Geliat Kopi Lokal di Java Coffee Festival - Nasirullah Sitam

Geliat Kopi Lokal di Java Coffee Festival

Share This
Bincang kopi nusantara
Hawa dingin menyeruak. Jaket tebal yang kukenakan masih belum sepenuhnya mampu menahan rasa dingin. Untungnya semburat cahaya baskara di pagi membuat aku lebih nyaman. Meski tidak minus, suhu di dataran tinggi Dieng tetap jauh lebih dingin. 

Hilir mudik panitia beraktivitas. Mereka sudah memasang 18 stand kopi, pun dengan panggung besar di depannya. Hamparan rumput depan panggung diberi karpet. Nantinya, tempat ini menjadi area duduk para pengunjung yang ingin berdiskusi tentang kopi. 

Lamat-lamat kabut datang. Semilir angin kembali menusuk kulit. Lagi-lagi, aku merekatkan jaket. Di depan stand, kusapu pandangan, tempat ini mulai ramai pengunjung, aroma kopi, dan suara mesin penggiling biji kopi. 

Pukul 11.58 WIB, panggung depan yang bertuliskan “Java Coffee Festival” sudah ramai. Tiga pembicara bergantian cerita dengan bantuan pemantik. Ketiga pembicara ini bergelut dengan dunia kopi. Hanya saja segmennya berbeda. 
Stand-stand kopi masih dalam persiapan
Stand-stand kopi masih dalam persiapan
Dari pelantang, aku mendengar nama Pak Budi, Muhammad Aga, dan Pak Purnomo Eko. Moderator mengenalkan ketiganya. Dari sini, aku dapat menangkap informasi bahwa mereka adalah pembuat film, barista, dan pemilik kebun kopi. 

Meski aku tidak sepenuhnya mengikuti berbagi cerita pengalaman yang dikemas dengan santai. Satu hal pesan yang kudapatkan di sini. Semua orang (baik pembicara, pengunjung, dan panitia) menginginkan jika kopi tidak hanya memakmurkan kedai yang ada di kota, tapi sampai ke petaninya.

Selaras dengan keinginan panita sejak awal. Adanya stand-stand kopi yang memang sengaja dikonsep banyak kedai kopi di luar kota. Tujuannya agar mereka bisa saling mengenal, menjalin komunikasi, hingga pada akhirnya bisa menjadi mitra. 

Bincang santai tentang kopi di Java Coffee Festival 2019
Bincang santai tentang kopi di Java Coffee Festival 2019
Pada akhirnya, bincang santai yang bertajuk “Wani Ngopi Luhur Wekasane” mendapat banyak pertanyaan dari para pengunjung. Respon ini menunjukkan geliat para pengunjung untuk bisa saling berbagi cerita, kegelisahan terkait kopi, hingga menuangkan ide-ide yang awalnya hanya terendap dalam pikiran.

Aku kembali berkeliling. Menyusuri tiap stand, menyapa kawan yang bertemu di lokasi yang sama, hingga membeli kopi untuk kuseduh. Di sini, aku melihat beberapa pegiat kopi dari Jogja. Tak sempat kusapa, mereka asyik mendengarkan bincang santai siang ini. 

Pesona Kopi Bowongso Memikat Pengunjung

Pengunjung terus memenuhi tanah lapang. Aroma kopi makin menyebar dari berbagai penjuru. Suara sruputan kopi ala barista terdengar. Para barista sibuk meracik kopi, sebagian lagi menerangkan informasi tentang biji kopi kepada pengunjung stand. 

Punggung-punggung para pengunjung menutupi aktivitas barista. Gelak tawa terlontar di antara suara tawaran harga kopi. Air di dalam ketel mulai menguap, lantas berpindah pada wadah dan menyirami biji kopi yang sudah digiling. Para barista tak sempat istirahat. 
Antusias pengunjung stand di Java Coffee Festival 2019
Antusias pengunjung stand di Java Coffee Festival 2019
Di stand Wonosobo Manual Brew Competition pengunjung tak kunjung usai. Silih berganti mereka datang, bertanya-tanya terkait kopi lokal yang sudah dalam kemasan. Kopi Bowongso dan Kopi Klowoh. Dua kopi ini menarik perhatian pengunjung festival. 

