“Krreeekkk… Kreeeekkk… Kreeekkk” Waktu kecil kita tidak asing dengan bunyi tali ataupun karet
berbentuk seutas tali berdenyit saat menimba air dipagi hari. Sesekali
terdengar, suaray gemericik air yang tumpah dari dalam ember, karena timba
tersebut bergesekan dengan dinding-dinding sumur atau malah bersenggolan dengan
ember lainnya. Rutinitas kala pagi, saat kita mandi dan ingin berangkat sekolah
atau saat ingin mencuci.
Hampir di setiap rumah dalam sebuah
perkampungan, mereka mempunyai sumur sendiri. Jika dimusim hujan, jumlah air
pun melimpah ruah. Sehingga setiap sumur layaknya panen air, tidak terpikirkan
sedikitpun bagaimana rasanya berjuang mencari air. Namun, saat musim kemarau
tiba, sumur-sumur mulai mengering. Menimba air pun semakin dalam, dan tidak
kaget jika beberapa sumur tetangga mengering, kalaupun ada airnya, warnanya pun
tidak jernih.
Menimba Sumur menggunakan seutas tali atau karet |
Ya, sumur menjadi pemandangan yang
biasa dikala kita berada jauh dari perkotaan. Dan tentunya, menimba air adalah
rutinitas yang kita lakukan, kala kita ingin mengambil air dan mempergunakannya
untuk mandi, mencuci, atau lainnya. Jika aku tanya pada kalian dan diri ini
sendiri, “Kapan terakhir menimba air
dengan tangan dan seutas tali seperti ini?” Aku yakin, banyak di antara orang
akan lupa, kapan terakhir menimba air. Karena kita sudah dimudahkan dengan
mesin pompa air.
Melihat lebih jauh lagi, tidak jarang
kita melihat sebuah gentong yang berisi air penuh berada di samping sumur.
Sebuah periuk besar terbuat dari tanah dan mirip dengan Kendi, gentong ataupun
Pancuran yang dipergunakan oleh warga untuk berwudhu ini juga mulai langka.
Anggaplah kita sedang berjalan di sebuah desa, lalu menuju sebuah
masjid/mushola untuk menunaikan sholat (bagi muslim), apakah benda ini masih kita
temui? Tidak banyak tempat yang masih menggunakan pancuran/gentong seperti ini
untuk berwudhu. Hampir semua tempat menggunakan kolam besar atau kran air.
Gentong atau Pancurang yang biasa digunakan untuk berwudhu |
Jangan tanya kenapa aku menceritakan
dua gambar ini, lalu menulisnya dan seakan-akan gambar keduanya itu penting.
Ya, bagiku; ketika aku melihat sumur dan gentong besar untuk berwudhu ini
adalah sesuatu yang menyenangkan. Aku dapat mengingat masa-masa ketika masih
kecil, menikmati akibat kenakalan waktu masih kecil, dan dihukum ustad untuk
mengisi gentong yang dipergunakan oleh teman dan guru berwudhu ketika masih
sekolah Madrasah, TPA, atau saat mengaji di surau. Sebuah hukuman yang
menyenangkan bukan? Menimba air, mengisi gentong untuk wuhdu, dan tertawa
bareng ketika ada teman sepantaran yang melihat aku sedang dihukum. Sambil
terkekeh kadang bilang ke teman lain.
“Besok kita bikin kesalahan lagi, biar bisa main air sampai isya.”
Baca juga tulisan yang lainnya
Itu
Namanya Karma, Man!
gue jujur yah belum pernah menimba air disumur krn didaerah gue menimba air disumur tuh sesuatu yang jaraaanggg banget hehe
BalasHapusKamu sepertinya harus nyari sumur, lalu menikmati rasanya menimba air haaaa
HapusDulu masih ingat pas nimba..eh.. Ember nimbanya jatuh... Waduh repot untuk bisa ngambilnya...
BalasHapusAku juga perhan gitu, mas. Alhasil mengambil timbanya harus mengabaikan keselamatan haaaa
Hapusudah lamaaa banget, waktu masih SD kali ya? sekarang sudah ada pompa air sih :D
BalasHapusHeee, berarti sangat lama, mas :-D
Hapusterakhir kali SMA, walaupun sudah ada pompa air, jika listrik padam timba ini sering digunakan :D, untuk fotonya bikin sukses flash back lagi saat masih SD sering isi gentong untuk wudhu, masih teringat "aku sengaja mengisi gentong tersebut dengan beberapa ikan mujair untuk membunuh jentik-jentik nyamuk, sebenarnya aku lebih suka menimba sesekali untuk melatih otok tangan biar lebih kuat dan berotot dari pada harus nge-gym, tapi apa daya kemudahan pompa air membuat saya malas :D
BalasHapusHeee, sama, dulu banyak Ikan Mujair yang ditaruh dikolam :-D
Hapuswah tiap hari saya mas hehe...
BalasHapusWah seru dong, mas :-d
Hapus