Tetesan air hujan menghempaskan diri ke bumi (illus: sumber gambar) |
“Sampai kapan kamu
berhenti, Hujan?” Tanyaku gelisah.
Hujan… Hujan… Hujan…
Tetap saja dia datang setiap sore. Saat aku sedang ingin berangkat menuju
tempatnya. Heeemm, aku yakin kali ini
dia pasti sedang duduk terdiam didekat jendela seraya memperhatikan setiap tetesan air hujan. Dia pasti bilang “ Kenapa tetesanmu semakin deras? Aku ingin
kamu berhenti sebentar saja.”
Sepertinya hujan tidak
mendengarkan permohonanku, dia semakin asyik bercengkerama dengan tanah tandus,
tertawa-tawa melihat bebatuan seperti melepuh karena terlalu lama terkena terik
matahari. Hujan tampak begitu bergembira, dia begitu bersemangat menghempaskan
setiap tetesan air ini ke bumi. Dia benar-benar rindu dengan bumi, rindu dengan
bebatuan, pepohonan, rumput, dan dia rindu dengan segala yang ada dialam ini.
“Bisakah kamu berhenti
sebentar, Hujan?” Aku menatap penuh harap.
Genangan air hujan mulai
terbentuk bak sungai kecil yang
sedang mencari muara. Menyelusuri hamparan tanah, mengikuti tinggi rendah hamparan
tanah yang terbentang dihadapanku. Dia menikmati suasana ketika dirinya
menjelma menjadi sebuah sungai kecil untuk sementara waktu. Alirannya tetap
berjalan walau harus menerjang dedauan, menabrak kerikil-kerikil, atau harus
berjuang merayap karena tertahan sebuah gundukan tanah yang dibuat oleh Semut.
Untuk kesekian kalinya
aku terdiam, hati semakin gusar karena harus memikirkan dia yang tidak bisa aku
temui, ditambah dengan curahan hujan semakin deras. Benar-benar hujan deras.
Aku beranjak menuju teras rumah, tanganku menengadah mencoba menampung beberapa
tetesan hujan yang mengalir dari atas atap. Aku pandangi dengan tatapan penuh
harap.
“Berhentilah sebentar,
setelah aku sampai nanti kamu boleh turun lagi.” Pintaku pasrah.
Air hujan dikedua telapak
tanganku tersenyum. Dia bergerak-gerak mengikuti telapak tanganku. Dia terlihat
begitu riang, selalu saja sebuah raut yang bahagia terlihat dari tatapannya.
“Butuh lebih dari enam
bulan aku menunggu waktu untuk turun ke bumi. Dan sekarang ini adalah waktunya.
Kenapa kamu ingin menghalangiku? Kami memendam rasa rindu terlalu lama, ingin
bersua dengan teman dan saudara. Lihatlah mereka, tanah, rumput, hewan,
tumbuhan, lumut, bahkan manusia pun menungguku lama. Kamu tentu tahu bagaimana
rasa memendam rindu selama berbulan-bulan dan kali ini baru bisa bertemu.
Jangan kamu hancurkan suasana gembira kami ini,” Jawaban hujan terdengar
ditelingaku disertai hembusan angin yang mengilukan tulang.
Diam, tegang, terharu,
senang, dan ada rasa bersalah saat aku mendengar jawaban hujan kali ini. Aku
tidak bisa merasakan bagaimana perasaan dia menahan rindu selama enam bulan.
Tentu sangat rindu, aku yang baru dua bulan saja sudah seperti ini. Apalagi dia
yang sudah enam bulan? Aku kembali kedalam rumah dengan tersenyum.
“Hujanlah yang deras,
semoga kebahagiaanmu kali ini dapat menjadi obat saat kamu harus menahan rasa
rindu selama enam bulan kedepan.” *Yogyakarta,
15 November 2013.*
Baca juga postingan lainnya
wahhhh ceritanyaa rindu hujann :d , ane gak suka hujannn
BalasHapuswahhh kereeennnn
BalasHapusiyaa kereennn
BalasHapuswahhhh kereen yoo
BalasHapus