Aliran Kali Adem yang mengalir melewati Desa Wisata Pancoh, Sleman |
Gunung Merapi terlihat jelas dari ujung jalan. Aku beserta sembilan teman blogger melanjutkan agenda menyusuri sungai kecil yang ada di Desa Wisata Pancoh. Menurut Pak Ngatijan kita nanti tidak akan basah-basahan, kecuali kami sendiri yang menghendaki untuk main air.
Rombongan ini mengikuti Pak Ngatijan beserta warga lainnya menuju sungai. Jalannya tidak besar, malah melewati samping rumah dan teras rumah warga. Sesekali kami menyapa ibu-ibu yang sedang sibuk di rumahnya. Plang petunjuk arah menuju sungai sudah ada, sehingga memudahkan bagi orang yang ingin ke sungai.
Puncak Gunung Merapi tampak jelas dari tepi jalan |
Kali Adem namanya, aliran dari Sungai Winongo ini melintasi desa wisata Pancoh, dan kemudian dijadikan salah satu wahana untuk bermain air. Sampai sungai, kami langsung menyusuri aliran air. Tidak dalam airnya, hanya setinggi betis orang dewasa. Air jernih ini terasa dingin.
Di tempat awal kami turun ke sungai, tampak bambu diikat dan dijadikan semacam pintu gerbang. Aku mengabadikannya, sementara teman-teman sudah menyusuri sungai kecil ini. Tak kulihat ada ikan, yang tampak adalah bebatuan berlumut.
“Ini panjang susur sungainya 400 meter mas.”
Mulai menyusuri sungai menuju embung pancoh |
Panjang juga sampai 400 meter, di ujung sana nanti kami akan mendapati sebuah embung dan lokasi mancakrida. Aku antusias sekali kali ini, bukan perkara aktifitasnya tapi ingin melihat embung yang diceritakan oleh bapak tadi. Sambil menyusuri sungai, aku masih berpikir keras embung apa yang ada di atas ini.
Sepanjang melangkah, tiap sisi sungai merupakan Kebun Salak. Jika dirasa bosan berjalan di dalam air, aku sesekali naik ke atas dan berjalan melalui jalan setapak yang menyibak antara pepohonan Salak.
Di tengah perjalanan, aku mendapati dua pondasi besar yang berada di tengah kebun Salak dan berada dua berjejeran pondasi di tepian aliran sungai. Kuamati pondasi ini, seperti penyanggah atau malah tembok pembatas wilayah.
Kutunggu warga yang memandu kami untuk memastikan perihal pondasi menjulang tinggi layaknya gerbang. Ada bekas besi yang menyanggah kedua penyanggah ini, kemudian disambung menggunakan bambu.
“Pak, pondasi apa ini ya?” Tanyaku penasaran.
Bapak pemandu yang di belakang menghela nafas. Beliau melihat ke arah temanku yang masih di belakang. Setelah beberapa teman berkumpul barulah beliau menjelaskan perihat bangunan ini.
Monthet, pondasi penyanggah jembatan untuk jalur rel kereta api pada masa Belanda |
“Ini yang tadi saya jelaskan. Namanya Monthet,”Terang bapak ke arah teman-teman.
Aji, Mas Halim, dan beberapa teman lainnya mangut-mangut. Sementara aku masih penasaran bercampur bingung.
“Memangnya ini apa pak?” Kembali aku bertanya.
Dari penjelasan bapak pemandu, aku sedikit paham mengenai bangunan pondasi besar di tengah kebun Salak ini. Monthet adalah sebutan untuk penyanggah jembatan yang digunakan untuk lintasan rel Kereta Api peninggalan masa Belanda. Penyanggah-penyanggah ini dulunya berjumlah enam, hanya saja yang lainnya sudah digempur warga untuk pertanian.
Pada masanya rel kereta api yang berada di atas monthet ini dipergunakan Kereta Api Belanda untuk mengangkut Tebu. Jika kita pernah membaca tulisan tentang Pabrik Gula di Jogja, tentu kita paham kenapa masa dulu banyak perkebunan Tebu di kawasan Jogja. Sayang bangunan ini tinggal dua penyanggah yang tersisa.
