Menjelajahi Sudut-Sudut Ruangan Monumen Pers Nasional - Nasirullah Sitam

Menjelajahi Sudut-Sudut Ruangan Monumen Pers Nasional

Share This
Berkunjung ke Monumen Pers Nasional
Berkunjung ke Monumen Pers Nasional
Ruangan demi ruangan kami masuki, ada banyak peninggalan yang mempunyai cerita sendiri-sendiri. Mulai dari berbagai majalah, hingga mesin ketik pada masanya. Semuanya tertata rapi di Monumen Pers Nasional yang berlokasi di Solo.

Pilihan yang tepat kami mengunjungi Monumen Pers Nasional, terlebih lokasinya terjangkau dari Sate Pak Manto. Kami berdua sengaja berjalan kaki menuju tempat tersebut. Kulirik di gawai, jarak yang kami tempuh tak lebih dari 700 meter.

Berlokasi di jalan Gajah Mada Surakarta, bangunan monumen ini terlihat megah. Dilansir dari literatur, gedung Monumen Pers Nasional ini memiliki sejarah panjang. Pada tahun 1918, gedung Monumen Pers Nasional didirikan dengan arsitek Mas Aboekasan Atmodirono atas arahan Raden Mas Soeparto.

Tampaknya di Monumen Pers Nasional sedang ada kegiatan Festival Pers 2023. Terdapat pajangan besar di pintu masuknya. Kami menaiki anak tangga, berjalan menuju bagian resepsionis untuk izin masuk. Sabtu menjelang siang pengunjung lumayan banyak.

“Silakan isi biodata di komputer, kak.”

Ada satu komputer yang digunakan untuk menulis tamu monumen. Pada dasarnya isian hanya nama lengkap email dan nomor telepon, untuk nomor telepon hanya opsional. Selesai menulis, kami diberikan kupon akses jaringan internet. Kami menolak kupon tersebut karena memang kunjungan ingin melihat koleksi saja.
Melihat denah Monumen Pers Nasional sebelum dan sesudah di renovasi
Melihat denah Monumen Pers Nasional sebelum dan sesudah di renovasi
Sebelum menyusuri sudut-sudut ruangan monumen, aku memastikan terlebih dahulu apakah di sini diperbolehkan mengambil foto dan merekam. Petugas resepsionis memperbolehkan. Kuucapkan terima kasih dan berlalu menuju deretan informasi di pajangan depannya.

Sebuah etalase panjang yang menyimpan berbagai gambar bangunan Monumen Pers Nasional sebelum dan sesudah direnovasi. Mulai dari ruang pameran hingga perpustakaan. Semua dokumentasi dibingkai dalam etalase tanpa narasi panjang. Cukup foto sebelum dan sesudah.

Dibaliknya, berbagai kliping surat kabar pada masa Belanda. Ada keterangan terkait surat kabar tersebut pada catatan pojok etalase. Salah satu yang kubaca surat kabar terbitan Batavia dengan tulisan besar Nederlandsch Indie. Di sini yang dipajang surat kabar berbahasa Belanda.

Konon, di sini pun ada koleksi koran tertua yang dimiliki oleh Monumen Pers Nasional. Nama korannya Hindia-Nederland. Koran yang terbit di Batavia ini mengulas berita tentang keadaan di Hindia Belanda maupun negeri Belanda. Tercatat koran tersebut terbit edisi 21/24 Mei 1873

Beranjak memasuki ruangan utama yang jauh lebih besar. Ruangan ini semacam tempat serbaguna dengan berbagai koleksi foto yang terpasang pada tiap dinding. Aku hanya memutar, lantas keluar dan menuju pintu kecil yang mengantarkanku ke ruangan-ruangan lainnya.
Infografis sejarah pembangunan Monumen Pers Nasional
Infografis sejarah pembangunan Monumen Pers Nasional
Di salah satu ruangan ini terlihat beberapa buku pada masa presiden Soeharto tertata rapi dalam etalase. Sementara itu di bagian dinding sebuah alur transformasi Monumen Pers Nasional dari awalnya Societeit Mangkoenegaran.

