Setengah Hari di Tempat Pembuatan Kapal Kayu - Nasirullah Sitam

Setengah Hari di Tempat Pembuatan Kapal Kayu

Share This
Proses pembuatan kapal kayu di Karimunjawa
Proses pembuatan kapal kayu di Karimunjawa
Suara mesin pasah kayu melengking, berhamburan serbuk papan dari corong. Lama-lama membentuk debu dan tersebar di sekitarku. Aku bergeser mundur, masker yang kukenakan bermanfaat. Setidaknya aku tak menghirup debu hasil dari papan.

Bau khas papan tergerus mesin pasah kembali menyeruak. Sedari pagi, aku sengaja melinat proses pembuatan kapal di dermaga Hadirin. Kemarin sore kulihat ada dua kapal belum jadi tergalang di tepian pantai. Saat itu pula terbesit pikiranku untuk melihat proses pembuatannya.

Jauh sebelum ini, aku pernah mengikuti proses mendorong kapal yang sudah jadi ke pantai. Jika lokasinya jauh dari pantai, dibutuhkan banyak orang untuk menarik maupun mendorong. Kapal ini hanya sepelemparan batu dari pantai. Tentu proses penurunannya lebih mudah.

Dua orang yang membuat kapal sudah kukenali sejak dulu. Beliau adalah tetanggaku sendiri. Kami berbincang santai. Sesekali kuambil kamera dan mengabadikan aktivitas di sini. Obrolan terus mengalir diselingi suara mesin pasah.

Melihat badan kapal yang sudah hampir jadi ini, kemungkinan tak lama lagi kapal sudah bisa digunakan melaut. Lek Rohmat dan Kang Bowo masih sibuk bekerja. Suara musik dangdut menjadi makin semarak dari tape portable.
Pembuatan kapal di dekat pantai hadirin Karimunjawa
Pembuatan kapal di dekat pantai hadirin Karimunjawa
Suara lagu dangdut koplo nyaring. Tak mau kalah dengan bunyi raungan mesin pasah. Aku masih terus melihat proses pekerjaannya. Sesekali melihat Lek Rohmat sedang menghaluskan papan. Berganti melongok Kang Bowo sedang memaku untuk pintu mesin dengan paku pasak.

“Kalau suka melihat orang buat kapal, biasanya mau bikin kapal, Rul,” Celetuk Lek Rohmat.

Aku terkekek mendengar sambil kuaminkan. Di Jelamun, mungkin keluargaku yang tidak punya kapal. Dulu, almarhum bapak memang lebih suka sampan karena melaut di kala luang pulang dari bandara. Sampai sekarang, keluarga hanya punya satu sampan untuk menjaring.

Sebelum aku mengulik tentang kapal kayu, kami berbincang hal-hal ringan. Termasuk mendengarkan cerita Lek Rohmat terkait anaknya yang sekarang di Bangka. Pun dengan Kang Bowo. Kedua anak beliau ini temanku main sepakbola dan voli. Bahkan, Lek Bowo pun pernah main sepakbola bareng denganku.

Kucuri obrolan lama waktu pembuatan kapal ini. Lek Rohmat menjelaskan estimasi waktu yang diperlukan sekitar tiga bulan. Itupun kapal sudah turun di laut. Ini artinya semua proses pemasangan mesin hingga pengecatan sudah kelar.

Kapal yang dibuat ini tidaklah besar. Rata-rata memang seperti ini yang ada di Karimunjawa. Dari Lek Rohmat, beliau menginformasikan kapal ini enam papan. Aku sendiri iseng menghitung bilah papan yang sudah terpasang.
Papan yang digunakan dari pohon Meranti
Papan yang digunakan dari pohon Meranti
Tiap sekat papan diberi tambahan lapisan agar air tidak merembes. Dilihat dari bawah, tampaknya lunas kapal ini bekas kapal lama. Biasanya, kayu yang digunakan memang tahan air laut. Sekilas warna cat masih menempel meski sudah buram.

