Gowes Pagi ke Gunung Wangi Piyungan Bantul - Nasirullah Sitam

Gowes Pagi ke Gunung Wangi Piyungan Bantul

Share This
Panggung di Gunung Wangi Srimulyo, Piyungan
Panggung di Gunung Wangi Srimulyo, Piyungan
Usai libur lebaran, aku sudah dua kali bersepeda di Jogja. Kali pertama menuju Bibis Bu Yati hari sabtu. Tujuanku untuk kembali memugarkan tubuh yang kurang sehat. Tengah pekan ini libur, kembali aku bersepeda bersama kawan. Tujuannya adalah Gunung Wangi.

Aku dan Yugo mengayuh pedal menuju Perempatan Ketandan, di sana Ardian sudah menunggu. Pagi ini satu personil tambahan ikut. Aripin, kawan kuliah kami sedang senggang. Kami berempat bersepeda ke lokasi. Untungnya, Aripin sudah pernah ke Gunung Wangi, dia menjadi petunjuk arah.

Perjalanan tidak jauh, jalur yang kami tuju nyatanya satu jalan dengan destinasi Watu Kapal. Lepas Pasar Wage, rute belok kiri. Hanya saja, nantinya di jalan terdapat plang petunjuk arah menuju Gunung Wangi belok kanan, sementara Watu Kapal tetap lurus.

Sepanjang perjalanan, aku berpapasan dengan banyak pesepeda. Sebagian besar mengarahkan destinasi sekitaran Patuk. Tidak sedikit pula yang searah dengan kami. Jalanan masih datar, setiap sisi bangunan rumah. Sesekali petakan sawah yang diapit bangunan.

Bukit di depanku tidak terlalu tinggi, bagian puncaknya terdapat tower. Inilah Gunung Wangi, puncak yang kami tuju sebagai destinasi bersepeda. Aku ingat, sewaktu pulang dari Heha Sky View, salah satu pesepeda penasaran dengan puncak ini. Saat itu aku tidak tahu perihal destinasi Gunung Wangi.
Tanjakan menuju Gunung Wangi di antara pepohonan Jati
Tanjakan menuju Gunung Wangi di antara pepohonan Jati
Portal kecil terbuka di pertigaan. Di sudut jalan sebuah warung kecil. Bapak-bapak asyik mengamati para pesepeda yang mulai melintasi rute tanjakan. Aku sendiri sempat putar balik, niat hati ingin menyetel gir paling atas, malah keliru menambahi hingga makin berat.

Yugo sudah melintas di depan, berikutnya tanjakan panjang ini kulewati. Kulihat, di ujung ada jalan datar. Gir sepeda mengencang, sebisa mungkin aku mengayuh. Mau tidak mau, gopro kuletakkan agar fokus bersepeda.

Tepat di dataran, aku berhenti bersama Aripin. Waktunya kuabadikan Ardian dari bawah. Seperti inilah kami, secara berganti menjadi jurufoto. Ardian dan Aripin sudah kuabadikan, mereka melewati tanjakan pertama dengan aman.

“Halo Mas Sitam,” Sapa rombongan pesepeda lainnya.

Aku tak asing dengan beberapa wajah tersebut. Mereka kawan bersepedaku dari sekitaran Blok O. Entahlah, nama-nama beliau terlupakan olehku. Tapi aku ingat sekali komunitas ini. Kami pernah bersepeda bareng saat ke Rawa Jombor dan beberapa destinasi yang lainnya.

Kembali kuabadikan kawan-kawan tersebut, nantinya foto mereka kuunggah di Grup Facebook Jogja Gowes. Salah satu yang menarik adalah seorang anak yang menggunakan sepeda BMX dengan grupset keren. Dia dijaga bapaknya agar terus melintasi tanjakan.
Masih di tanjakan menuju Gunung Wangi Bantul
Masih di tanjakan menuju Gunung Wangi Bantul
Tanjakan pertama adalah perkebunan jati. Di sini geliat ekonomi masyarakat setempat sudah maju. Berbagai warung tersedia, pun dengan kedai kopi. Tentu aku sedikit kaget dengan adanya kedai kopi. Gunung Wangi nyatanya memang sudah menjadi destinasi populer.

Tanjakan kembali menyapa. Kali ini tidak panjang. Jalanan sedari tadi adalah cor, jika musim hujan bisa dipastikan agak lebih licin. Beberapa pesepeda menyalipku, aku sendiri sengaja berhenti, menunggu Ardian yang bertugas sebagai jurufoto mengabadikan.