Kurun tahun 1956 hingga 1982 terdapat beberapa momentum penting sejarah berdirinya Museum Pers Nasional. Pada tahun 1956 tercetus ide mendirikan Yayasan Museumn Pers Nasional, berlanjut menentukan lokasi Solo sebagai tempat Monumen Pers Nasional pada tahun 1970.

Pada tahun 1971 diumumkan pembangunan Museum Pers Nasional, selang dua tahun kemudian terjadi perubahan nama dari Museum Pers Nasional menjadi Monumen Pers Nasional pada tahun 1973. Tanggal 20 Februari 1977 dibentuk panitia pembangunan Monumen Pers Nasional.

Presiden Soeharto meresmikan gedung Monumen Pers Nasional pada tahun 1978 setelah 20 tahun berjalan sejak pertama kali diusulkan pembangunannya. Selang setahun, gedung ini kembali dipugar. Serta tahun 1980, kembali ada perluasan di seluruh gedung Monumen Pers Nasional.

Tahun 1982 dibentuk pengurus harian Monumen Pers Nasional. Hingga sekarang, Monumen Pers Nasional masih bisa kita sambangi dengan berbagai sejarah panjang pembangunannya. Aku terus membaca sedikit informasi yang tertera. Selain Presiden Soeharto, di sini juga terlihat foto Pak Harmoko (Menteri Penerangan pada masa Soeharto).

Aku memasuki ruangan lebih kecil dan agak temaram. Pada seluruh dinding berkeliling biografi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenegara VII. Nama beliau adalah RM. Suparto yang merupakan putra Mangkunegara V.
Gramofon di sudut ruangan Monumen Pers Nasional
Gramofon di sudut ruangan Monumen Pers Nasional
Beliau merupakan sosok yang memerintahkan agar dibangunnya Monumen Pers Nasional. Hingga pada akhirnya Monumen Pers Nasional ini menjadi saksi lahirnya radio pribumi pertama yang menjadi cikal berdirinya Radio Republik Indonesia.

Selain menjadi cikal berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI), berjalannya waktu, Monumen Pers Nasional juga tak terlepas dari berdirinya organisasi Persatuan Wartawn Indonesia (PWI) pada tahun 1946. Jadi, jangan heran jika banyak benda ataupun peninggalan jurnalistik di monumen ini.

Di sudut ruangan ini pun ada sebuah Gramofon. Gramofon adalah sebuah mesin pada masanya berguna untuk merekam suara dan musik melalui piringan hitam. Selain biografi Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkoenegara VII, di sini juga ada sedikit biogfrafi Gusti Nurul.

Jika kalian pernah mengunjungi Museum Ullen Sentanu, pastinya tidak asing dengan Gusti Nurul. Di sana ada foto sewaktu Gusti Nurul menari sewaktu undangan pernikahan anaknya Ratu Wilhemina. Menariknya iringan gending musik tersebut langsung dari Pura Mangkunegara Surakarta yang dipancarkan ke Belanda menggunakan radio.

Ruang-ruangan ini disekat dan disesuaikan berdasarkan kategori koleksi. Tak jauh dari ruangan yang menceritakan sejarah pendirian Monumen Pers Nasional, terdapat satu ruangan yang berukuran luas tentang berbagai koleksi koran masa lampau.
Berbagai surat kabar cetak pada zaman Belanda
Berbagai surat kabar cetak pada zaman Belanda
Jika tidak keliru, ruangan ini menceritakan sejarah berdirinya organisasi Persatuan Wartawn Indonesia (PWI) tahun 1946. Sama halnya dengan dinding di setiap ruangan, jika kita baca searah dengan jarum jam, terdapat runtutan tahun dan peristiwa penting sejarah PWI.

