Jalur Penuh Kejutan Menuju Bukit Gondopurowangi Magelang - Nasirullah Sitam

Jalur Penuh Kejutan Menuju Bukit Gondopurowangi Magelang

Share This
Berfoto di tulisan Gondopurowangi
Berfoto di tulisan Gondopurowangi
Hujan tak berhenti sedari malam, hingga subuh menyapa pun masih lebat. Aku melanjutkan tidur sembari menunggu reda. Kali ini rencana bersepeda pagi hari tertunda, kunikmati sarapan nasi goreng yang disediakan Genthong Homestay.

Pukul 06.40 WIB aku meminta izin keluar penginapan, kuutarakan niat langsung bersepeda menuju Bukit Gondopurowangi. Pemilik penginapan mengucapkan terima kasih, aku pun meminta izin jika nantinya pengalaman menginap kuulas di blog.

Aspal masih basah, bahkan di tepian jalan masih tergenang air. Peta di gawai mengarahkan rute menuju lokasi. Ditilik dari jaraknya dari Candi Borobudur hanya 5.3 kilometer. Tapi, aku harus tetap menghemat tenaga karena lokasinya di perbukitan Menoreh.

Bukit Gondopurowangi berlokasi di Karang Baur, Kenalan, Borobudur dengan ketinggian yang lumayan, terlebih ditempuh menggunakan sepeda. Kuikuti jalanan di peta yang mengarahkanku pada jalan menanjak. Belum juga bersepeda lebih dari 10 menit, di depan sudah ada tanjakan tinggi.
Jalanan cor penuh tanjakan dan menikung tajam
Jalanan cor penuh tanjakan dan menikung tajam
Medan belum kukenal, pedal sepeda terus kukayuh. Lantas aku berhenti di tengah perjalanan. Menyeka keringat, dan melanjutkan perjalanan. Di depanku pintu gerbang masuk Villa Borobudur. Petugas keamanan bersantai di gardu.

“Jalan ke Bukit Gondopurowangi yang mana, pak?”

“Ikuti jalan cor ini, mas. Pokoknya ikuti terus sampai nanti ketemu plangnya. Masih jauh,” Jawab salah satu petugas keamanan. Aku menghela nafas panjang, kami berbincang sesaat.

Jalan cor dua tapak berlumut kulintasi. Acapkali ban sepeda selip, kuputuskan untuk menuntun sepeda. Perjalanan pagi ini benar-benar menguras tenaga. Setiap jalanan landai, kunaiki sepedanya. Tapi, jalan lebih banyak menikung tajam dan menanjak. Sebagian besar tenaga terkuras hanya untuk menuntun sepeda.

Entah berapa kali aku berhenti dan mengumpulkan tenaga. Rute ke Bukit Gondopurowangi jika dilintasi melalui Borobudur memang kejam bagi pesepeda. Konon ada jalan lebih landai, itupun arah dari sekitaran Jogja. Tapi jalur penuh kejutan ini membuatku makin menikmati prosesnya.
Jalan panjang sampai ketemu plang arah ke Bukit Gondopurowangi
Jalan panjang sampai ketemu plang arah ke Bukit Gondopurowangi
Jika kondisi jalan kering, mungkin tidak sesulit saat ini. Sepanjang perjalanan hanya bertemu dengan dua warga setempat. Seorang ibu yang jalan kaki, dan sebelumnya seorang bapak naik motor. Aku mengingat informasi dari ibu yang mengatakan ada sekumpulan bapak sedang kerja bakti di depan.

Arahan dari bapak-bapak kerja bakti membuatku makin semangat bersepeda. Terlebih untuk kali pertamanya ada jalanan menurun. Hingga pada akhirnya sampai di pertigaan yang ada plang petunjuk arah ke Bukit Gondopurowangi.

Bermodalkan informasi dari ibu penjaga warung, jalan yang lurus ini nantinya kulintasi saat pulang ke Jogja melewati pasar Jagalan. Untuk saat ini masih ada satu tanjakan panjang agar sampai di Bukit Gondopurowangi. Tenaga yang tadinya capek mulai kembali bersemangat.

