Mencatat hasil timbangan ikan di Pasar Ikan Brondong, Lamongan |
Pasar ikan yang berada di kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Brondong ramai. Geliat para penampung ikan selaras dengan senyuman yang tersungging di wajahnya. Para nelayan berkumpul menjadi satu, mengamati angka hasil timbangan ikan yang didapatkan selama melaut.
Jalan kecil kususuri. Bau amis ikan bercium kala mendekat ke pasar ikan. Para pedagang menata ikan jualannya agar menarik perhatian calon pembeli. Kutinggalkan teman rombongan di ujung jalan. Naluriku mengajak untuk menyusuri keriuhan pasar ikan. Menenteng kamera, mengabadikan keramaian di TPI Brondong.
Motor roda tiga, becak, dan sepeda motor saling berpapasan. Berbagi jalan di tanah liat yang bergelombang. Orang-orang sibuk, ada yang mengangkat ember, tong ukuran tanggung wadah ikan, ada pula yang menanti tumpangan dari pembeli. Suasana pasar menjelang siang cukup riuh.
Keramaian di kawasan Pelabuhan Brondong, Lamongan |
Sesekali aku berhenti, melihat kesibukan orang di pasar. Tanah sedikit tergenang, bau amis makin menyeruak. Genangan air mengalir menyesap di antara tanah liat. Beruntung aku sudah terbiasa dengan bau seperti ini. Berbagai jenis ikan segar digotong nelayan, dikumpulkan menjadi satu, lalu ditimbang.
Ikan, Cumi, Udang menyatu; tertumpuk pada ember-ember besar berisi air. Riuh sekali siang ini. Aku menepi, melihat sisi lain. Dua orang ibu paruh baya pun membuka lapak kecil beralaskan plastik. Beliau menunggu calon pembeli dengan sabar.
“Ikan mas! Silakan dipilih.”
Ibu-ibu paruh baya menjual hasil laut dari nelayan |
Aku menggeleng sembari tersenyum. Tujuanku ke sini bukan untuk membeli ikan, hanya ingin mengabadikan pelabuhan yang ada di TPI Brondong. Lucu memang kalau dipikir, tidak sengaja singgah di TPI Brondong, lalu sedikit berlari menuju TPI untuk mengabadikannya.
Pelabuhan di TPI Brondong tidak terlalu ramai. Kapal yang bersandar bisa dihitung dengan jari. Para nelayan sibuk memasukkan ikan hasil tangkapan ke dalam tong besar berwarna biru. Mereka saling berbincang; bisa jadi membicarakan hasil tangkapan yang mereka dapatkan hari ini.
Aku sudah berdiri di pelabuhan Brondong. Pelabuhan yang menarik perhatianku kala singgah di dekat sini. Jauh di depan sana, samudra lepas terbentang luas. Tak ada riak gelombang, tenang, namun tetap menghanyutkan. Garis imajiner menjadi pembatas, seakan-akan menjadi sekat batasan antara langit dan samudra.
*****
Monumen tenggelamnya kapal Van der Wijck
Tanggal 20 Oktober 1936 pelabuhan Brondong ramai melebihi kegiatan sehari-hari. Sebuah kapal besar bernamakan Van der Wijck tenggelam di di Laut Jawa. Jarak dari daratan sekitar 22 mil dari Surabaya. Kapal ini berencana menuju Jakarta.
Kapal bermuatan kayu dan penumpang ini karam; terdata sekitar 250 penumpang yang ada di dalam tragedi kapal tersebut. Sebanyak 153 penumpang di antaranya selamat. Tugu yang memperingati tenggelamnya kapal Van der Wijck dibangun di dekat pelabuhan Brondong. Di sana terdapat tulisan ucapan terima kasih kepada para penolong sewaktu tenggelamnya kapal Van der Wijck.
Tentu banyak orang yang tahu, tenggelamnya kapal Van der Wijck ini pernah dijadikan sebuah novel oleh Buya Hamka dengan judul yang sama tahun 1938. Novel ini menjadi polemik tersendiri kala dianggap sebagai novel sanduran dari novel karya Alphonse Karr (Prancis) yang berjudul Sous les Tilleuls (Di Bawah Pohon Tilia). Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa novel tersebut plagiat dari novel Magdalena karya Mustofa Luthfi Al-Manfaluthi (1876).