Jika kita bertanya tentang kopi lokal di Wonosobo, tentu semua orang pasti bakal menyebut kopi Bowongso. Aku pun demikian, selama ini mengenal tempat tersebut begitu kondang dengan hasil kopinya. Beruntung, hari ini aku berada di lingkaran para pemerhati kopi dari Bowongso. 

Kemasan kopi yang berukuran 100 gram tandas dalam waktu singkat. Oleh-oleh kopi dalam kemasan tersebut menjadi barang yang paling direbut banyak pengunjung. Tak hanya satu bungkus, bahkan satu orang ada yang mengambil sampai Sembilan bungkus. 

Dihargai 35000 rupiah/100 gram, para pengunjung rebutan mengambil. Aku melihat bagaimana teman-teman dari Bowongso mengisi kopi ke dalam kemasan, lantas memajangnya lagi. Setiap dipajang, langsung habis. Kopi Arabika yang berasal dari Bowongso, Kecamatan Kalikajar tersebut menunjukkan pesonanya. 

“Di Bowongso, penjualan kopi hanya dari satu pintu. Mereka menanam, memanen, hingga menjual biji kopi dari satu pintu. Itu yang membuat Bowongso dikenal hingga sekarang,” Ujar salah satu baristanya. 
Kopi Bowongso dan kopi Klowoh
Kopi Bowongso dan kopi Klowoh
Benar adanya, geliat kopi di Indonesia menjadikan kopi-kopi lokal bisa menunjukkan eksistensinya. Kopi Bowongso sendiri yang sejak awal sudah tertata rapi dari petani hingga penjualannya mulai memanen rezeki. 

Seperti yang diceritakan Mas Itok, pemilik kedai Kopi Bahagia di Wonosobo. Beliau mengatakan semua stok biji kopinya diambil dari Bowongso. Selain karena sudah tahu kualitasnya, beliau juga kenal secara akrab dengan orang-orang di Bowongso. 

“Ya, saya sendiri mengambil stok kopi dari Bowongso,” Ujar Mas Itok sembari menyeduh kopi untuk pengunjung stand. 

Menurut beliau, di sekitar daerahnya geliat kopi sudah ada sejak dulu. Bahkan, di Kalibeber ada 13 kedai kopi. Separoh dari kedai tersebut ada menu untuk manual brew. Kisaran harga 12000 rupiah tiap gelas. Tentu stok diambil dari Bowongso. 

Pengenalan Pendatang Baru Kopi Klowoh 

Pamor kopi Bowongso di stand secara tidak langsung membuat kopi lokal yang lain juga naik. Satu stand terdapat dua kopi, Bowongso dan Klowoh. Kopi Klowoh ini baru dijual dalam bentuk kemasan sejak tahun 2018. 

Mas Tyas (Joyo Kopi Lokal), orang yang mengenalkan kopi Klowoh turut sibuk. Banyak juga pengunjung yang membeli kopinya dalam kemasan. Kopi Klowoh Arabika dihargai 30.000 rupiah/100 gram. Untuk yang Rubosta seharga 25000 rupiah. 

Beliau menuturkan jika ini kali kedua kopi Klowoh dipamerkan. Pertama, pada akhir bulan juli di Jogja (Ngopi di Museum V). Sedangkan kedua di Java Coffee Festival ini. Meski agak asing, tetap saja peminatnya banyak. Festival ini menjadikan Kopi Klowoh dikenal oleh khalayak umum. 

Dari sini, aku tahu tantangan kopi daerah, seperti yang dialami kopi Klowoh. Keterbatasan pengemasan, dan belum ada satu wadah yang menyatukan para petani di sana menjadikan kopi ini belum bisa maksimal. Berbeda halnya dengan Bowongso yang sudah tertata rapi setiap alurnya. 
Membantu teman di stand kopi kala mengenalkan kopi lokal
Membantu teman di stand kopi kala mengenalkan kopi lokal
“Uniknya, kopi Klowoh ini tidak pernah berhenti panen, mas. Pasti terus ada biji kopi, kelemahan kami ya dari promosi dan pengemasannya,” Ujar Mas Tyas. 