Kulewati Monthet tersebut, di sini airnya agak lebih dalam. Hampir sepinggang orang dewasa. Aku memijak bebatuan yang terlihat besar, harus hati-hati. Sebab, kalau asal menginjak nanti takutnya terpeleset.
Capek juga rasanya menyusuri aliran sungai ini. Mungkin kalau anak-anak yang ikut mancakrida pasti senang, karena mereka bisa sekalian basah-basahan. Jarak 400 meter menuju embung terasa sangat jauh. Terbesit untuk basah-basahan sekalian nanti tidak perlu mandi saat di penginapan, namun kutangguhkan. Aku tidak membawa tas untuk memasukkan kamera.
Masih menyusuri aliran Kali Adem |
Sayup-sayup terdengar suara teman berbincang. Aku mempercepat langkah, menuju sumber suara. Benar saja, embung yang disebutkan sejak awal ada di depanku. Hanya saja aku berada di bawah bendungannya. Teman yang berbincang tadi adalah Dwi & Rizka. Mereka berdua sudah sedari tadi sampai di sini berbarengan dengan Pak Ngatijan.
Embung Pancoh ini dibangun tahun 2011, sebelum dibangun di sini adalah sungai biasa. Luas keseluruhan embung sekitar 300meter/persegi dikelilingi patok (pal) semen berwarna putih dan biru. Aku berjalan mengelilingi embung ini. Di ujung terdapat tumpukan karung berisi tanah ditumpuk tepat di aliran deras air yang masuk ke dalam embung.
Embung Pancoh dibangun pada tahun 2011 |
Embung Pancoh ini diberdayakan warga setempat sebagai lokasi mancakrida. Di sini sudah ada bangunan untuk tempat berkumpul sebelum beraktifitas. Dua bus kecil sudah terparkir, sementara ada banyak anak-anak kecil berlarian ditemani guru dan Pokdarwis.
Pagi ini mereka akan menyusuri sungai dari arah yang berlawanan dengan yang kami lalui. Kalau kami melawan arah aliran, nantinya anak-anak ini mengikuti aliran air. Kulihat juga banyak pelampung tertumpuk, pelampung yang memberdayakan ban dalam mobil ini untuk mereka yang akan menyusuri sungai.
Sebelumnya mereka akan beraktifitas di sekitaran embung. Menurut Pak Ngatijan, anak-anak itu nantinya akan bermain seluncuran di ujung embung. Tempat di mana tadi aku merangkak naik ke embung.
Tanda arah tempat berkumpul para peserta outbond di Desa Wisata Pancoh |
Cukup sudah berjalanan menyusuri sungai, kami melangkah ke arah area parkir kendaraan menuju penginapan tempat kami beristirahat. Sepanjang perjalanan, banyak orang berlalu-lalang menuju embung. Akhir pekan digunakan anak-anak tersebut untuk main bersama.
Di sela-sela perjalanan, kami tidak hanya disuguhi Gunung Merapi yang menulang tinggi, namun ada banyak petakan sawah maupun sayuran. Di dekat embung, lahan tersebut untuk menanam Kubis. Di sudut lain, sebuah kolam ikan yang berada bersatu dengan kebun Salak. Bentuk yang hampir sama dengan membudidayakan ikan di sawah atau lebih dikenal dengan “minapadi”.
Lahan kosong dekat kebun salak diberdayakan menjadi kolam ikan |
Usai sudah agenda kami di Desa Wisata Pancoh. Kami sudah ditunggui perwakilan pokdarwis dari Desa Wisata Malangan. Masih ada beberapa desa wisata yang harus kami kunjungi. Ketika kami berkumpul di pendopo, di sana ternyata sudah berkumpul mahasiswa dari salah satu kampus di Jogja untuk outbond.
Kami meminta ijin kepada perwakilan Pokdarwis Desa Wisata Pancoh untuk meninggalkan desa ini, menuju desa wisata lain yang sudah menantikan kedatangan kami bersepuluh. *Rangkaian kegiatan Travel Blogger Explore Desa Wisata Jogja (Hastag #EksplorDeswitaJogja) dipersembahkan oleh Forkom Desa Wisata Yogyakarta 24 - 26 Februari 2017.