Dua tanjakan dilintasi dengan nyaman, kali ini jalan seidkit menurun. Sisi kanan terlihat jelas petakan sawah. Sisi kiri perumahan warga, ada juga warung untuk sekadar mengeteh. Jika datang lebih pagi, sisi kanan ini bisa melihat sunrise tanpa ada halangan.

Kembali tanjakan menyapa, kali ini sedikit lebih panjang dengan rute berbelok. Di cor jalan sudah tertulis arahan untuk berhati-hati. Jalan tidak luas ini jika agak siang sedikit tentunya lebih ramai pesepeda yang turun. Aku melintasi tanjakan tersebut dengan santai.

Konon, ada dua jalur yang bisa kita lewati menuju Gunung Wangi. Satu jalur yang kami lintasi ini. Jalannya lebih panjang tapi tanjakannya tidak terlalu curam. Satu lagi yang merupakan jalur keluar, kata kawan tanjakannya jauh lebih curam.
Mengabadikan panggung di puncak Gunung Wangi Bantul
Mengabadikan panggung di puncak Gunung Wangi Bantul
Lantunan musik akustik menyapa kami. Seorang lelaki sedang memainkan gitar dan bernyanyi. Sesekali dia menyapa para pengunjung yang berdatangan. Panggung bertuliskan “Gunung Wangi Bank BRI”. Di sini ada dua puncak, satu lagi lebih di atas dengan nama “Gunung Wangi Bangkel”.

Gunung Wangi berlokasi di Bangkil, Srimulyo, Piyungan. Konon tempat ini sebenarnya sudah dikenal sejak lama. Terlebih gunung yang atas terdapat makam tokoh yang masih ada hubungan keluarga dengan Ki Hajar Dewantoro.

Aku tak mendalami informasi tersebut. tujuanku ke sini hanyalah untuk menikmati waktu pagi sembari berolahraga. Gunung Wangi menjadi opsi yang tepat karena tanjakannya tidak curam sekaligus jarak dari kota sangat terjangkau.

Lansekap pemandangan dari sini menjadi daya tarik para pengunjung. Bagi para pesepeda, datang waktu pagi adalah hal yang menyenangkan. Tetapi, bagi pengunjung yang menggunakan kendaraan motor, aku rasa mereka harusnya datang menjelang senja. Percayalah, pemandangan dari sini pasti indah.

Segala fasilitas di Gunung Wangi sudah dilengkapi. Dua toilet umum yang bersih, musola di atas, serta warung-warung makan yang berpencar. Dari mas yang bernyanyi, beliau mengabarkan jika harga menu di sini murah. Sehingga tidak memberatkan para pengunjung yang sebagian besar adalah masyarakat sekitar.

“Kalau ada warung yang memberi harga mahal, silakan laporkan ke kami. Kami pasti segel warungnya,” Itulah yang kudengar dari pelantang.
Lanskap sisi barat Gunung Wangi panoramanya hamparan sawah
Lanskap sisi barat Gunung Wangi panoramanya hamparan sawah
Beberapa pesepeda memberikan tip kepada mas yang menginformasikan terkait Gunung Wangi sekaligus menghibur kami dengan banyak lagu. Aku rasa, cara beliau menyampaikan infromasi dan berkomunikasi kala menyapa para pengunjung patut diapresiasi.

Pagar pembatas tebing sudah kokoh. Tulisan larangan membuang sampah di tebing pun tampak jelas. Dari sini, petakan sawah terbentang, berkombinasi dengan bangunan rumah serta bukit di sisi sekitarnya. Ada banyak perbukitan di sekitar Piyungan.

Tujuan utamaku ke sini untuk menikmati teh panas dan gorengan. Sebelumnya, aku menyempatkan untuk mengambil beberapa foto dan vlog. Bahkan, diminta salah satu pesepeda yang datang sendirian untuk mengabadikan menggunakan gawainya.

Kontur perbukitan di Gunung Wangi menjadikan kios-kios tersebar. Dataran yang rata dijadikan deretan kios sejumlah lima, lantas yang lainnya terpencar pada tanah datar. Anak tangga menyambungkan tempat ini pada bukit satunya.

Gazebo-gazebo pun ada beberapa jumlahnya. Muda-mudi sedang asyik duduk sembari menikmati kudapan kala pagi. Pagi ini, pengunjung didominasi para pesepeda. Selebihnya muda-mudi sekitar. Ada juga yang jogging ke sini.