Koran-koran yang dulu sempat eksis, sekarang mungkin tak semuanya bertahan. Era makin modern, transformasi digital secara perlahan menggerus surat kabar tercetak menjadi digital. Jika dulu hampir semua surat kabar mencetak ribuan eksemplar, kini harus berjuang dan tidak sedikit yang runtuh dan berganti media.

Soeara Merdeka, Sinar Harapan, Harian Rakjat, Kedaulatan Rakyat, dan masih banyak lagi koran-koran terbitan berbahasa Indonesia yang tersimpan di ruangan ini. Jauh sebelum berkunjung ke Monumen Pers Nasional, aku pernah melihat kliping surat kabar terbitan lama di Jogja Library Center. Pun dengan majalah-majalah terbitan lama.

Kami beranjak menuju gedung yang terpisah. Hanya dipisahkan dua pintu, di sini ada banyak koleksi peralatan jurnalistik. Di etalase sisi kanan merupakan kumpulan berbagai kamera pada masanya. Jenama seperti Yashica ataupun Nikon pun ada.

Sementara pada dinding sisi kiri semacam diorama peninggalan pada masa lampau yang tercetak di prasasti ataupun yang lainnya. Tertanda pada dinding tulisan Nilai Sosial Informasi Pra Sejarah dan Kolonialisme, pun tulisan Irama Membaca Fenomena Alam.

Informasi dan gambar di atas bersambung dengan lukisan sebuah kapal layar berbendera Belanda sedang mengarungi samudra, sementara bagian atas bergambarkan peta dunia terbitan lama dengan ejaan yang belum disempurnakan.

Deretan mesin ketik lama juga ditampilkan. Salah satu koleksi mesin ketik di sini adalah mesin ketik Bakrie Soeriatmadja. Sosok perintis pers Indonesia yang merupakan wartawan dan pimpinan redaksi koran Sipatahoenan berbahasa Sunda di Bandung.
Deretan mesin ketik kuno dalam etalase
Deretan mesin ketik kuno dalam etalase
Mesin ketik beliau berjenama Underwood yang diproduksi rentang tahun 1920 – 1927. Bakrie Soeriatmadja berjuang melalui tulisan-tulisan yang cukup berani pada masanya. Bahkan beliau pernah masuk penjara karena perjuangannya melalui tulisan. Beliau mendekam di penjara Sukamiskin selama tiga bulan di masa Belanda.

Pandanganku berhenti di sebuah bingkai besar yang menampilkan tiga benda berbeda dan terkait dalam jurnalistik. Sebuah mesin ketik, kamera kayu, dan sebuah monitor LED modern. Aku tidak tahu kenama tiga benda ini dijadikan dalam satu bingkai besar.

Terlepas dari apapun maksudnya, aku menyimpulkan sendiri ketiga benda ini saling berkaitan dalam sebuah jurnalistik. Meski benda-benda tersebut ada di masa yang berbeda, esensinya mereka tetap satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Perjuangan sebuah berita berasal dari tulisan yang disimbolkan dengan mesin ketik. Sebuah berita yang sebenarnya (fakta) harus didukung dengan dokumentasi berbentuk foto, ini yang disimbolkan dengan kamera kayu. Sementara monitor LED ini adalah media dalam menyebarkan. Seperti itu simpulanku saat melihatnya.

Benda-beda yang lain juga tersimpan di Monumen Pers Nasional. Seperti Kamera Wartawan Udin, hingga Baju Hendro Subroto. Semuanya sarat dengan sejarah terkait lika-liku pers di Indonesia. Mungkin, selain ini, masih ada banyak lagi yang lainnya.
Transformasi alat jurnalistik pada masanya
Transformasi alat jurnalistik pada masanya
Ruangan ini tak lengang, masih ada anak-anak yang berjalan santai melihat berbagai koleksi di Monumen Pers Nasional. Tidak sedikit dari mereka datang bersama orangtua. Bagi mahasiswa yang kuliah di Solo, Monumen Pers Nasional menjadi tempat menepi sembari mengerjakan tugas akhir ataupun tugas kampus.

