Langkah Kaki Berhenti di Kelenteng Cu An Kiong - Nasirullah Sitam

Langkah Kaki Berhenti di Kelenteng Cu An Kiong

Share This
Gapura masuk kelenteng Cu An Kiong
Gapura masuk kelenteng Cu An Kiong
Kelenteng yang sedari dulu ingin aku kunjungi sudah di depan mata. Lokasinya berdekatan dengan Lawang Ombo. Tinggal jalan kaki tak lebih dari 200 meter. Cat gapura sudah menua, kontras dengan warna merah pada pagar besi yang di sampingnya. 

Cu An Kiong, salah satu kelenteng yang ada di Lasem. Kelenteng ini ada yang menuliskan dengan nama Cu An Kiong ataupun Cu Ang Kiong. Seperti di tempat yang lain, Cu An Kiong pun menjadi destinasi tujuan wisatawan, khususnya mereka yang menggeluti tema heritage. 

Langkahku terhenti di depan gapura. Sejenak mundur, lantas mengambil gambar dari halaman. Tepat di pintu gerbang, dua lelaki dewasa sedang istirahat. Sepertinya kedua orang ini sedang melakukan pemugaran warna pada pagar, gapura dan dua patung singa di depan. 

Perkakas seperti kuas cat, ember, serta mesin kompresor tersebar di dekat pagar. Mereka berdua sedang bersantai di salah satu sisi gapura. Bisa jadi panas pada siang membuat mereka istirahat lebih awal. Aku menyapa beliau sembari lewat di sampingnya. 
Kelenteng Cu An Kiong dari halaman
Kelenteng Cu An Kiong dari halaman
“Masuk saja mas. Itu di dalam ada tiga wisatawan,” Ujar salah satu lelaki. 

“Iya pak, terima kasih. Saya motret dari luar saja.” 

Kulongokkan kepala dari sela-sela pintu luar yang terlihat bagian dalam. Di dalam ada empat orang. Salah satunya pasti pemandu. Sementara dua perempuan dan satu pria lebih tua terus seksama mendengarkan informasi dari bapak yang bercelana pendek. 

Sengaja aku tidak masuk, aku tidak mau mengusik keseriusan tiga orang yang di dalam. Selain itu, aku juga takut malah kehadiranku sedikit mengganggu mereka. Seperti pada kelenteng sebelumnya, aku di sini hanya memotret dari luar kelenteng. 

Pagi sebelum mengunjungi tempat ini, aku sudah terlebih dahulu mendatangi Kelenteng Poo An Bio. Menyusuri jalan-jalan di Kampung Karangturi yang menarik diabadikan, serta melihat aktivitas warga setiap pagi. 
Wisatawan yang mengunjungi keletneng
Wisatawan yang mengunjungi keletneng

***** 

Sejak dulu, Lasem memang menjadi tujuan wisatawan. Berbagai sudut bangunan layak diabadikan. Meski lingkup wilayah yang tidak terlalu luas, Lasem memikat daya tarik wisatawan dengan sebutan “Little Tiongkok”. Di sana terdapat tiga kelenteng dan dua Vihara. Kelenteng Cu An Kiong, Kelenteng Poo An Bio, Kelenteng Gie Yong Bio, Vihara Karuna Dharma, dan Vihara Maha Karuna. 

Tak ada yang bisa ditulis secara detail kapan waktu pembangunan kelenteng ini. Catatan-catatan peradaban masa lampau sulit ditemukan. Sumber yang beredar dikutip dari Wikipedia ada catatan pembangunannya pada tahun 1477 Masehi. Serta pada tahun 1838 kelenteng dipugar dan ditinggikan karena sering terkena banjir. 

Secara tersirat dari sejarah masa lampau, Lasem adalah tempat di mana toleransi terjaga antara pendatang dengan warga setempat. Pun catatan masa lampau yang menerangkan bahwa aroma Tiongkok begitu kental di tempat ini. Orang-orang dengan mudah menemukan ornamen Cina pada bangunan di setiap sudut. 