Berhubung tiap pagi banyak pesepeda yang menyambangi, di Gunung Wangi sudah menyediakan area parkir sepeda. Dekat jalan menuju dereta warung sudah ada bambu yang menjadi tempat parkir sepeda, pun dengan di sudut yang berdekatan dengan pagar tebing.
Para pesepeda yang ada di Gunung Wangi kala pagi
Para pesepeda yang ada di Gunung Wangi kala pagi
Selain itu, pengelola juga sudah menyiapkan tempat untuk parkir kendaraan bermotor. Pun dengan motor para pemilik warung, semuanya berbaur menjadi satu di dekat panggung. Lebih tepatnya di dekat dua toilet umum.

Kuhampiri rombongan yang tadi menyapaku. Kami saling berbincang, cukup lama tidak bersepeda bareng. Seingatku, kami bertemu terakhir waktu masih Seloso Wage, agenda yang sebelum pandemi merupakan waktu bersepeda di jantung Malioboro.

“Pas nyapa di jalan tadi aku familiar dengan suaramu, mas. Meski sepedanya beda,” Celetuk kawan.

Ya, kali ini aku memang menggunakan sepeda lipat Ecosmo. Pun mengenakan masker saat bersepeda. Aku ingat meyalip rombongan ini di depan Museum Wayang Kekayon. Kukira rombongan ini ke arah Patuk, nyatanya kami mempunyai tujuan yang sama.

Meja-meja hasil olahan dari bekas ban mobil ditumpuk dan dilaburi semen tersebar. Menyatu dengan meja kayu. Aku memilih salah satu meja yang tidak jauh dari warung, dengan alasan agar mudah memesan makanan di satu warung tersebut.

Warung yang kupilih adalah Warung Bu Rini. Sebenarnya semua warung harganya sama, kupilih ini karena dudukku di meja yang berhadapan langsung dengan warung beliau. Bu Rini berserta suami sibuk di dapur, anak perempuannya yang berumur antara 6 tahun pun turut membantu.

Kawanku sudah memesan tiga teh panas manis dan satu teh tawar untukku. Sebagai cemilannya, kami memesan dua gorengan. Satu porsi mendoan dan seporsi pisang goreng. Aku sendiri menyempatkan untuk berbincang dengan pemilik warung.
Deretan warung tertata rapi di Gunung Wangi
Deretan warung tertata rapi di Gunung Wangi
Bu Rini menjelaskan destinasi Gunung Wangi ini sebenarnya mulai ramai ketika akhir tahun 2018. Beliau tidak tahu pasti kapan warung dibuka, hanya diingat-ingat hampir berbarengan banjir di Jogja, itu artinya sekitar oktober ataupun november 2018, tepatnya waktu Badai Cempaka.

Beliau mengatakan jika paling banyak yang datang saat pagi adalah pesepeda. Sementara saat sore pun ramai muda-mudi yang hendak menikmati waktu senja. Sembari menggoreng pisang, beliau tetap melayani obrolanku dengan santai.

“Malu aku mas, ini dapurnya kotor,” Celetuk beliau.

Aku tertawa, ketika beliau memperbolehkanku masuk melihat dapur, ini artinya seluruh pemilik warung di Gunung Wangi pasti bakal menjamuku dengan baik. Salut dengan pengelola di sini, para pemilik warung ramah dan asyik kala berinteraksi.

Mendoan disajikan lengkap dengan sambalnya. Sesaat kemudian pisang goreng menyusul. Aku meminta Bu Rini menambahkan kecap, takutnya terlalu pagi makan sambal nanti sakit perut. Suami Bu Rini mengambilkan kecap dan menuangkan pada piring kecil.

Selang sesaat, dua porsi gorengan hampir tandas oleh empat orang. Aku kembali ke dapur dan meminta Bu Rini menambahkan satu porsi mendoan. Kemudian meminta beliau juga membuatkan es teh. Tak hanya es teh, suami Bu Rini memberikan satu teko kecil untuk isi ulang teh kami dan itu gratis.

Nyatanya kawan tak hanya puas dengan gorengan. Dua kawan melanjutkan memesan indomie rebus. Sepertinya memang kami tuntaskan di sini. Pulang dari Gunung Wangi, kami langsung menuju rumah masing-masing.
Teh dan cemilan gorengan kala pagi
Teh dan cemilan gorengan kala pagi
Dua jam kami duduk santai menikmati cemilan dan indomie telur. Waktunya pulang. Kuhampiri warung dan membayarnya, semua pesanan tersebut habis 50.000 rupiah. Menarik di sini, meski merupakan destinasi wisata, harga yang dipasang tetap sama.

Menjelang pulang ada kejutan. Ban sepeda Yugo kempes, kami pun tidak membawa pompa mini. Aripin berinisiatif tanya rombongan sepeda, mereka tidak ada yang membawa pompa. Beruntung ibu yang jualan menginformasikan di warung depan ada pompa sepeda.

