Melongok Proses Sangrai Biji Kopi Secara Tradisional - Nasirullah Sitam

Melongok Proses Sangrai Biji Kopi Secara Tradisional

Share This
Proses sangrai biji kopi secara tradisional
Proses sangrai biji kopi secara tradisional
Di rumah Rembang, aku sering disuguhi kopi Lelet khas Rembang. Cangkir kecil sudah disajikan di atas meja. Asap kopi mengepul, kusesap sedikit demi sedikit. Rasanya manis dan sensasi pahit masih terasa. Aku suka dengan sajian kopi seperti ini.

Kebiasaan mengopi ini benar-benar perhatian istri. Dia bercerita ke ibu dan budenya tentang rutinitasku mengopi setiap di Jogja. Bahkan dia sengaja membelikan biji kopi agar disangrai bude dan digiling, lantas untuk stok kopiku di Jogja.

“Beli biji kopi sendiri?” Tanyaku saat melihat biji kopi dalam plastik.

“Iya, nanti siang ke rumah bude biar disangrai.”

Sudah lama aku tidak melihat proses sangrai biji kopi secara tradisional. Dulu, sewaktu dolan ke kopi Pak Rohmat pernah melihat proses penyangraian secara tradisional. Mereka menggunakan tungku dan kayu bakar secukupnya.
Tungku tempat sangrai biji kopi
Tungku tempat sangrai biji kopi
Di Rembang, Kopi Lelet sangat dikenal. Hampir di setiap sudut warung menyediakan kopi. Sebagian besar mereka yang mengopi ini juga merokok. Konon kata lelet itu sendiri proses pemberian warna pada batang rokok menggunakan ampas kopi.

Aku pernah melihat rutinitas ini di Nobon Coffee. Meski sekarang sudah tidak merokok, aku masih tetap mengopi. Di Rembang sendiri, hampir tiap pagi dan malam sajian kopi hitam manis pasti disajikan pada cangkir kecil.

Satu kilo biji kopi yang belum disangrai sudah tersedia. Sepertinya istri memesan biji kopi dari tetangga. Siang nanti, kami menuju rumah bude untuk penyangraian biji kopi. Bude mempunyai warung makan di samping rumah, tentu beliau juga menyediakan stok kopi hitam.

Tempat proses penyangraian di dapur. Ada tempat kecil terpisah, di sana sudah ada tungku permanen beserta tumpukan kayu kering. Tidak ketinggalan wajan berukuran tanggung yang warnanya sudah hitam pekat. Di sinilah tempat penyangraian biji kopi.
Biji kopi mulai disangrai
Biji kopi mulai disangrai
Biji kopi dicuci terlebih dahulu, lantas beliau menyiapkan api. Bara api mulai hidup, sesekali beliau memasukkan potongan kayu bakar agar lebih besar apinya. Biji kopi mulai dituangkan ke wajan, lantas secara konsisten diaduk merata.

Proses penyangraian membutuhkan waktu lumayan lama. Aku terus mengamati prosesnya. Biji kopi diaduk agar tersangrai dengan rata. Lama kelamaan, biji kopi yang awalnya berwarna putih mulai kecokelatan. Asap mengepul dari dalam wajan.

Bude bercerita jika sudah sering menyangrai biji kopi untuk keperluan stok bubuk kopi di warung. Beliau menceritakan tidak sedikit orang yang menitipkan biji kopinya untuk disangrai. Bahkan beliau menerima pesanan bagi orang yang ingin menyangrai biji kopi hingga selesai digiling.

Tempat menyangrai biji kopi ini terbuka, aku menuju belakang rumah di sela-sela waktu memotret. Di belakang, tumpukan kayu bakar lebih banyak. Sementara itu, istri masih menunggu di dipan dekat dapur. Dia malah belum pernah melihat proses penyangraian biji kopi.
Biji kopi mulai hitam
Biji kopi mulai hitam
Sebelum diangkat dari wajan, biji kopi tersebut dicampuri gula Jawa. Kemudian kembali diaduk rata. Biasanya di tempat lain dicampuri jahe, sehingga aroma yang keluar ada sensasi jahenya. Dirasa sudah merata semua, biji kopi diambil dan diratakan dalam wadah nampan.