Harapannya, Kopi Klowoh bisa menyusul langkah saudara tuanya (Kopi Bowongso). Kedua kopi ini sama-sama di bawah kaki Gunung Sumbing. Sehingga nantinya para petani kopi bisa jauh lebih makmur. 

***** 

Ramainya pengunjung kedai kopi membuatku berbaur. Bahkan di sini aku ikut membantu teman-teman kedai dalam mempromosikan kopi. Layaknya bagian dari stand, tiap pengunjung yang melirik stand ini kusapa. Harapannya mereka mampir dan bertanya-tanya tentang kopi. 
Interaksi barista dan pengunjung yang bertanya tentang kopi
Interaksi barista dan pengunjung yang bertanya tentang kopi
Berinteraksi dengan pengunjung, menawarkan oleh-oleh kopi, hingga mencatat pengunjung yang memesan seduhan. Itu yang aku lakukan selama di stand. Di lain kesempatan, aku membantu menggiling biji kopi yang dipesan pembeli. 

“Mari silakan. Yang suka kopi bisa nyicip di sini,” Sapaku pada pengunjung. 

Sedikit demi sedikit ada juga yang penasaran. Mereka bertanya-tanya tentang kopi yang sudah terkemas rapi. Tatkala mereka tanya tentang kopi Bowongso, aku langsung sigap melemparnya ke Mas Itok atau yang satunya. Jika mereka tanya-tanya tentang kopi Klowoh, langsung aku lontarkan ke Mas Tyas. 

“Saya di sini tugasnya hanya menyapa pengunjung, bu,” Ujarku sembari tertawa kala seorang ibu bertanya tugasku di stand. 

Interaksi sederhana seperti ini yang menjadikan kita bisa cepat akrab. Komunikasi ringan, santai, diselingi canda membuat semuanya menyenangkan. Tidak sedikit dari mereka ingin menikmati seduhan kopi Bowongso. Lagi-lagi, Mas Itok tak berhenti mengambil air dan menakar biji kopi. 
Berbagai alat seduh yang siap di stand
Berbagai alat seduh yang siap di stand
Dua alat seduh V60 beserta sepasang ketel tak henti bekerja. Mas Itok bergantian dengan barista yang lain untuk meracik pesanan pengunjung. Satu gelas kopi ditebus seharga 10.000 rupiah. Dari sini, aku melihat peminat kopi Bowongso membludak. 

Mereka rela antre cukup lama untuk mendapatkan segelas kopi Bowongso. Sebagian dari mereka sudah tahu tentang kopi tersebut. Ada juga yang penasaran karena selama ini hanya tahu kopinya, tapi belum pernah menyesap sendiri. 

Ada juga sekumpulan cewek yang mendekati stand. Mereka bertiga ingin menyicip kopi. Untuk pemesanan pertama, dia hanya memesan satu gelas. Tujuannya adalah sebagai pelepas rasa penasaran, meski mereka belum pernah minum kopi tanpa gula. 

“Dicoba dulu mbak. Siapa tahu suka kopinya,” Ujarku. 

Dicobanya menyesap kopi. Terlihat raut wajah yang mungkin tidak biasa. Aku tertawa melihat rautnya yang menahan rasa kopi. Untuk sesaat mereka bertiga bergantian menyeduh kopi. Katanya, ini adalah pengalam pertama menyeduh kopi tanpa gula.

