Melintasi Jalur-Jalur Kampung Menuju Ancol Bligo - Nasirullah Sitam

Melintasi Jalur-Jalur Kampung Menuju Ancol Bligo

Share This
Skuad tim tilik Ancol akhir pekan
Skuad tim tilik Ancol akhir pekan
Tilik Ancol menjadi tema bersepeda akhir pekan ini. Berawal dari postingan Mas Meigun (kawan pesepeda) di berandanya, aku turut berkomentar untuk ikut gowes akhir pekan. Nyatanya, beberapa kawan sepeda yang kukenal pun menyepakati untuk bergabung.

Minggu pagi, cuaca di sekitaran Tugu Jogja mendung. Aku sudah bersama Om Ghandi menunggu kawan yang lainnya. Kami berencana ikut menyemarakkan gowes tilik proyek Ancol. Sebuah tema yang mirip calon-calon pemimpin tilik masyarakat menjelang pemilu.

Pukul 06.20 WIB, kami berdua mengayuh pedal menuju jalan Godean. Di sana Mas Meigun menunggu. Nyatanya, rombongan yang lain masih jauh di belakang. Rombongan ini lumayan orangnya, salah satu yang kukenal adalah Mas Radit.

Tim sudah lengkap, tinggal Om Budi yang menunggu di sekitaran Desa Grogol. Aku sengaja ikut gowes kali ini karena yakin rute yang dilintasi tidak jalan utama. Benar saja, sebelum pasar Godean, kami sudah belok kanan melintasi perkampungan.

Aku tidak hafal nama jalan ataupun daerah sini. Seingatku, ada lapangan sepa bola dan kedai kopi kekinian. Lantas kami melintasi perkampungan, tak lama kemudian berganti dengan pematang sawah. Aku terus mengabadikan beberapa momen menggunakan Gopro.
Melintasi jalur tanah lumayan panjang
Melintasi jalur tanah lumayan panjang
Lepas perkampungan yang syahdu, kami melintasi jalan utama, kemudian kembali susur jalan kecil. Kejutan datang, ketika jalur yang kami lintasi adalah tanah setapak. Bagiku, jalur seperti ini cocok untuk sepeda gravel. Kami menikmati perjalanannya.

Kusalip kawan-kawan dan mempercepat laju sepeda. Aku ingin mengabadikan di salah satu jalur yang menurutku menarik. Jalan ini sepertinya sering dilintasi masyarakat setempat untuk mempersingkat jarak jalan. Kiri dan kanan merupakan lading warga.

Satu persatu kawan melintas, sampai ketemu jalan aspal. Kami belok kiri, seingatku di beberapa desa yang kulintasi ada semacam penginapan. Bisa jadi kampong-kampung ini merupakan sebuah desa wisata yang ada di Sleman.

Ada satu jalur yang menurutku menyenangkan. Aku lupa daerah mana, seingatku jalanan ini dipenuhi pohon besar yang lumayan rindang, namun bagian atas pohon sempat dipangkas. Sepanjang perjalanan, aku mengabadikan menggunakan Gopro.

Pagi ini masih sejuk. Matahari belum ada tanda-tanda terlihat. Sedari tadi mendung tipis menutupi cahaya matahari. Kami bersepeda santai, sengaja menikmati sepanjang perjalanan. Di tengah perjalanan, aku mengaktifkan aplikasi Strava.
Jalur yang dilintasi cukup syahdu
Jalur yang dilintasi cukup syahdu
Sebagian jalur sempat kulintasi, pemandangan sepenuh area persawahan. Kami melihat ada jalan baru selesai dicor, secara spontan, jalur tersebut yang kami lintasi. Ancol hanyalah tujuan akhir, bagi kami yang paling penting adalah rute-rute blusukannya.

Matahari mulai menampakkan sinarnya, kami masih menikmati pemandangan di sepanjang perjalanan. Sesekali kuabadikan spot-spot yang menurutku menarik. Kami tak berhenti di jalan, hanya melintas, namun laju sepeda amat pelan.