Lama proses penyangraian untuk biji kopi satu kilo ini sekitar 30 menit. Kulihat biji kopi menjadi hitam legam. Dibiarkan saja biji kopi tersebut hingga mengering. Bude kembali menyangrai biji kopi yang beliau beli sendiri.

Proses kedua setelah selesai disangrai adalah penggilingan. Beliau lebih familiar dengan kata ‘penyelepan’. Untuk penggilingan kopi nantinya di tempat berbeda. Aku hanya melihat sampai proses penyangraian selesai, setelahnya aku pulang.

“Kalau sudah habis kopinya, nanti bilang saja. Biar saya goreng (sangrai) lagi,” tutur beliau.
Selesai disangrai dan siap digiling
Selesai disangrai dan siap digiling
Bude juga memberikan satu cangkir kopi yang bentuk dan coraknya sering kulihat di kedai-kedai kopi di Jogja. Cangkir kecil lengkap dengan tutup dan piring kecil sebagai alas. Katanya, kalau mengopi dengan cangkir ini, takarannya pas.

Beliau juga memberikan informasi takaran untuk mengopi. Komposisi kopi bubuk dan gula yang sering beliau gunakan. Malam harinya, dua stoples berukuran kecil dikirimkan, bubuk kopi yang digiling sudah siap kubawa ke Jogja.

Stok bubuk kopiku cukup banyak. Dua stoples ini kubagi rata. Satu stoples untuk stok mengopi di kosan, satu lagi aku tinggal di tempat kerja. Tentu beberapa kawan yang suka mengopi manis menyukai bubuk kopi yang kubawa.
Menyeduh kopi hasil gilingan sendiri
Menyeduh kopi hasil gilingan sendiri
Selama pandemi berlangsung, aku memang lebih banyak mengopi di kosan. Mengopi ala anak kos, cukup dengan ketel yang diisi air panas, lantas menuangkan dalam cangkir. Kopi hitam ini menemaniku saat menyicil tulisan di blog ataupun mengedit vlog.

Menjadi pengalaman yang menyenangkan melihat proses penyangraian biji kopi. Di Rembang, kita bisa mengopi di banyak warung. Aku jarang mengopi di kafe, lebih sering menyesap kopi di rumah racikan bude ataupun ibu mertua. Setiap pulang ke Rembang, mengopi menjadi minuman sehari-hari. *Rembang; 26 Maret 2022.

14 komentar:

  1. wah baru tahu, sebelum diangkat, dicampur gula jawa dulu
    biar apa mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya biar ada bau atau rasa sedikit, kang.
      Kerasanya pas diseduh pakai gula. ada sensasi gula jawanya

      Hapus
  2. Jadi tau cara kopi di sangrai. Jadi warna aslinya itu putih ya mas? Aku kirain memang udah gelap 🤣.

    Naaah takaran pas antara bubuk kopi dan gula itu yg susah. Aku makanya lebih suka dibikinin kopinya, Krn ga pernah pas kalo bikin sendiri 🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehe, kalau di beberapa tempat ada paket mulai dari proses pemtikan sampai sangrai, mbak. Misal biki kopi sendiri dengan gelas kecil, takaranku 2 sendok bubuk kopi, setengah sendok untuk gula.

      Hapus
  3. Pernah banget lihat prosesnya secara langsung, butuh berhari2 untuk membuat kopi berkualitas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar banget, dari proses memetik, mengupas, jemur, hingga sangrai butuh waktu yang lama & cuaca yang mendukung.

      Hapus
  4. ternyata lelet itu adalah istilah dalam proses awal meracik biji kopi sebelum jadi bahan dasar suatu minuman ya. Kalau keluarga kami ga ada yang ngopi sih. Cuma dulu pernah kunjungan proses sangrai kopi juga walau bukan di rembang. pernahnya kami ke bali pulina yang ada luwaknya hehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lelet sebenarnya aktivitas para perokok yang membatik atau membuat gambar pada batang rokok, mbak hehehhe

      Hapus
  5. keren mas .... jarang banget lihat yang menyangrai biji kopinya sendiri, biasanya rasa kopinya jadi lebih mantap.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selain rasa, ternyata melihat prosesnya langsung pun mempunyai sensasi sendiri

      Hapus
  6. Terima kasih sudah share artikel ini pak, mantap betul

    BalasHapus

Pages