pengunjung yang melintas. 

Kuturut jalan dengan sedikit penerangan. Aneka anyaman bambu bergelantungan. Di sisi yang lainnya, bumbu dapur tersaji. Tinggal kita pilih jika membutuhkan. Suasana khas pasar tersaji, ragam suara terekam. 
Minuman segar di Pasar Kotagede
Minuman segar di Pasar Kotagede

Aku masih berjalan mengikuti rombongan yang sudah di depan. Sesekali menghentikan langkah kaki, melihat aktivitas orang di pasar yang mungkin bisa kuabadikan. Malahan, aku lebih banyak mengambil video. 

Seorang bapak bertugas menaikkan sampah pasar ke atas bak mobil. Aku tertegun. Kamera ini merekam aktivitas beliau. Melihat kuperhatikan, beliau tersenyum. Aku membalas senyuman dan melanjutkan perjalanan. 

Keliling Kawasan Masjid Gedhe Mataram Kotagede 

Meski tertinggal rombongan, aku tahu titik selanjutnya yang kami kunjungi adalah Masjid Gedhe Kotagede. Hampir setiap pelancong yang singgah di Kotagede sebagian besar pasti menjadikan tempat ini sebagai tujuan berwisata. 

Di halaman masjid, teman-teman rombongan berbaur dengan pengunjung yang lainnya. Mereka berfoto di pelataran masjid. Tidak sedikit yang malah sibuk berpose di pagar yang menuju ke masjid. Susunan bata merah menjadi latar belakang yang menarik. 
Gerbang di area Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Gerbang di area Masjid Gedhe Mataram Kotagede

Di sini, aku malah bertemu dengan kawan yang berkecimpung di pariwisata. Dia dan rekannya sedang mencari konten di Masjid Gedhe Kotagede. Aku berusaha mengabadikan banyak sudut. Entah kapan menulisnya di blog. 

Simbah-simbah yang mengenakan pakaian jawa duduk bersila. Beliau menyapa pengunjung yang berdatangan. Di sini, kita bisa memotret beliau yang sedang beraktivitas ataupun meminta simbah-simbah tersebut untuk kami potret. 

Untuk memotret simbah yang di Kotagede ada prosedurnya. Kita harus mengikuti aturan yang ada. Beruntung, kawanku sudah paham dan langsung berbincang sebelum aktivitas memotret simbah dilakukan. 

“Matur Nuwun nggih, mbah,” Ujarku setelah memotret. 

Dua simbah yang kami potret duduk bersantai di bawah bangunan. Akupun turut duduk di sampingnya. Beliau menyulut rokok kretek yang sudah disiapkan. Sesekali simbah ini menjawab pertanyaan kawan menggunakan Bahasa Jawa. 
Simbah bersantai sambil bercerita
Simbah bersantai sambil bercerita

Mampir di Cokelat Monggo Kotagede 

Lumayan lama kami memotret di area Masid Gedhe Mataram. Perjalanan pasih panjang, menyusuri jalan kecil yang saling bersambung. Tidak terasa kami berada di depan Cokelat Monggo. Sontak perjalanan terhenti. 

“Daripada bingung, kita masuk Cokelat Monggo saja,” Usul kawan. 

Tanpa ada jawaban yang terlontar, sebenarnya semuanya sepakat. Satu persatu kawan memasuki halaman toko tersebut. Dari luar tampak aktivitas di dalam toko cokelat. Belum banyak orang yang berkunjung menjelang sore. 

Seperti di tempat-tempat yang lainnya, gerbang Cokelat Monggo terdapat logo Cokelat Monggo yang terpasang di bagian atas. Di dalam ruangan, sudah ada dua orang yang bertugas menyambut para pengunjung. 

“Cokelat ini boleh dicoba, mbak/mas,” Terang salah satu. 
Mengunjungi Cokelat Monggo di Kotagede
Mengunjungi Cokelat Monggo di Kotagede

Stoples-stoples kecil berisikan cokelat yang bisa kita cicipi dengan gratis. Beberapa kawan mencoba, lantas mengomentari layaknya kritikus yang paham tentang cokelat disesuaikan dengan seleranya. Pulang-pulang dari toko tersebut, sudah bertentengan cokelat yang dibeli. 

“Niat latihan memotret, tapi ke sini malah belanja.” 

Gemuruh derai tawa kawan-kawan. Tidak lengkap rasanya jika hanya memotret tanpa kulineran, ataupun belanja. Begitulah kiranya. 

Memotret Komplek Heritage di Sekitaran Kotagede 

Belanja sudah terlaksana. Sembari berjalan, sebagian asyik menikmati Cokelat Monggo yang tadi sempat dibeli. Walau menjelang sore, tetap saja terik kurasakan. Akhir-akhir ini cuaca di Jogja memang cenderung lebih panas. 

