Menjajal Trek Palintang Uphill Challenge Menggunakan Sepeda Lipat - Nasirullah Sitam

Menjajal Trek Palintang Uphill Challenge Menggunakan Sepeda Lipat

Share This
Persiapan start di halaman Superindo Ujungberung
Persiapan start di halaman Superindo Ujungberung
Sabtu malam yang tidak terduga. Aku bersama rombongan dari Jogja dan kawan dari KKSS Papua Barat berteduh di teras warung lesehan menanti hujan reda. Seketika jalan di Ujungberung banjir dadakan. Sebuah tanggul jebol dari arah atas. 

Kugamit kamera, sesekali memotret pemandangan yang langka (bagiku). Terbesit pertanyaan gusar, bagaimana teman-teman panitia Palintang Uphill Challenge bekerja saat kondisi seperti ini? Besok pagi agenda sebenarnya baru dimulai. Bersepeda menyusuri rute Palintang menuju Bukit Tunggul. 

Penuh perjuangan panjang sampai akhirnya kami sampai di penginapan. Badan basah kuyup, bahkan ada tragedi dua teman perempuan (Andar & Lavienz) terjerembab di selokan dengan air sedalam dada. Alhasil, malam ini satu gawai mati, semoga bisa kembali normal. 

*****

Satu persatu pesepeda berdatangan, mereka berkumpul di halaman depan Superindo Ujungberung. Tempatnya tidak jauh dari Alun-alun Ujungberung. Hilir-mudik pesepeda Bandung bersua dengan kawan, maupun berkenalan dengan teman baru. 

Kami bertiga (Aku, Andar, dan Lavienz) tak mau ketinggalan. Menyapa rombongan dari Jogja yang lainnya. Kemudian asyik mengabadikan momen. Keberadaan tiga sepeda lipat ini menjadi unik bagi sebagian pesepeda. Konon rute yang kami lintasi adalah Palintang. Rute penuh tanjakan dan direkomendasikan menggunakan sepeda Mountain Bike

“Ada temannya juga. Hayuk kita foto bareng,” Pinta seorang bapak yang juga menggunakan sepeda lipat. 
Foto bareng rombongan sepeda lipat
Foto bareng rombongan sepeda lipat
Kami foto berempat, bahkan beliau mengira aku dan dua teman ini adalah bagian dari Bandung Foldingbike, dan ingin berencana mengirimkan foto tersebut di WAG-nya. Tatkala kami jawab dari Jogja, beliau sontak lebih sumringah 

“Tanda-tanda kita bakal dievakuasi duluan,” Candaku. 

Sebelum ini, aku tidak pernah mencari informasi tentang Palintang. Desas-desus dari kawan berujar bahwa jalur Palintang dikenal sebagai tempat latihan para atlit sepeda di Bandung. Ini artinya bakal ada kejutan sebagai bonusnya. 

Palintang Uphill Challenge 2019 sendiri baru kali pertama digelar. Kang Yoeda selaku panitia berusaha merangkul tiap elemen pesepeda di Bandung Timur dan sekitarnya untuk bersepeda bersama-sama. Bagi yang belum tahu Kang Yoeda, beliau adalah mekanik Pejantang (Penikmat Jalan dan Tanjakan), lokasi bengkelnya di dekat RSUD Ujungberung. Kami saling kenal berkat Bu Nurhastuti yang saat ada event Le Tour De Jogja, kali itu aku diminta menunggu rombongan dari Bandung. 

Jarak rute yang ditempuh tidaklah jauh, sekitar 15 KM. Namun tanjakan demi tanjakan yang menanti juga berbagai ketinggian. Menurut informasi, elevansi ketinggiannya adalah 730 meter. Aku masih belum bisa membayangkan bakal seperti apa. Penting kayuh, kalau tidak kuat, tinggal evakuasi. 

Dari start hingga pitstop pertama cenderung landai. Ada beberapa tanjakan, namun bisa dilalui dengan nyaman. Aku beserta dua teman perempuan masih melaju mulus hingga perhentian yang pertama. 
Skuad Sepeda Lipat masih kuat bersepeda
Skuad Sepeda Lipat masih kuat bersepeda
“Hebat teteh-teteh ini,” Sorak pesepeda kala melihat kami sampai di titik aman yang pertama. 

Kami menjadi peserta terakhir yang sampai pitstop pertama. Kuambil minuman dari panitia, mencari konten vlog sesaat, lantas melanjutkan perjalanan. Kali ini aku sengaja meninggalkan dua perempuan yang awalnya kutemani. Kutunggu mereka di pitstop kedua, siapa tahu sudah dievakuasi menggunakan mobil. 

Rutenya lebih mengasyikkan, kombinasi jalan aspal, makadam, dan berlubang. Tanjakan-tanjakan yang ada belum sepenuhnya tinggi, masih bisa teratasi layaknya bersepeda di spot-spot blusukan di Jogja. 