Secara sederhana bagian-bagian kapal itu ada banyak. Paling mendasar yang kuketahui sebagai berikut. Di mulai dari bagian paling bawah adalah lunas kapal. Lunas ini nantinya yang menjadi pusat di paling bawah untuk menjadi patokan tiap papan yang hendak disematkan.

Badan kapal lebih disebut dengan nama lambung kapal. Ini tentu berguna untuk menampung semua bagian yang ada di atas kapal. Beralih ke belakang ada tempat untuk kipas kapal atau sebagian orang menyebutnya propeller.

Bentuk belakang kapal yang cekung ke dalam dijadikan tempat daun kemudi. Sementara daun kemudi tersebut dikendalikan menggunakan kaki dengan tambahan batang kayu pada buritan. Di sampingnya biasanya pompa air untuk menguras kapal serta tuas gas mesin.

Depan buritan adalah geladak kapal. Di sinilah letak untuk dirigen BBM hingga mesin kapal. Di geladak juga dimanfaatkan sebagai tempat khusus menampung hasil tangkapan ikan dengan nama palka kapal. Dari geladak, lanjut bagian depannya lagi bernama anjungan.
Satu kapal dikerjakan dua orang
Satu kapal dikerjakan dua orang
Anjungan kapal ini hanya ada pada kapal modern ataupun kapal besar. Untuk kapal kayu nelayan, semuanya menjadi satu di buritan. Seperti yang kubilang di atas, kontrol penuh pemilik kapal kayu nelayan berada di buritan. Biasanya nelayan sendirian atau berdua.

Bagian paling depan kapal berbentuk runcing dan berguna untuk memecah ombak, ini namanya haluan kapal. Biasanya, posisi di depan dan melihat bagaimana papan mengiris ombak ini sesuatu yang menyenangkan. Terkadang air laut yang menghantam haluan menciptakan cipratan.

Pemilik kapal datang, kami kembali bertegur sapa. Beliau bertanya sejak kapan aku datang dari Jogja. Di waktu bersamaan, aku juga menanyakan bahan kayu yang digunakan. Untuk kapal ini, pemilik kapal menggunakan kayu Meranti.

Tiap papan pada lambung kapal sudah terpaku pasak. Paku pasak dibuat langsung berbahan kayu ulin. Cetakannya di bawah, kita tinggal memasukkan potongan kayu ulin sebesar jari orang dewasa, lantas memukulnya dengan pemberat.

Lubang pada papan dan tulang kerangka digabungkan menggunakan paku pasak, lantas dilumuri lem kayu. Bagian papan yang berbopeng pun di amplas, lantas ditambahi dempul dan kembali dilumuri lem kayu. Lem ini tangguh ketika terkena air laut.

Kapal kayu ini sudah hampir selesai. Mungkin dalam waktu dekat sudah dilabur cat. Biasanya di Karimunjawa, kapal-kapal kayu dominan warna putih dengan garis biru, merah, ataupun hijau. Secara tidak langsung, warna catnya seragam.
Bagian palka kapal yang belum jadi
Bagian palka kapal yang belum jadi
Di sela-sela pekerjaan, mereka bersantai. Satu teko besar kopi sudah dingin. Lima gelas masih kosong, diambil kopi dan disesap sembari merokok. Kopi, rokok, dan lagu dangdut koplo menjadi teman setia para pembuat kapal.

Menjelang siang, bertambah dua orang lagi yang ikut nimbrung. Salah satunya kakakku. Beliau gabung dengan kami untuk sekadar bersantai. Mencari kesibukan kala libur bekerja. Aku sendiri asyik melihat detail-detail kapal kayu ini.

Kunaiki kapal, lantas memotretnya dari ujung depan. Palka kapal sudah jadi, siap untuk menampung hasil laut. Kang Bowo disibukkan memasang pintu untuk mesin. Sedari tadi dia tidak lepas dari pensil dan penggaris. Dicoret-coretnya kayu kecil, lantas digergaji sesuai ukuran.