Tembok yang berada di tepi jalan lengkap dengan mural. Aku tidak mengabadikan karena tertarik mendekati tempat yang ada di seberangnya. Pintu besar semacam gapura di depanku. Tertera imbauan larangan mengenakan alas kaki ketika masuk. 

Tulisan tersebut menggunakan Bahasa Jawa. Aku melepas alas kaki, lalu berjalan masuk. Teman yang lainnya tidak ada menyusul. Mereka berdiri ataupun duduk di sisi gapura berpintu kayu dua. Penjaganya juga ada di sana. 

Di dalam terdapat jalan beralas batako. Sedikit rimbun pepohonan sedang. Sisi kanan merupakan komplek pemakaman. Makam Hasta Renggo, itulah yang tertandai di Google Maps. Aku yang sempat masuk tanpa mengenakan alas kaki melihat ada banyak makam di sini. 

Di bagian dalam terdapat semacam joglo yang meneduhi pemakaman. Satu makam sedikit berbeda. Tertutupi kain bagian atas dan setiap sisi. Aku tidak berani mendekat, takut menyalahi aturan. Dari kejauhan tertera tulisan Aksara Jawa pada nisan. Sementara nisan-nisan yang lainnya menggunakan Bahasa Indonesia. 
Komplek Makam Hasta Renggo
Komplek Makam Hasta Renggo

Tidak jauh dari Makam Hasta Renggo terdapat pepohonan rindang. Beringin, mungkin pohon tersebut yang meneduhkan. Di sana juga terdapat situs yang dikenal dengan sebutan Situs Kedaton Batu Gilang. 

Perjalanan terus berlanjut. Lagi-lagi kami berhenti di gerbang kecil yang di dalamnya merupakan deretan rumah. Kucari papan informasi yang bisa memberi sedikit pencerahan. Dari papan informasi yang tertera di tepian jalan bertuliskan “Between Two Gates di Kampung Alun-Alun.” 

Rasanya Kotagede memang menjadi surga yang menggiurkan bagi orang-orang yang tertarik pada heritage. Meski aku tidak tahu secara rinci, hanya membaca sekilas papan-papan informasi. Bisa tebersit sebegitu indahnya jika Kotagede dijelajahi para penutur sejarah heritage. 

Menyusuri Gang-gang Kecil Semacam Labirin 

Selain jalan utama yang cenderung kecil, di Kotagede terkenal dengan gang-gang kecil yang saling berhubungan. Bagi orang yang tidak paham medan, aku yakin tatkala pertama kali melewati tempat ini bakal sedikit kebingungan. 

Gang-gang yang mirip labirin ini malah menjadi menarik untuk dijelajahi. Gang kecil ini ramai dilewati warga setempat. Bahkan ada gang yang jika dilintasi berpapasan harus berhenti salah satu kendaraannya. 
Gang kecil semacam labirin
Gang kecil semacam labirin

Kami menjelajahi gang kecil tersebut. Malah akhirnya berhenti di depan salah satu rumah warga karena ada abang penjual siomai lewat. Lagi-lagi, kami tertarik menikmati camilan tersebut. Hanya berhitung detik, abang siomai sudah dikerumuni kawan. 

Berjalan di gang kecil, kita harus berbaris satu-satu. Tujuannya agar tidak mengganggu pengguna jalan yang lainnya. Tidak hanya gang kecil, segala pemandangan yang ada di pinggir jalan juga menjadi objek foto. Seperti barisan motor vespa hingga burng-burung dalam sangkar. 

Memotret Pernak-pernik di Omah UGM 

Jalan makin menuju gang sempit. Benar-benar hanya bisa dilintasi satu arah. Bahkan jika menggunakan sepeda motor harusnya dituntun. Tiap sisi tembok rumah warga. Agak masuk, terdapat rumah dengan tanah luang sepetak. 

Empat anak kecil bermain bola plastik. Mereka menjadikan lahan tersebut sebagai lapangan untuk bermain sepakbola. Meski lahan tidak luas, keseruan anak-anak ini mengingatkanku sewaktu masa kecil. Bermain bola di siang hari. 
Omah UGM di Kotagede
Omah UGM di Kotagede

Tujuan kami menuju Omah UGM. Salah satu destinasi tujuan bagi para pelancong. Heritage Conservation Omah UGM. Begitulah plang petunjuk arah yang terpaku pada tembok gang. Di sini, kami bertemu dengan rombongan lain yang juga melakukan jelajah Kotagede. 