Mendekati Buk Renteng, rencana awal melewati arah jalan ke Watu Jagal. Namun, di bangunan cagar budaya ini sudah terjebak macet. Ada semacam festival tradisional, kami kembali menuju jalan utama, lantas belok kiri di penghujung Buk Renteng.

Ini kali pertama aku melintasi jalur selokannya. Awal tahun, aku sempat melihat ada Festival Van Der Wijck dan Pasar Buk Renteng di bulan maret. Hanya saja sekarang hanya meninggalkan bekas gubuk-gubuk lapak penjual. Padahal sewaktu festival, daerah sini padat merayap.
Jalanan berganti aspal di pematang sawah
Jalanan berganti aspal di pematang sawah
Sebuah jembatan kecil kami lintasi, lantas sedikit menanjak. Di seberang jalan berjejeran kandang sapi. Suara pelantang penjual sayuran jelas dengan musik kasidah. Sepanjang perjalanan melintasi selokan Mataram, kami sering menyapa warga sekitar yang melintas.

Aku sepertinya belum pernah melintasi jalur ini. Dulu, sekitar tahun 2014, aku pernah menyambangi Ancol, hanya saja rutenya berbeda. Tanpa terasa, selokan yang awalnya di sisi kanan, berganti di sisi kiriku. Jalan cenderung masih cukup bagus.

Pemandangan yang berganti dari area persawahan menjadi rumah-rumah warga, lantas kembali bentangan sawah. Mendung tipis menutupi sinar matahari, meski begitu tetap mulai terasa sinarnya. Lumayan lama kami bersepeda, sebentar lagi sampai di Ancol Bligo.

Pesepeda pada umumnya sering ke Jembatan Duwet Kalibawang, tak jarang dari mereka melanjutkan perjalanan ke Ancol Bligo atau malah berlanjut hingga Borobudur. Rombongan ini memang sudah meniatkan diri untuk bersepeda, sehingga tidak ada target berapa jam bersepedanya.
Melintasi Selokan Mataram
Melintasi Selokan Mataram
Mendekati rumah-rumah warga, jalan berubah drastis. Lebih banyak bebatuan. Aku teringat, sewaktu bersepeda dengan teman-teman Jogja Gowes tahun 2015 pernah melintasi jalan ini. Salah satu yang membekas dalam ingatan ketika kawan menggunakan sepeda balap dan sepatu cleat harus membopong sepedanya di jalan ini.

Om Budi cukup hafal destinasi tujuan. Aku mengikuti di belakangnya. Sementara kawan yang lain masih di belakang. Tanpa terasa, sebuah turunan agak landau kami lintasi, di depankus ebuah jembatan penghubung. Inilah Ancol Bligo, destinasi tujuan yang sedang dalam proses pembangunan.

Area pembangunan masih tertutup, tapi tetap saja ada yang menerobos masuk dengan mengangkat sepeda melewati pagar portal. Nun jauh di sana, bangunan rumah-rumah sudah jadi, dan taman terbuka masih dalam proses.

Dua sisi Dam Air Ancol Bligo ini sedang dalam proses pembangunan. Konon revitalisasi ini dijadikan taman wisata dan irigasi. Memang jika dilihat dari kejauhan, perubahan cukup masif. Bahkan sekilas malah mirip rest area.

Kuparkirkan sepeda di dekat pohon agar teduh, bangunan di bawah dikonsep seperti area terbuka. Ada semacam taman serta pohon-pohon, diharapkan nantinya bisa tumbuh dan rindang. Sehingga tempat ini dapat menjadi salah satu opsi bermain anak-anak.

Mataku menyapu pandangan. Akhir pekan ini tidak ada keramaian para pekerja. Sebuah pohon besar tetap dipertahankan. Semacam ikonnya. Tak hanya rombongan kami, beberapa kali sudah ada rombongan lain yang hanya sekadar berhenti sesaat, berfoto, lantas melanjutkan perjalanan.
Pembanguan di sekitaran Ancol Bligo
Pembanguan di sekitaran Ancol Bligo
Konon, pembangunan ini bagian dari Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak. Tentu saja menarik ditunggu, bagaimana Ancol Bligo ini dibangun. Yang terbesit di pikiranku tentunya pembangunan ini harus bisa menggerakkan perekonomian masyarakat sekitar.