Bergegas aku menuju warung yang dijaga simbah. Benar saja, beliau menyediakan pompa sepeda. Kami meminjam dan mengucapkan terima kasih. Jalur pulang sengaja lewat dengan jalur berangkat, tujuan kami lebih pada sudah hafal jalan.

Menuruni jalur dari Gunung Wangi, kita diwajibkan berhati-hati. Meski tanjakan tidak curam, tapi tiap sisi jalan tebing menjadikan para pesepeda harus dapat mengendalikan sepeda dengan baik. Selain itu, kala pagi lalu-lalang pesepeda lumayan padat.

Destinasi wisata Gunung Wangi menurutku sudah terkelola dengan baik. Makanan yang disediakan juga beragam, di sepanjang perjalanan pun ada kedai kopi. Sedikit catatan menurutku adalah disediakannya tempat sampah lebih banyak.

Minimal, tiap warung ada tempat sampah. Atau ada satu wadah yang besar dan diletakkan tidak jauh dari meja-meja yang tersebar. Tentu harapannya para pengunjung bisa membuang sampah pada tempatnya, tidak hanya membiarkan di meja.

Hari masih cukup pagi, kami pulang melintasi jalur menuju Watu Kapal. Berhenti sesaat, lalu melanjutkan perjalanan pulang. Berangkat aman tanpa tersesat, nyatanya pulang sempat tersesat karena jalur alternatif yang biasa dilintasi jembatan kecilnya rubuh. *Bantul, 26 Mei 2021.

14 komentar:

  1. beberapa waktu lalu bukit BNI, yang ini gunung BRI
    heuheuheu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru ngeh juga aku ahahhahaha. Tak nyari yang lainnya kakakakakak

      Hapus
  2. Bagus banget nama gunungnya Gunung Wangi :) Makan2, santai2 bersama teman gowes asyik sekali yach :D Tempe mendoan aja mah ga nendang ya akhirnya mesen mie rebus juga hahaha :) Paling enak ditemenin teh manis anget atau dingin hhmm...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mbak, pokoknya kalau gowes sukanya ya kuliner begini. Ada kesenangan pribadi ahahhha

      Hapus
  3. Aku kalo disuruh naik sepeda udah nyerah duluan mas, soalnya gak terbiasa kan jadi kakinya pegel2 semua. Hahaha.
    Padahal dulu hobi banget sepedaan hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harus mengulang dari awal, mas. Kudu pilih jalur santai dulu, jangan langsung jauh, biar gak kaget heheheheh

      Hapus
  4. Gorengannya kayak menarik ya? Hahaha
    Eh bagaimana rasanya bersepeda pakai masker? Tidak engap kah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gorengan selalu menjadi godaan bagi pesepeda kala pagi, daeng.
      Selama ini saya sudah terbiasa bersepeda pakai masker, jadi untuk rute-rute tanjakan seperti ini masih aman. Ada beberapa tanjakan yg membuat saya harus membuka masker, semakin lama bersepeda, makin tahu kapan waktu buka masker dll

      Hapus
  5. Wow..tanjakan nya maut ya. Jadi pengin juga nggowes ke Gunung Wangi dan mencoba kulinernya. Salam nggowes dan Salam sehat.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Gunung Wangi ini tidak jauh, tanjakan nggak tinggi, dan asyik buat wedangan

      Hapus
  6. Waaah banyak pohon jati :D. Galfok Ama daun jati, yg udh susah dicari di JKT utk bungkus makanan. Di sana msh banyak yaaa :D.

    Viewnya dari atas cantiiiiik mas. Tapi kalo kesini aku ga bakal kuat sepedaan, naik kendaraan ajalah hahahahaha. Walopun makanannya sederhana, tp kalo dimakan di tempat bagus begini, rasanya pasti LBH terasa spesial :D.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Jogja ada namanya nasi berkat yang dijual para penjual jajanan pasar, pakainya ya daun jati.
      Kalau ke sini enak, mbak. Nggak begitu menanjak dan dekat dari kota

      Hapus
  7. Saya senyum pas baca bagian Mas Sitam masuk ke dapur warungnya Bu Rini. Siapa tahu habis ini Bu Rini bakal menata dapurnya dengan lebih baik. Nanti kalau ada vlogger lain yang datang, dapurnya mungkin sudah enak dipandang. :D

    Dulu waktu masih sepedaan, saya paling males lewat jalan cor begitu, Mas. Sudah parno duluan bakal terjadi apa-apa sama ban. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salah satu caraku agar akrab dengan pemilik warung kayak gini, mas. Makin asyik aja kalau bisa berinteraksi dengan mereka heheheh

      Hapus

Pages