Informasi terkait Omah UGM terpampang pada papan informasi. Aku mengutip tulisannya, Omah UGM sebutan bangunan rumah adat milik Universitas Gadjah Mada. Rumah ini berlokasi di Kampung Bodon, Jagalan. Tempat ini dimanfaatkan untuk Pusat Pergerakan Pelestarian. Di depan Omah UGM terdapat sebuah pendapa, konon bangunan ini berdiri pasca gempa 2006. 

Bagian dalam Omah UGM banyak koleksi. Terdapat pernak-pernik yang tertata rapi. Aneka foto, meja kayu lengkap dengan kursi yang bagian duduknya terbuat dari anyaman rotan. Sepeda tua di bagian belakang, hingga berbagai perkakas dapur yang ditempelkan pada tembok. 
Perkakas dapur yang terpajang
Perkakas dapur yang terpajang

Sekarang, Omah UGM menjadi salah satu opsi destinasi yang dikunjungi para pelancong. Tidak sedikit yang datang karena penasaran dengan rumah tersebut. Aku memotret beberapa sudut tempat, lantas bergabung dengan rombongan yang istirahat di pendopo. 

Memberanikan Diri Masuk Rumah Pocong Kotagede 

Sebelum memasuki Rumah Pocong, kami bergantian salat di musola seberang rumah tersebut. Pak Nono yang menjaga rumah ini duduk santai sembari menunggu rombongan lengkap. Kami serius mendengarkan cerita dari beliau. 

Bagian jendela tetap usang, kaca khas bangunan Belanda mencolok. Rumah ini dibangun pada tahun 1860. Pemiliknya adalah Prof. Dr. H. Mohamad Rasjidi. Beliau menjabat sebagai Menteri Agama Indonesia yang kedua. 

Aku tidak tahu pasti kenapa rumah ini disebut dengan nama Rumah Pocong. Selepas mendengar yang dituturkan Pak Nono, kami berkesempatan masuk. Aku meminta izin untuk merekam, dan diperbolehkan. Beliau berujar ruangan sisi kiri tidak diperkenankan dimasuki. 
TV tua dan foto di Rumah Pocong Kotagede
TV tua dan foto di Rumah Pocong Kotagede

Pada dasarnya rumah ini masih laik digunakan. Ruangan tamu luas. Berbagai barang tua seperti televisi dan berbagai foto tertata rapi. Meski siang, di dalam rumah ini cukup gelap. Cahaya menerobos dari sela-sela jendela. 

Tahun 2006, Pak Nono membersihkan rumah ini sendirian. Beliau juga menginap semalam di tempat ini. Proses membersihkan rumah selama satu bulan. Bagi orang yang mempunyai kemampuan indera keenam, konon tempat ini semacam kerajaan. 

Kugunakan senter gawai kala masuk salah satu ruangan yang berada di bagian belakang. Gelap dan dingin. Itu yang kurasakan. Lantas aku keluar dan melirik ruangan yang tidak boleh dimasuki. Aku penasaran dengan isi di dalamnya.
Salah satu kamar di Rumah Pocong
Salah satu kamar di Rumah Pocong

“Boleh kami lihat, pak?” 

“Silakan, lewat celah-celah jendela.” 

Kubuka jendela tinggi yang tertutup rapat. Sebuah ranjang besi tua berwarna hijau dan usang. Kasur kapuk masih tertata rapi di atas. Tidak ketinggalan almari tua melengkapi. Tentu tempat ini penuh bekas sarang laba-laba. 

Di bagian belakang terdapat sumur tua serta tanah lapang. Ada juga pohon belimbing wuluh yang tidak jauh dari sumur. Selain itu, terdapat juga bangunan kecil yang terpisah dari rumah utama. Di belakang berbagai aneka patung dari kayu ataupun bambu. Cukup lama kami di sini, mendengarkan cerita dari Pak Nono, lantas meminta izin pulang.

Vlog Rumah Pocong Sumi Kotagede




*****  

Setengah hari sudah kami mengelilingi sedikit tempat di Kotagede. Masih banyak sudut-sudut Kotagede yang belum aku jelajahi. Beberapa kali aku ke sini sekadar bersepeda, foto di spot yang dekat masjid, atau malah kulineran di pasar. 

Kami belum bubar. Dari kawan, kami berbincang santai di Rumah Persik. Menikmati sajian kopi dan gorengan. Di Rumah Persik ada yang sedang foto pranikah. Kami diperbolehkan foto dan melihat berbagai patung indah. *Kotagede, 12 Januari 2019.