Jembatan Ancol masih kokoh. Tempat ini sebenarnya penuh histori, dan tentunya masih ada benang merahnya dengan pembangunan Selokan Mataram pada masanya. Beberapa kawan mulai berfoto, ada juga yang menyebarkan di stori media sosial.

Air Dam Ancol lumayan deras meski debit airnya masih aman. Berbagai riak menandakan aliran ini cukup deras. Sebuah tulisan larangan para pemancing masuk ke area pembangunan. Mungkin daerah sini dulunya adalah spot memancing para penghobi jorang.

Si Manis Jembatan Ancol, sebuah coretan di bagian samping jembatan membuatku berpikir bagaimana cara orang itu menulisnya. Aku melanjutkan perjalanan menuju warung yang berada di ujung jembatan. Di sini, area parker pun cukup banyak penjual bermotor.
Berakhir di salah satu warung untuk mengeteh
Berakhir di salah satu warung untuk mengeteh
Kupesan es teh, lantas melepas lelah di warung. Mataku kembali menyapu pandangan, banyak orang yang momong anaknya di sini. Sebuah bangunan masjid pun sudah tersedia. Sementara, bongkahan batu menutup jalur sepanjang aliran sungai.

Di sini, berkali-kali kami menyapa pemandu sepeda yang membawa tamunya. Beberapa pemandu sepeda kami kenal, bertegur-sapa, lantasi meninggalkan Ancol Bligo. Tempat ini memang biasa menjadi titik kumpul pesepeda untuk istirahat.

Kusesap minuman hingga tandas. Hari sudah lumayan siang, kami memutuskan untuk pulang. Agenda tilik proyek berjalan dengan lancar. Terkadang, bersepeda dengan rencana seperti ini malah lebih sering terealisasikan.

Jalur pulang berbeda dengan waktu datang. Kami melepas dahaga dan lapar di salah satu warung mie ayam bakso. Seingatku, daerah ini masuk Seyegan. Siang cukup terik, rombongan berpisah menuju rumah masing-masing. Aku sendiri melaju sepeda di tengah keramaian jalanan kota. *Ancol Bligo, 02 Oktober 2022.

10 komentar:

  1. Walah, dari Ancol kok gak lanjut naik dikit lewat Ngluwar ke arah Salam, Mas? Sudah saya siapkan kopi sama jendal goreng :)

    BalasHapus
  2. kirain sepedaan sampe ke Ancol di Jakarta, heuheuheu
    sepertinya menarik juga spotnya nanti kalau sudah selesai pembangunannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahahha, jauh kalau itu mas.
      Kayake bakal menarik

      Hapus
  3. Asyiknya gowes di kampung, walau jalan setapak tapi bersih. Pemandangan sawah-sawah dan rumah-rumah warga desa juga menambah syahdunya suasana bersepeda eeeaaa.... Pembangunan Ancol Blico ini semoga lekas selesai ya. Menarik sekali nih untuk dikunjungi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bligo memang menjadi salah satu spot tujuan pesepeda, mbak. Semoga menjadi lebih bagus dan fasilitasnya memadai

      Hapus
  4. Nama2 tempat di Jogja ini bbrp mirip Ama JKT Yaa, Ancol, Depok Ama Grogol 😄. Apa memang ada kaitan atau ga sengaja aja samaan? Aku td sempet mikir ini Ancol Jakarta hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahhaa, di sini menjadi kecamatan ataupun nama desa

      Hapus
  5. rutenya sungguh menyenangkan mas. Bosen lewat jalan utama, akhirnya milih lewat pemukiman dan jalan ke sawah atau kebun.

    Beberapa hari ini kalau pagi terlihat mendung. Ga terasa terik, tapi ga hujan juga. sangat enak buat nyepeda

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Jogja, ada beberapa rute yang menyenangkan. Salah satunya memang jalur ke Ancol ini, mas

      Hapus

Pages