Tiap tikungan sedikit tajam, atau pertigaan, sudah ada petugas yang memberi arah. Rambu-rambu yang lain adalah tanda pada aspal, namun tidak banyak. kondisi jalan beragam, bahkan terkadang rute yang dilewati berlubang dan banyak genangan. 

Sesaat aku berhenti melepas lelah sembari memotret jalanan. Sepeda lipat kusenderkan pada pohon, lantas mengabadikan jalur tersebut. Belum terlihat di belakang tanda-tanda dua perempuan yang tadi kutinggal. 
Salah satu rute yang tergenang air
Salah satu rute yang tergenang air
Satu sepeda motor menyalip sembari menyapa kencang. Suaranya tidak asing. Kulihat Lavienz sudah membonceng sembari memotret. Ini artinya dia sudah dievakuasi, tugasnya kali ini cukup mengabadikan momen dari mata lensa yang bawa. Bagaimana dengan Andar? Aku sendiri percaya jika dia kuat melewati rute ini. 

Dari kejauhan sudah tampak pitstop kedua. Segera aku hidupkan kembali kamera untuk merekam. Tidak banyak dokumentasi yang kuambil, malah lebih banyak sekadar rekaman yang ingin kujadikan vlog. Sapaan para pesepeda menemaniku sampai ujung jalan. Sudah hampir semua datang. 

Di sela-sela istirahat, kembali ujung pitstop riuh. Bergegas aku melihat, Andar mengayuh pedal sepeda, di belakangnya bapak-bapak dari Jogja. Aku mereka momen ini, lantas mendekatinya sembari mengucapkan selamat. Kemudian sepeda aku tuntun, kutempatkan di samping sepedaku. 
Sampai di pitstop kedua (Dok. Lavienz)
Sampai di pitstop kedua (Dok. Lavienz)
“Kata bapaknya, tinggal sedikit lagi sampai finish,” Candaku. 

Andar hanya tersenyum, tahu kalau ucapan tersebut hanya pemanis. Kami berbincang santai, ujung-ujungnya sampai pada pertanyaan kenapa sengaja ngebut duluan. Tidak berapa lama kemudian, Lavienz datang sambil menenteng kamera, lantas mengabadikan. 

Suara keras dari pelantang sebagai penanda peserta KOM dimulai. Para pesepeda yang ikut kompetisi tanjakan sampai finish berjejeran. Sesekali harus bubar karena jalan agak ramai. Aku berusaha mengabadikannya. 

Bendera dikibaskan, puluhan sepeda melaju kencang. Suara geretak gir kala tuas di tangan dipindahkan saling bersahutan. Kayuhan para peserta makin kencang, rombongan besar lambat laun terbagi menjadi beberapa kelompok. Mereka harus pandai-pandai menghemat tenaga agar tidak terkuras dari awal. 
Peserta KOM beraksi
Peserta KOM beraksi
Seluruh peserta KOM sudah berlalu, aku dan Andar mengikuti di belakang. Kami tidak ada target, intinya sebelum pukul 12.00 WIB harus sudah sampai finish. Tidak ada tanjakan yang ekstrim selama ini, namun berhubung tidak ada juga jaan datar, lama-lama fisik terkuras. Apalagi aku selama tahun 2018 vakum bersepeda akhir pekan lebih setengah tahun. 

Satu tanjakan yang menurutku paling berat adalah pada 500 meter sebelum garis finish. Tanjakan berbentuk huruf S ini menjadi ujian kala tenaga sudah sangat lemah. Sesekali aku berhenti, lalu mengayuh lagi, dan berhenti lagi. 

“Dua puluh kayuhan lalu berhenti,” Ujarku sembari tertawa menyemangati Andar. 

Diapun tertawa, namun fisiknya lebih kuat daripada aku. Ditilik dari rekam jejaknya bersepeda, dia pernah menjadi Srikandi di Batam. Selain itu di Jogja sering ikut agenda sepeda. Setahuku dia juga pernah bareng teman eNTe Jogja Ring of Merapi; mengelilingi gunung Merapi dalam sehari. 

Di sisi kiri jalan terdapat plang bertuliskan 100 meter sampai. Semangat ini makin bertambah, tak jauh kemudian plang yang lainnya bertuliskan 50 meter lagi. Di depan, bendera finish dan kerumutan panitia menunggu. Aku berhenti menunggu Andar. 

Saat menuju finish, aku tidak mau kehilangan momen. Segera kurekam waktu kami berdua mencapai garis finish. Sorak-sorai para panitia beserta pesepeda yang lain kala kami mencapai garis finish, tak ketinggalan Lavienz yang heboh mengabadikan kami. 
Finish bareng dengan Andar, sesama dari Jogja (Dok. Lavienz)
Finish bareng dengan Andar, sesama dari Jogja (Dok. Lavienz)
Rute terakhir adalah bonus turunan menuju tanah lapang di Bukit Tunggul. Dua sepeda lipat melaju kencang sampai tempat terakhir. Di sana sudah ditunggu panitia yang mengalungkan medali. Kami berdua berhasil sampai finish, kulihat jam di tangan menunjukkan pukul 11.00 WIB. 