Tanjakan panjang kulintasi, hingga sampai pada plang yang mengarahkan turun. Jalur setapak ini mengantarkanku sampai di depan pintu masuk destinasi. Mungkin kedatanganku masih pagi, belum ada yang menjaga. Aku lanjut memarkir sepeda di antara dua motor.
Istirahat di warung yang buka pagi hari
Istirahat di warung yang buka pagi hari
“Mampir warung mas, minum-minum teh. Ini ada gorengannya,” Sapa ibu pemilik warung.

Satu warung sudah buka, seorang ibu ditemani bapak dan anaknya menyapaku. Mumpung ada warung, aku memesan minuman. Kami berbincang, warung ini sudah ada sejak Gondopurowangi dibuka. Tapi tempat ini agak sepi saat pandemi.

“Sendirian, mas?”

Aku mengangguk. Pertanyaan ini sedari tadi kudengar. Setidaknya sudah lima kali di waktu pagi. Mulai dari petugas keamanan di Villa Borobudur, Ibu yang ketemu di jalan, berlanjut bapak-bapak kerja bakti, hingga pemilik warung di pertigaan sebelum sampai di sini.

Waktu yang tepat mengeteh, terlebih sedari tadi tenaga terkuras sepanjang perjalanan. Kuminta dibuatkan teh manis. Lalu bersantai melepas lelah. Ibu ini merupakan salah satu pemilik warung yang ada di Bukit Gondopurowangi.

Ibu penjaga warung mengatakan biasanya tiap akhir pekan banyak pesepeda yang datang, tapi agak siang. Beliau malah menawarkan jasa gendong sepeda dan memotret. Ternyata, bapak yang tadi bersih-bersih sekitar warung biasa membantu para pesepeda untuk menggendong sepeda sampai atas.
Berfoto pada tulisan Gondopurowangi di tebing
Berfoto pada tulisan Gondopurowangi di tebing
Tenaga yang sedari tadi terkuras habis tentu senang mendengar tawaran tersebut. Kutinggalkan barang bawaan dan meminta bapak untuk menggendong sepeda sampai atas. Di grup Facebook memang kulihat ada banyak pesepeda foto dengan latar tulisan Puncak Gondopurowangi.

“Berapa pak? Nanti sekalian minta difotokan,” Tanyaku.

Beliau tidak mempunyai tarif yang pakem, terserah aku yang membayarnya. Sembari menggendong sepeda naik tangga, aku berujar nanti difotokan menggunakan kamera. Beliau baru pertama menggunakan kamera, sehingga aku arahkan lebih dulu.

“Biasanya pakai hp, mas,” Jawabnya.

Tulisan Puncak Gondopurowangi tersemat pada dinding dengan tambahan nama instansi bank yang mengembangkan destinasi ini. Kuminta bapak untuk memotret. Berhubung aku membawa lensa fix 35mm, kuarahkan beliau agar bisa memotret penuh dengan tempat terbatas.

Bukit Gondopurowangi memang sudah dikenal wisatawan lokal untuk menunggu sunrise. Beberapa tahun sebelum pandemi, destinasi ini ramai dikunjungi. Karena itulah sudah lengkap fasilitas seperti toilet dan adanya gazebo-gazebo.
Jalan anak tangga di puncak Bukit Gondopurowangi
Jalan anak tangga di puncak Bukit Gondopurowangi
Tiap akhir pekan biasanya ada sekumpulan wisatawan lokal yang berkemah. Tapi, untuk pagi ini sepi. Tidak ada pengunjung yang berkemah. Mungkin faktor cuaca yang tak menentu menjadi salah satu alasannya. Kuikuti anak tangga yang menuju area datar bukit.

Beberapa gazebo tampak jelas, tempat ini terawat dengan baik. Kabut masih menyelimuti area Puncak Gondopurowangi. Aku meminta bapak yang membawa sepeda untuk berhenti. Kunikmati waktu santai dengan menghirup nafas panjang.

Suasana Gondopurowangi sejuk. Sedikit hawa dingin merebak, aku bersantai sembari mengamati sekitar. Sepertinya lahan datar ini yang digunakan para wisatawan untuk mendirikan kemah. Sudah ada tempat sampah yang tersedia.