Sementara Lek Rohmat masih di bagian belakang. Selesai menghaluskan kayu menggunakan mesin pasah, berganti mengambil mesin pemotong kayu. Suaranya jauh lebih nyaring, meski tetap suara musik dangdut tak mau kalah nyaringnya.

Di Karimunjawa ada banyak orang yang pandai membuat kapal. Bahkan di kampungku sendiri ada beberapa orang. Belum lagi di kampung-kampung yang lainnya sepanjang Karimunjawa, Parang, Genting, dan Nyamuk. Benar-benar banyak.

Kapal kayu menjadi moda untuk mencari rezeki. Sebagai masyarakat kepulauan yang menjadikan laut tempat mencari sumber penghasilan, kapal kayu adalah sebuah modal yang besar. Hampir tiap bulan, ada saja kapal-kapal baru yang dibuat.
Kurun waktu tiga bulan, satu kapal terselesaikan
Kurun waktu tiga bulan, satu kapal terselesaikan
Tak kutanyakan total harga dalam membuat satu kapal, ataupun kisaran bayaran tiap harinya para pembuat kapal. Bagiku kurang tepat rasanya. Mungkin, di waktu yang lebih senggang, pertanyaan-pertanyaan itu bakal kutanyakan sembari menyesap kopi di teras rumah.

Lebih dari lima jam aku duduk, merekam, memotret, berbincang, dan mengamati proses pembuatan kapal kayu. Azan duhur sudah berkumandang sedari tadi. Waktunya aku untuk undur diri. Pulang ke rumah jalan kaki menyusuri tepian pantai.

Tak hanya di Karimunjawa, di setiap sudut pantai wilayah Indonesia, terkhusus mereka yang berada di kepulauan, kapal adalah sarana yang sangat didambakan untuk mendapatkan penghasilan lebih baik. Semoga, nelayan-nelayan di Indonesia bisa makmur dengan hasil laut.

Para petinggi di Indonesia peka dengan berbagai permasalahan yang ada di nelayan, khususnya mereka yang hidup di perbatasan dan kepulauan terluar. Hasil laut kita melimpah, dan berharap tetap terjaga dari tangan-tangan pihak yang rakus. Menguras hasil laut tanpa memikirkan dampak yang dilakukan karena berlebihan. *Karimunjawa; 13 Maret 2021.

6 komentar:

  1. dari kecil tuh aku takjub ama pembuatan kapal kayu gini
    dibuat dari kayu yang disambung2, tapi enggak bocor

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehhee, ada proses dempul mas, jadi memang banyak proses sampai jadi kapal. Tapi ya begitu. mereka bisa membuat secara seimbang ahhahahaha

      Hapus
  2. industri kapal kayu di Karimun Jawa terus bergerak ya Mas Sitam .... disana umumnya dibuat mennjadi perahu nelayan ya ... ada tidak yang dibuat jadi semacam perahu "pesiar" kecil ... yang dapat disewa untuk jalan2 sambil menginap dilaut ... soalnya ada perahu kayu di pantai Jakarta dibuat seperti kapal "pesiar" dan laku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kapal di Karimunjawa itu sebagai alat untuk mencari uang. Setahuku belum ada yang bikin macam pesiar, kang. Tidak seperti di Labuan Bajo dll

      Hapus
  3. Seandainya aku bisa melihat langsung juga mas. Penasaran bangettttt dari dulu, gimana cara membuat kapal kayu begini,. Kalo kapal yang gede kayak kapal pesiar, udah pasti di pabrik. Tapi kalo kapal kayu kan beneran manual. Ato kayak kapal pinisi. Beruntung banget mas sitam bisa liat langsung :).

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heheheh, di Karimunjawa kita bisa melihat seperti ini dengan santai. Bahkan bisa ngobrol2 juga.

      Hapus

Pages