Kedatangan orang China ke nusantara pada masa lampau adalah mereka yang berdagang. Mereka (pedagang) mengunjungi pelabuhan-pelabuhan yang ada pantai utara Jawa. Lantas di antara mereka ada yang menikah dengan warga setempat. Kedatangan mereka (Orang China) diperkuat dengan catatan pelayaran Laksamana Cheng Ho. 

Di Lasem, warga setempat pun menghargai budaya yang diterapkan masyarakat China. Interaksi keduanya tetap harmonis pada abad 14-16, meski di beberapa kesempatan mengalami pasang-surut. Namun tetap toleransi dan harmonisasi terjaga. Kekompakan mereka (Masyarakat Lasem & China) terbukti pada saat mengusir Belanda pada tahun 1717-1726 masa Amangkurat IV. Hingga berlanjut di tahun-tahun setelah itu. 

Pernah tercatat pada tahun 2012, di Lasem ada perayaan kirab budaya Mak Co Thian Siang Si Bo pada tanggal 21-22 April 2012. Kirab ini menjadi salah satu usaha para generasi muda Tiongkok di Lasem untuk menunjukkan peran dan identitas sosialnya. 

Kini, Lasem yang meninggalkan banyak sejarah panjang sejak masa Majapahit hingga penjajahan VOC sudah tenang. Kehidupan masyarakatnya mencerminkan nilai keharmonisan dalam bingkai pluralism. 

***** 
Salah satu yang terabadikan dari luar kelenteng
Salah satu yang terabadikan dari luar kelenteng
Kuseka keringat sembari duduk di teras kelenteng. Aku terdiam menikmati terik panas siang. Perjalanan belum tuntas, sore nanti aku ingin melihat keramaian masyarakat desa Dasun yang menyelenggarakan Grebeg Dumbeg Lasem

Saat itu juga kusempatkan memotret sudut kelenteng. Ornamen dengan corak merah kombinasi kuning menjadi khas bangunan kelenteng di semua tempat. Sempat tertangkap bidikanku juga ornamen menggambarkan dua sosok bersampingan dengan jubah berbeda warna. 

Seperti orang yang tak ada kerjaan. Sempat-sempatnya aku menghitung lampion yang bergantungan tiga baris di teras. Pikiranku teringat menjelang Imlek. Biasanya kelenteng bersolek. Ada banyak lampion tambahan yang bergantungan sehingga terlihat makin semarak dalam penyambutan. 
Lampion-lampion terlihat semarak
Lampion-lampion terlihat semarak
Kelenteng memang menjadi tempat ibadah, namun sekarang hampir di semua kelenteng dikunjungi orang yang ingin berwisata. Sebagaimana kelenteng Sam Poo Kong di Semarang atau kelenteng Kwang Sing Bio di Tuban. 

Satu jam lebih aku di kelenteng ini. Di dalam masih ada tiga pengunjung yang ditemani pemandu. Sementara aku malah asyik berbincang dengan dua lelaki yang bekerja mengecat. Perjalanan kecil ini menjadi sebuah pengalaman yang menarik aku ceritakan. * Kelenteng Cu An Kiong, 18 November 2017.

32 komentar:

  1. Balasan
    1. Malah kekinian, dan masih ada unsur merahnya heheheheh

      Hapus
  2. Lasem ini mungkin kalau nggak baca-baca dari banyak tulisan para travel blogger, aku mungkin nggak tahu kalau dulunya termasuk pelabuhan besar. Jejak-jejak sejarah China emang kentel banget untuk daerah Lasem, Tuban, dan sekitarnya. Bangunan-bangunan lawasnya juga masih ada.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lasem itu menggoda bagi yang ingin tahu seluk beluk sejarah kedatangan orang manca dan menetap di sini.