Aku tidak akan bercerita panjang tentang tenggelamnya kapal Van der Wijck. Ulasan di atas hanya ingin mengingatkan kembali bahwa tempat ini pernah menjadi salah satu lokasi saksi dari peristiwa tersebut. Selepas dari pelabuhan Brondong, aku balik ke parkiran mobil. Menyusul teman rombongan yang sedari tadi mencari-cari keberadaanku.
Mobil yang kami naiki terpakir di halaman depan Kantor Koordinator Penyuluhan Kelautan dan Perikanan Regional III. Teman-teman langsung menuju tugu menjulang di sisi kanan kantor. Sebuah monumen bercat putih berdiri, di depannya dikelilingi pot permanen. Bungan dan rumpul liar sudah tampak tak terawat.
Perum Perindo Cabang Brondong, Lamongan |
“Tugu ini yang kucari-cari,” Celetuk Alid sembari turun dari mobil.
“Maksudnya?” Teman-teman lain pun kebingungan.
“Pokoknya ikut saja,” Jawabnya cepat.
Awalnya tidak ada rencana berhenti di sini. Sewaktu perjalanan menuju pantai Kutang, tiba-tiba salah satu di antara kami ada yang membaca plang bertuliskan “Monumen Van der Wijck”. Sontak Alid berteriak agar mobil yang kami kendarai memutar balik. Melihat mobil kami berbalik arah, satu mobil yang di belakang kami (satu rombongan) pun ikut berbalik arah.
Kami lantas paham dengan ucapan Alid. Nyatanya di sinilah sebuah monumen bersejarah itu dibangun. Monumen yang mungkin bagi sebagian orang hanya bangunan menjulang tidak terlalu tinggi yang tak tahu apa artinya.
Monumen tenggelamnya kapal Van der Wijck di Lamongan |
Di atas tadi sedikit kusinggung tentang sebuah tugu/monumen penghargaan kepada para penolong penumpang tenggelamnya kapal Van der Wijck. Nyatanya ucapan itu tak hanya berbentuk kata-kata. Bahkan secara khusus dibuatkan monumen untuk mengenang para nelayan yang secara heroik menyelamatkan penumpang.
Tak sempat kukelilingi monumen ini, aku hanya menatap dari depan. Tidak jauh di sampingnya terdapat tower yang menjulang jauh lebih tinggi. Satu kalimat yang sempat kuabadikan di sini bertuliskan seperti ini.
Tulisan yang ada di monumen Van der Wijck Lamongan |
“Tanda-Peringatan kapada penoeloeng-penoeloeng waktoe tenggelamnja kapal 'Van Der Wijck' DDO. 19-20 October 1936"
Dari beberapa tulisan yang kudapatkan, sebenarnya ada tulisan lagi di sisi lain. Hanya saja aku tak sempat mengelilingi dan mengabadikannya. Tidak lama kami di sini, puas mengabadikan monumen, kami lanjutkan perjalanan menuju pantai Kutang, Lamongan.
Ada harapan tersirat di sini, semoga monumen ini tetap terjaga dengan baik. Sehingga banyak orang yang mengetahui keberadaannya. Setidaknya monumen ini adalah bukti sejarah bahwa pernah ada nelayan-nelayan yang heroik menyelamatkan para penumpang kapal Van der Wijck pada masanya. *Sabtu, 23 Desember 2017.
baca tulisan ini aku jadi pengen nulis juga nih tentang TPI di lombok timur yang aktor utama nya ikan hiu dan ikan pari...
BalasHapusBisa ditulis mas. Bagus loh hehhehehhe
HapusWah, van der Wijck. Semoga bisa menyambangi monumennya suatu hari nanti. Tapi kenapa ditulisnya dalam bahasa Indonesia ya Mas, padahal kejadiannya tahun 1936.