31 komentar:

  1. Wah menarik nih ke rumah pocongnya. Hawanya pasti dingin. Klo hunting gk sambil kulineran gk seru juga mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahhaha, mungkin aku tidak mempunyai indera yang lain. Jadi rasanya agak senyap saja, tapi setelah itu terbiasa

      Hapus
  2. Tulisannya seperti biasa ngalir dan detail, tapi entah kenapa kali ini dibikin kurang nyaman karena terlalu banyak typo. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih atas masukannya, mas. Ternyata aku cek memang banyak saltik. Ini sudah saya perbaiki

      Hapus
  3. Eksplore Kota Gede itu nggak bosen2, banyak daya tariknya

    BalasHapus
    Balasan
    1. wee lah ini kali pertama aku ketemu mbak Prima wkwkw.

      Hapus
    2. Nggak sengaja kita ketemu di acara yang berbeda tapi satu tempat mbak hahahaha

      Hapus
  4. kapan hari dulu ditemeni pak natsir malam2 ke rumah pocong.. g berani moto2 haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah berarti pas menginap di Kotagede, kamu malamnya dolan ke sini? Hahhahahh

      Hapus
  5. Jadi kangen Kotagede, dan Jogja. Pengin menelisik lebih dalam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Budalkan mas,
      Nunggu pandemi berakhir, terus agendakan ke sana hahahahahah

      Hapus
  6. Pas baca yang part Monggo, saya jadi keinget masa-masa sepedaan bareng kawan-kawan dulu, Mas. Suatu kali kita ke Cokelat Monggo karena penasaran. Nyampe dalam, ya akhirnya nyoba-nyobain tester. Terus pas mau pulang pada pengen beli. Ternyata satunya dulu Rp25 rb. Karena semua anak kuliahan berbujet pas-pasan, akhirnya pada urunan Rp5000-an buat bawa pulang satu piece Monggo. Hahahaha....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku juga pernah mengalami hal yang sama, mas. Tapi di toko berbeda. Jiwa anak kos waktu itu meronta hahahhhahhaha

      Hapus
  7. bangunan kyak kraton gitu.. sama ada makam nya, keliatan bangunan tuanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, di sini memang ada makam serta masjid. Bangunan di depan adalah gapura masuknya

      Hapus
  8. weleh serem banget namanya rumah pocong
    btw seru kayaknya sendirian menyusuri gang gang labirin itu, gak perlu khawatir nyasar sih, tinggal liat google maps atau bertanya ke orang setempat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lebih asyik lagi kalau tidak melihat maps, mas. Bisa blusukan beneran ahahahhaha. Aku pernah nyasar mentok rumah orang di sekitaran sini waktu sepedaan

      Hapus
  9. Ternyata ada banyak tempat menarik di Kotagede, dulu saat ke Jogja, kok kelewatan ya?
    Sekarang jadi nyesel deh nggak jalan ke sana. 😑

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kotagede memang menarik untuk dijelajahi loh. Bisa seharian gak habis kalau ke Kotagede

      Hapus
  10. gila keren banget. jadi pengen kesana

    BalasHapus
  11. Saya baru tau, salah satu gerbang masjid yang sangat unik menurut saya, jika dilihat dari arsitekturnya sangat kental dengan kebudayaan indonesia dimasa lampau.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Jogja gerbangnya memang seperti ini, mirip dengan gerbang di masjid Mantingan Jepara

      Hapus
  12. mau ke rumah coklatnyaaa, kl ke rumah pocongnya nggak mau.. wkwkwk
    btw besok kl cororo dh pergi mau coba keliling kotagede ah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau ke sini kudu jalan kaki, biar benar-benar menikmati. Kalau bisa seharian biar lebih puas

      Hapus
  13. Ini kan perjalanan sudah lama ya, masih ingat saja ceritanya dan bisa jadi postingan blog.
    Udah kangen banget pengen jalan-jalan di kota sendiri. Kangen Kotagede juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih tercatat dengan baik di catatan, mak.
      Jadi kapan mau jalan-jalan lagi?

      Hapus
  14. Haha, begitulah kalo lagi walking tour, banyak pengalih perhatian terutama yang berhubungan dengan perut ������

    Itinerary-nya menarik, mas. Bisa "dibisniskan" untuk jual paket open trip. Kuliner, heritage/sejarah/budaya, belanja, ada semua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waktu ke sini juga ketemu rombongan yang lainnya. Sepertinya sedikit dijual dengan harga yang cukup murah, pun orang yang mengelola juga paham banget sejarahnya

      Hapus
  15. menyusuri gang gang kecil di kotagede ini menyenangkan, sayangnya waktu itu aku nggak sempet. jadi hanya ke yang keburu aja seperti coklat monggo
    next time sepertinya perlu diagendakan kesini lagi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kudu diagendakan lagi mbak. Kotagede itu menyenangkan, pastinya banyak yang bisa kita kunjungi selama di sana

      Hapus

Pages