“Akhirnya sampai finish juga!!” 

Kami sempatkan berfoto-foto, lalu memarkirkan sepeda dan melepas lelah. Siang terik ini kunikmati minuman isotonik sambil mengunyah rambutan. Sesekali ikut gabung foto bersama rombongan yang ada di sana. 

Perjalanan panjang di Bandung sudah berakhir. Rute Palintang memang menggila, lebih gila lagi karena ini kali pertama aku naik sepeda lipat, dan langsung disuguhi tanjakan. Bagi sebagian orang, rute ini biasa, namun tidak bagiku. Rute ini cukup kejam. 
Foto di podium, padahal tidak ikut kompetisi
Foto di podium, padahal tidak ikut kompetisi
Gelaran Palintang Uphill Challenge berakhir, semuanya bisa menghela nafas lega. Hasil ini bisa menjadi catatan bagi panitia karena tidak ada acara yang sempurna. Aku sendiri memasukkan jalur ini sangat baik, namun agak ramai di beberapa titik (lalu-lalang kendaraan). Terlepas dari itu, semuanya berjalan dengan baik. 

Suatu ketika aku pernah mempunyai anganan naik sepeda lipat di Bandung. Menikmati pemandangannya, dan menuangkan dalam tulisan. Ternyata, kali ini aku sudah melakukannya. Menaiki sepeda menyusuri jalur Palintang, dan kutulis ceritanya. Semoga di waktu mendatang, aku bisa kembali sepedaan di Bandung dan sekitarnya. *Palintang Uphill Challenge, 10 Februari 2019. 

*Catatan; Terima kasih kepada Bu Hastuti atas segala bantuannya dari Jogja – Bandung, pinjaman sepeda, dan akomodasinya. Terima kasih kepada Kang Yoeda Pejantan bersama tim yang sudah mengundang kami ke Bandung. Terima kasih untuk dua perempuan (Lavienz & Andar) yang menjadi kawan menyenangkan selama perjalanan; kita agendakan lagi ke tempat yang berbeda.


20 komentar:

  1. ngomongin sepedaan, entah udah berapa tahun aku enggak sepedaan
    haha

    BalasHapus
  2. Wah seru juga y Mas bersepedahan dengan sepeda lipat. Wah ini yg minggu lalu di Bandung ya.. Keren dah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bikin pengen main ke Bandung lagi, khususnya sepedaan :-)

      Hapus
  3. Aku terakhir sepedahan di ancol... nyewa di sana. Nabrak mobil ._.
    payah bener. Kalo aku ikutan beginian, aku urutan paling buncit..
    ntar, nunggu malem dulu.. aku baru nyusul... nggiring sepedah..
    Aku jago sepedah... kalo di tempat sepi, dan kalo di jalan datar.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, sini ke Jogja, biar sepedaan di kota-kota aja :-)

      Hapus
  4. Keren, pakai folding bike untuk nantang tanjakan, ampunnn kaki apa nggak gemeteran bang? Tapi bisa jadi inspirasi juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Emmmm, pokoknya begitulah ahahahha. 250 Meter terakhir mulai terasa capeknya, tapi kudu dituntaskan hahahahaha

      Hapus
  5. Kren dah jaman now, olahraga gowes semua kalangan.

    BalasHapus
  6. sepeda lipat itu lbh berat mas? aku blm prnh naik sepeda lipat. apa ada gearnya juga kayak mountain bike? seru yaa, kalo baca doang hahahahahha.. ga kebayanag capeknya kayak apa krn rutenya aja bikin aku ngilu :p.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepeda lipat memang lebih berat kalau untuk menanjak, terlebih gear depan hanya 2. Kalau mountain Bike gear depan ada 3 dan belakang bisa lebih variatif jumlahnya. Pakai folding bike emang menarik jika ingin fisik ahahahahha

      Hapus
  7. tolong yang pas lewat jalan berair itu di slow motion wkwkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Liat aja udah capek, teh ahhahahaha.
      Tapi ketagihan pengen sepedaan lagi di Bandung

      Hapus
    2. sini atuuuh ke bandung lagiii, mengenang mantan *eh

      Hapus
    3. Jangan dikenang, kasian istri orang ahahhahaa

      Hapus
  8. Kuuuaaatttt itu pakai sepeda lipat padahal medannya berat. Hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pokoknya tendang lurus mbak hahahahahaha. Kuat mesti beberapa kali nuntun

      Hapus
  9. jadi kangen nyepeda. uda hampir 5 bulan kalik sepeda mangkrak sampe kempes bannya. ahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebelum dipakai kalau bisa diservis dulu, biar nyaman pas dipakai. Dijadwal aja, Ji. Misalnya pagi lari, sore kalau luang sepedaan.

      Hapus

Pages