Bagi orang yang tidak terbiasa mengopi pasti bilang pahit. Pada dasarnya seperti itu yang terlontar sejak awal. Berbeda halnya dengan mereka yang memang suka kopi. Komentar seperti rasa tidak terlalu asam atau muncul rasa baru yang mereka ucapkan.
Pengunjung menyesap segelas kopi Bowongso
Pengunjung menyesap segelas kopi Bowongso
Mereka yang datang silih berganti. Mulai dari pengunjung lokal Banjarnegara, Temanngung, dan Wonosobo. Atau kota sekitar seperti Semarang, Jogja. Banyak lagi mereka datang dari Jakarta dan Bandung; rata-rata mereka menggunakan travel untuk acara ini hingga esok siang.

Bahkan ada yang datang dari Manado. Mereka menyeduh kopi Bowongso. Sembari menikmati segelas kopi, dia berujar nantinya ingin membuat kedai kopi di sana. Katanya, kopi di sana masih belum banyak. Mereka main ke sini sekalian bertanya-tanya tentang perkopian.

Aku tidak ketinggalan. Sebelum kopi Bowongso ini dijual pergelas. Aku sudah menikmati segelas kopi bersama Charis. Kami secara khusus dibuatkan Mas Itok. Ya, aku sendiri suka kopi yang tidak terlalu tebal rasanya. Dan yang disajikan pas bagiku. 

Bincang santai usai. Stand tidak lantas sepi, malah sebaliknya. Hingga malam tetap ada aktivitas di panggung Java Coffee Festival. Ketika selepas isya aku kembali ke stand. Di sana sudah berganti barista. 

Di stand yang lokasinya di tengah-tengah, terdapat semacam cupping. Aku melewatkan kegiatan tersebut. Namun, tetap masih bisa menikmati hasil racikan para barista yang turut. Jika tidak salah, ada 16 hasil racikan barista yang bisa kucicipi. 

Kuambil sendok yang tersedia, tiap gelas yang berisi kopi kusesap. Tiap gelas rasanya berbeda. Ada yang menurutku tebal, ada juga yang sesuai dengan seleraku. Lagi-lagi, selera orang itu berbeda, tinggal mana minat kita. Untuk keseluruhan cukup bagus. 
Cupping di Java Coffee Festival 2019
Cupping di Java Coffee Festival 2019
Tidak terasa acara Java Coffee Festival ini telah usai. Gelaran yang berada di ketinggian 2000 MDPL ini menyiratkan bahwa para pencinta kopi di Indonesia sangat bergairah. Tinggal bagaimana nanti bisa memakmurkan semua; petani hingga pebisnis di kota besar. 

Satu hal yang sangat aku sayangkan di sini. Rencana awal aku ingin membeli oleh-oleh kopi Bowongso pas di stand. Belum juga beli, sibuk mencari konten dan membantu di stand, akhirnya aku lupa bahwa stok kopi sudah habis. Untungnya aku sudah mendapatkan akun Instagram Bowongso. Nanti, jika stok kopi bubuk di kos habis, aku bisa menghubungi untuk membeli dan mengirimkan ke Jogja. 

Aku percaya, gelaran seperti Java Coffee Festival ini mempunyai manfaat yang besar. Dikemas secara epik para panitia, mereka mempunyai tujuan agar para pelaku kopi (terkhusus petani lokal) dapat makmur dan mempunyai mitra di luar sana. *Java Coffee Festival 2019; Sabtu, 03 Agustus 2019

12 komentar:

  1. Seru banget acaranya, jadi pengen ikutan, pengen nyobain gimana rasa kopi Bowongso.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa langsung bawa banyak kawan ke Bowongso kalau memang minat. heeee

      Hapus
  2. wuih cocok, hawa adem di dieng dilawan hangatnya kopi lokal...

    BalasHapus
  3. Wah ada Aga tho, sayang di Dieng ya, ku nggak tahan dinginnya :)
    Dapat kopinya dibawa pulang nggak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kemarin keasyikan nyeduh sampai lupa beli biji kopinya ahahahha

      Hapus
  4. next time ke kopi bowongso, main ke sana yukkk

    BalasHapus
  5. Sibuk NGONTEN sih jd lupa beli kopi🤣

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sibuk lihat orang-orang yang berlalu-lalang ahahahha

      Hapus

Pages