Tidak banyak yang bisa dilakukan ketika di Bukit Gondopurowangi. Tempat ini lebih tepat untuk berkemah sambil bersantai tanpa ada kegiatan tertentu. Menikmati kopi atau sekadar memasak di dekat tenda, lalu mengabadikan suasana syahdu.

Menurut bapak yang membawa sepeda, ada jalur lain untuk turun. Tapi aku harus melintas jalan yang sama karena bawaan kutinggal di warung. Kembali aku meminta bapak untuk memotret tepat pada tulisan Gondopurowangi.

Di balik tulisan ini adalah berbagai perbukitan yang masih tertutup oleh kabut tebal. Puas bersantai, aku meminta balik ke warung. Oya, toilet ada di dekat tangga naik. Jika hujan, jalanan anak tangga agak licin, jadi harus hati-hati.
Mengabadikan diri di puncak Bukit Gondopurowangi Magelang
Mengabadikan diri di puncak Bukit Gondopurowangi Magelang
Bagiku, tempat ini tetap asyik sebagai destinasi wisata khususnya para pecinta sunrise. Jika cuaca cerah, kita bisa menikmati waktu pagi dengan lanskap yang menyenangkan. Tetap ingat, jaga kebersihan selama berkunjung di manapun berada.

Aku turun, lalu pulang. Sebelumnya kubayar teh yang sudah kupesan dan memberikan tip pada bapak yang menemaniku dan menggendong sepeda. Sepeda kutuntun sampai bawah, tepat pada pintu masuk Puncak Gondopurowangi.

Di sini aku mencari kotak sukarela, tapi tidak tersedia. Saya pribadi meminta maaf kepada pengelola Bukit Gondopurowangi karena datang terlalu pagi sehingga belum sempat membayar uang masuk. Ke depannya, aku bakal ke sini lagi.

Jalanan pulang beda jalur dengan waktu berangkat. Tepat di pertigaan warung, aku belok kanan. Hingga sampai jalan menuju Jogja. Intinya menuju arah Balkondes Kenalan. Jalan lebih asyik dan beraspal, berbeda dengan jalur waktu dari Borobudur.

Turunan terus kulintasi sampai akhirnya aku di jalan raya menuju Candi Borobudur-Jogja. Tepatnya di pertigaan arah ke Balkondes Kenalan yang tidak jauh dari jalan masuk Desa Wisata Banjaroya. Jalanan ini menuntunku sampai Pasar Jagalan, lalu ke Jogja.

*Catatan: Kunjungan ke Puncak Gondopurowangi pada tanggal 14 November 2021. Rute dari Jogja melintasi arah jalan ke Balkondes Kenalan, jalan lebih mulus dan nyaman dibanding dari Candi Borobudur yang dominan tanjakan tajam serta jalan cor.

8 komentar:

  1. wih foto tanjakannya aduhai sekali ya, curaam
    btw ternyata ada juga ya jasa gendong sepeda, heuheuheu, baru tahu

    BalasHapus
    Balasan
    1. heheheh, rutenya memang asyik bikin perih, mas. Sekarang ada jasanya, jadi enak

      Hapus
  2. bawa sepeda udah seperti nenteng tas aja.

    ngomong ngomong kesan pendopo kok jadi agak horor ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Udah biasan nenteng sepeda.
      Itu pendoponya kena kabut, jadi kesannya begitu

      Hapus
  3. wowww ... tanjakannya bener2 brutal ...
    sudah itu mesti gendong sepeda sampai puncak pula demi foto ... untung ada ojek gendong 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahhaa, tanjakan seperti ini kudu dinikmati dengan cara menuntun & gendong sepeda hahaaha

      Hapus
  4. itu tanjakan menikungnya lumayan mengerikan. Pas naik lumayan berat, begitu juga ketika turun. Jalanan berlumut jadi harus lebih berhati-hati. Kalau ga yakin yaa mending dituntun aja sepedanya...hiiiks

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pedih kalau dinaiki pas licin lagi, mas. Pokoknya kudu nuntun biar lebih aman

      Hapus

Pages