      Hapus
  3. tempat ibadah sekaligus tempat wisata :)

    BalasHapus
  4. setiap kali liat bahkanmasuk ke Kelenteng selalu terpincut dengan lampion-lampionnya yang indah dan ngga pernah ngga ada di manapun kelenteng berdiri, demikian juga lampion yang ada di kelenteng Cu An Kiong, indah banget....andai bisa tak copet satu atau dua ajah....bahagia rasanyadeh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lampion di setiap kelenteng memang bagus-bagus dan menarik

      Hapus
  5. Balasan
    1. Kebiasaan saya nulis setelah lama ke sana. Jarang nulis langsung

      Hapus
  6. Kamu ngomongin apa sama tukang cat?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ngomongin kamu kalau kamu nggak mau diajak ngetrip bareng *eh

      Hapus
  7. Sampai sekarang sama sekali belum menjelajah Lasem. Sekadar lewat saja. Memang kalau tidak diniatkan ya tidak akan jalan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kudu mampir mas, tenan rak rugi pokok e yen mampir neng Lasem

      Hapus
  8. Kalau saya amati memang bener sih, pada umumnya kelenteng jadi tujuan wisata bagi pemeluk agama lain.

    ini bener kurang kerjaan, ngitung jumlah lampion, hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang rata-rata sekarang jadi destinasi wisata.
      Namanya juga kurang kerjaan :-(

      Hapus
  9. klenteng apalagi menjelang imlek pasti banyak berhias ... jadi makin photoable.. banyak spot2 yang kece

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar kang, rata-rata meriah dan bagus buat diabadikan

      Hapus
  10. Sejak dulu pengen ke kelenteng, manapun, tapi belum pernah kesampaian. Huhu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehehehe, banyak di Jawa, Kalimantan, dan Sumatera hahahahahah.

      Hapus
  11. Selalu terpesona setiap kali membaca jejak peninggalan sejarah yang pernah mampir di nusantara. Memang sudah ditakdirkan Indonesia itu campuran dari berbagai budaya yang unik dan saling menjagq. Mksh utk sharingnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar, setiap yang ada di manapun itu sebenarnya memang sudah ditakdirkan ke sana; hanya caranya yang berbeda-beda

      Hapus
  12. Wih, bisa ya mas kamu gak masuk ke dalam.


    Dari dulu memang pengen ke Lasem dan belajar tentang pluralisme di sana. Selalu senang bisa melihat perpaduan budaya di satu daerah :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya ngebet pengen masuk, tapi pas lihat tiga pengunjung yang khusyuk mendengar cerita dari pemandu kok rasanya nggak tega buat mengganggu :-D

      Hapus
  13. Ahahaha,, kok ya sempet ngitungin jumlah lampion.
    Aku pas ke klenteng Cu An Kiong terpesona sama detail lukisan di bangunan-bangunannya, termasuk lukisan 2 orang di pintu kayu itu. Masih cakep aja dan terawat. Keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu bukti aku benar-benar lagi selo banget. Semoga tetap terawat :-)

      Hapus
  14. Yang di suka di setiap klenteng itu kalau aku dari desain bangunannya, unik gitu pas untuk foto-foto.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang kelenteng itu setiap sudutnya menarik diabadikan, terlebih warnanya mencolok.

      Hapus
  15. jujur aja, dulu sha gak tau lasem. Hahahaha baru tau pas lihat mbak imama dkk trip. Atau ini juga dari trip itu bukan sih? wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beda hehehhe, ini sengaja main ke sini terus ketemu sama teman-teman blogger Jateng :-)

      Hapus
  16. Kelenteng adalah salah satu spot favorit saya, Mas.
    Soalnya suka menemukan banyak objek foto yang menarik.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mas, sekarang kelenteng menjadi tujuan wisata; dan kita tetap harus bisa menahan diri kala ada yang sedang beribadah

      Hapus

Pages