Desa Ekowisata Pancoh
Alamat: Pancoh, Girikerto, Turi Sleman
Narahubung: 081-802-652-540 (Pak Ngatijan)/ 081-328-002-856 (Menuk)
Sosial Media: @Desaekowisatapancoh (IG)/ Desa Ekowisata Pancoh (FB)
Susur sungai tp bukan tubing, baru kali ini denger :D
BalasHapusSemacam outbound pramuka, dulu sering ikut hehe
Seru, yg basah paling cuma celana
Di sini sebenarnya ada tubingnya tapi di embung mas. Kalau tubing di sungai ini terlalu dangkal airnya. Hanya beberapa titik yang dalam.
HapusKirain susur sungainya bakal sebentar gitu, ternyata lumayan memakan waktu lamaa wkwk untunge Pak Wiji sabar nungguin :p
BalasHapusKalau ke Pancoh lagi, pas panen ikan sama salak kayanya menarik mas :D
Buahahahha ternyata yang bilang jauh nggak cuma aku
HapusAish mas, outbondnya kok menarik yaaa.. Jd pgn jg aku ngerasain main perosotannya :D. Trs liat kolam ikan begitu, duuh bikin pgn ditangkap :p
BalasHapusHahahahha, kalau perosotan aku suka walau nanti risikonya celana sobek
Hapusitu ikan-ikan apa yaa...kok tampak demikian menggoda besarnya
BalasHapusIkan emas kali mak. hahahahhaha
HapusSuka banget sama sungainya masih bersih dan hijau, semoga selalu begitu, beda sama sungai ciliwung di tempat ku, udah rusak
BalasHapusPada masanya Ciliwung itu sungai yang indah mbak :-D
Hapusaku kkn dulu di deket-deket situ. desa wisata juga. punya sungai juga. kayaknya daerah situ emang banyak desa wisata bersungai hehehe. jd kalo abis aktivitas pengabdian suka diajak anak2 dan remaja desa buat susur sungai...tp main aer mah ga bisa bikin bosen ya :D
BalasHapusIya mbak, desa wisata lain seperti Pentingsari pun juga mengandalkan sungai :-D
HapusSungainya masih jernih begitu ya, sampai bebatuan didalamnya kelihatan haha
BalasHapusIni karena sungainya dangkal kok :-)
HapusGunung Merapinya gagah perkasa begitu yah. Saya pernah lewat suatu jalan desa malam-malam naik mobil (judulnya tersesat sih hehe).
BalasHapusNah tapi kelihatan siluet gunung, ternyata kami berada di kaki Merapi. Wuah keren!
Bagus dan tertata rapi tempatnya :) kalau begini siapapun bakal betah. Indonesia mah yang kaya begini buanyak banget, tapi kadnag kurang perawatan. Semoga terus terawat~~~
Hahahahaha
HapusPernah tersesat di daerah atas toh. Makin seru dong mbak kalau tersesat :-D
wah sekarang susur sungai sudah dikomersilkan ... hebat, seharusnya potensi2 daerah di optimalkan seperti ini. umumnya kampung2 wisata di daerah jogja lebih maju daripada yang di jabar.
BalasHapusPokdarwis tiap desa wisata benar-benar harus bekerja keras agar bisa menjadi lebih baik, kang.
HapusMirip diklat paskibra ya mas susur sungainya, eheheh.
BalasHapusEh btw,embungnya memang ngga begitu besar ya mas
Hehehheeh agendanya memang seperti itu mbak. Seru juga sih bisa main air walau nggak renang di sana. Dingin airnya hahahhaha
HapusKeren banget Mas tempatnya...
BalasHapusJustru suasana seperti inilah yang dirindukan orang-orang kota...
Tempat sejuk dan asri...
Salam,
Salam mas.
HapusBenar mas, tempat yang seperti ini sering dirindukan oleh orang-orang yang sibuk :-)
tempatnya rekomen gak mas buat acara-acara kayak gathering, reuni dan sejenisnya? hehe
BalasHapusRekomen sih mbak, untuk mahasiswa loh ya. Kalau untuk keluarga kayaknya kurang pas. Lebih pas lagi buat anak-anak sekolah
Hapus