BalasHapusPasar ikan menurut saya adalah salah satu pasar yang hidup. Saya penasaran dengan mekanisme lelang ikan di sana, maklum saya sebelumnya belum pernah lihat lelang hasil tangkapan ikan. Membeli satu-dua hasil laut boleh juga, terus sampai rumah bikin ikan bakar...
Nah pikiranku tidak sampai sedalam itu mas. Mungkin nanti mas Gara kalau singgah ke sini bisa sekalian mendalami, kenapa penggunaannya bahasa Indonesia/
HapusHmm harusnya borong udang atau cumi, kan pas ada kokinya bekal makan siang wkwkw
BalasHapusEh, kaya judul film yang belum sempat kutonton hehe. Monumen-monumen bercat putih biasanya jadi sasaran vandal. huhu. semoga terus terjaga.
Waktu ini kami belum ketemu Aqied. Dia masih di Tuban
HapusKl denger "tenggelamnya kapal van der wijck" langsung keinget hayati dan zainudin, wkwkwk
BalasHapusDududu, nggak kebayang kl aku main ke TPI, nyesek mas! Liat cumi, udang, ikan segar tp ku alergi makan itu semua :( *lah ini kebiasaan malah curhat😂
Kusudah paham kalau bayanganmu malah fokus ke lain *eh
HapusKalo ga salah ini pelabuhan yg namanya mencuat belakangan ini karena penjaraha bangkao kapal di laut jawa kan?
BalasHapusYang diulas trito kah? Hahahhahaha
Hapusaku lama gak ke sini klo ke sunan drajat mesti mampir
BalasHapusah pengen borong ikan2 sama cumi...
Banyak yang seger-seger mas di sini.
HapusAku gak asing sama pelelangan ikan ini, tapi gak pernah masuk. Hahaha.
BalasHapusDulu pas masih SMA pernah makan-makan bareng temen, beli ikan di sini terus dibakar di rumah. Wkwkwk
Cedak omahmu po iki, Lant? Hahhahahah
HapusNama pelabuhannya unik banget ya 😁
BalasHapusPelabuhan ini selamanya akan muda terus kayak brondong ...
Ngga tau-tua 😃
Ahahahha bisa saja mas :-D
HapusHahahaha 😂
HapusPastii yang pada beli ikan di pelabuhan brondong ... slamanya akan tetep jadi brondong 😉
Mau akh blanja ikan disitu ...
Buahahahah, selamat berbelanja ikan mas
Hapussaya pernah dengar - bukan baca :) - ada novel tenggelamnya kapal Van der Wijck ... tenyata terjadi di daerah Lamongan. Kalau Lamongan saya sih keingetnya soto lamongan :)
BalasHapusLamongan ada banyak destinasi wisatanya juga kang
HapusOh kalau ga salah ada film atau bukunya gitu tentang tenggelamnya kapal Van der Wijck, jadi membayangkan kilas balik ke tahun 1936 dengan melihat ejaan tempo dulu pada tugu
BalasHapusIya mbak, ada filmnya hehehehhe
Hapussha tuh merinding kalau liat monumen dengan tulisan simple kaya gitu. Tapi, makna nya dalam. Apalagi ditujukan kepada penolong2nya. Karena di kita, kebanyakan monumen itu peringatan untuk yang meninggal, peringatan untuk tragedi yang mengerikan dengan jumlah korban sekian. Jarang melihat hal positif dan kebaikan2 di dalamnya :)
BalasHapusBenar teh, jadi lebih bermakna dan tak terlupakan oleh waktu
HapusSaya tertarik dengan pelelangan ikannya
BalasHapusseru ya, bisa melihat langsung geliat kehidupan nelayan dan pencari ikan, apalagi di pasar tradisionalnya langsung
Daeng kan sekarang di Papua, siapa tahu dekat arah pantai. Pasti di sana jauh melimpah daeng :-)
Hapusbang Nasr, di di TPI brondong apa banyak ikan marlin bang
BalasHapusKurang tahu bang, rata-rata kalau di tempat pelelangan ikan itu biasanya ada, biarpun tidak banyak
Hapus