Terdapat layanan umum yang bisa diakses para pelajar ataupun peneliti. Mereka dapat mengakses sesuai dengan jam layanan buka. Kita juga bisa mencetak materi yang kita butuhkan dari koleksi Monumen Pers Nasional. Di perpustakaannya terdapat lebih dari 13.000 eksemplar buku yang dapat diakses pengunjung.

Puas berkeliling, kami berdua kembali ke ruangan depan sebelum keluar. Kutanyai salah satu petugas Monumen Pers Nasional apakah ada leaflet yang bisa kubawa pulang. Hari ini keberuntunganku, masih ada satu leaflet yang tersisa. Aku ambil untuk referensi menulis blog tentang monumen ini.

Bagi sebagian besar orang, Monumen Pers Nasional hanyalah semacam museum yang belum tertarik untuk dikunjungi. Tapi, buat sebagian orang lagi, Monumen Pers Nasional adalah sebuah tempat yang wajid disambangi. Bisa untuk berlibur sekaligus belajar, atau menepi di sudut ruangan dan menyelesaikan tugas akhir kuliah. *Solo, 11 Februari 2023.

10 komentar:

  1. Abis baca postingan Om Sitam, saya jadi ikut mikir, kenapa tiga benda itu dalam satu frame ya? Selain apa yang disampaikan dalam blog, mungkin juga frame itu menggambarkan peralihan dari media cetak ke media elektronik. Heheheh. Jadi penasaran ruang umum di museum ini yang bisa dijadikan sebagai tempat mengerjakan tugas. Siapa tahu bisa jadi tempat menyepi menulis blog saat berkunjung ke Solo

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah itu juga memungkinkan, kang. Selalu menyenangkan berkunjung ke tempat-tempat seperti ini

      Hapus
  2. Sejarah yang begitu panjang ya
    koleksinya lengkap juga
    wah kalau bicara soal mesin ketik, saya masih menyimpannya
    mau dibuang sayang, tak dibuang buat apa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat koleksi saja, mas. Taruh di meja sepertinya menarik loh.

      Hapus
  3. Baca tentang pers dan koran jadi ingat koran de locomotive yang dulu populer pada masa kolonial hindia belanda. Kantornya ada di kawasan kotalama, kota semarang. Bekas gedungnya sekarang tidak terawat, ditumbuhi pohon. Kalau mas sitam tahu gedungnya itu lokasi dinding akar di kota lama.

    Artikel yang bagus mas sitam :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oalah yang dinding akar itu toh. Makasih sudah memberi tahu, mas. Duh pengen dolan ke kotalama semarang lagi buat keliling

      Hapus
  4. mesin ketik, aku pernah coba pake, nah kalau kamera kayu itu aku belum pernah merasakan menggunakannya.
    perkembangannya luar biasa ya, sekarang mau ngetik atau mau foto udah bisa pake HP ajaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mesin ketik pas zaman kecil sering kubuat mainan ahahhaha

      Hapus
  5. Aku memang suka museum mas, tapi sejujurnya hanya museum yg punya background bloody history , kayak museum korban Nazi, museum bom atom, museum s21 killing field, yg begitu2 sih 😅.

    Kalo museum kayak pers gini, mungkin bagusnya ada guide di dalam yg bisa menjelaskan detil. Krn kalo cuma dibaca, aku kuatirnya ngantuk, apalagi kalo puanjaaaaang banget penjelasannya, dan kecil2 pula hurupnya 🤣. Utk mataku yg minus, ini agak susah.


    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, aku malah suka begini mbak. Santei menikmai waktu sambil lihat-lihat. Biasanya aku minta leafletnya

      Hapus

Pages