Cerita Rindunya Hujan - Nasirullah Sitam

Cerita Rindunya Hujan

Share This
Cerita Rindunya Hujan
Tetesan air hujan menghempaskan diri ke bumi (illus: sumber gambar)
“Sampai kapan kamu berhenti, Hujan?” Tanyaku gelisah.

Hujan… Hujan… Hujan… Tetap saja dia datang setiap sore. Saat aku sedang ingin berangkat menuju tempatnya. Heeemm, aku yakin kali ini dia pasti sedang duduk terdiam didekat jendela seraya memperhatikan setiap tetesan air hujan. Dia pasti bilang “ Kenapa tetesanmu semakin deras? Aku ingin kamu berhenti sebentar saja.”

Sepertinya hujan tidak mendengarkan permohonanku, dia semakin asyik bercengkerama dengan tanah tandus, tertawa-tawa melihat bebatuan seperti melepuh karena terlalu lama terkena terik matahari. Hujan tampak begitu bergembira, dia begitu bersemangat menghempaskan setiap tetesan air ini ke bumi. Dia benar-benar rindu dengan bumi, rindu dengan bebatuan, pepohonan, rumput, dan dia rindu dengan segala yang ada dialam ini.

“Bisakah kamu berhenti sebentar, Hujan?” Aku menatap penuh harap.

Genangan air hujan mulai terbentuk bak sungai kecil yang sedang mencari muara. Menyelusuri hamparan tanah, mengikuti tinggi rendah hamparan tanah yang terbentang dihadapanku. Dia menikmati suasana ketika dirinya menjelma menjadi sebuah sungai kecil untuk sementara waktu. Alirannya tetap berjalan walau harus menerjang dedauan, menabrak kerikil-kerikil, atau harus berjuang merayap karena tertahan sebuah gundukan tanah yang dibuat oleh Semut.

Untuk kesekian kalinya aku terdiam, hati semakin gusar karena harus memikirkan dia yang tidak bisa aku temui, ditambah dengan curahan hujan semakin deras. Benar-benar hujan deras. Aku beranjak menuju teras rumah, tanganku menengadah mencoba menampung beberapa tetesan hujan yang mengalir dari atas atap. Aku pandangi dengan tatapan penuh harap.

“Berhentilah sebentar, setelah aku sampai nanti kamu boleh turun lagi.” Pintaku pasrah.

Air hujan dikedua telapak tanganku tersenyum. Dia bergerak-gerak mengikuti telapak tanganku. Dia terlihat begitu riang, selalu saja sebuah raut yang bahagia terlihat dari tatapannya.

“Butuh lebih dari enam bulan aku menunggu waktu untuk turun ke bumi. Dan sekarang ini adalah waktunya. Kenapa kamu ingin menghalangiku? Kami memendam rasa rindu terlalu lama, ingin bersua dengan teman dan saudara. Lihatlah mereka, tanah, rumput, hewan, tumbuhan, lumut, bahkan manusia pun menungguku lama. Kamu tentu tahu bagaimana rasa memendam rindu selama berbulan-bulan dan kali ini baru bisa bertemu. Jangan kamu hancurkan suasana gembira kami ini,” Jawaban hujan terdengar ditelingaku disertai hembusan angin yang mengilukan tulang.

Diam, tegang, terharu, senang, dan ada rasa bersalah saat aku mendengar jawaban hujan kali ini. Aku tidak bisa merasakan bagaimana perasaan dia menahan rindu selama enam bulan. Tentu sangat rindu, aku yang baru dua bulan saja sudah seperti ini. Apalagi dia yang sudah enam bulan? Aku kembali kedalam rumah dengan tersenyum.

“Hujanlah yang deras, semoga kebahagiaanmu kali ini dapat menjadi obat saat kamu harus menahan rasa rindu selama enam bulan kedepan.” *Yogyakarta, 15 November 2013.*
Baca juga postingan lainnya 

4 komentar:

Pages