Menyeduh Kopi di Tavor Cafe Sunter |
Terkadang ada sebuah perjalanan yang tidak terencanakan. Mengopi di tempat yang jauh dari kota domisili, hingga bertemu dengan orang baru serasa reuni bersama kawan lama. Itulah sejumput cerita yang aku alami kala berkunjung di Tavor Café daerah Sunter.
Pagi menyambut ibukota, awal pekan ini ada tugas yang mengharuskanku menyambangi ibukota. Sudah cukup lama aku tidak menginjakkan kaki di sini. Keriuhan orang di Stasiun Gambir semacam sapaan dari secuil penghuni ibukota untukku.
Tidak banyak kuingat, gedung menjulang tinggi tersebar merata sepanjang mata menatap lepas jauh. Aku menatap sedikit lanskap kota dari jendela kamar hotel. Melihat barisan gedung dengan warna seragam. Berbalut kabut polusi.
“Aku ingin mengopi,” Ujarku pada rombongan tatkala istirahat sore.
Sejak diberitahu mendampingi rombongan ke salah satu instansi di Jakarta Utara, aku langsung mencari informasi kedai kopi yang tidak jauh dari tempat menginap. Ada banyak kedai kopi di sana. Aku mulai membaca ulasan tiap pengunjung di Local Guide.
Bangunan tinggi di sekitaran Jakarta Utara |
Ulasan tersebut aku tekankan pada beberapa aspek. Kenyamanan kedai kopi ataupun kafe, komentar terkait menu, jam buka kedai, serta kapan terakhir pengunjung tersebut mengulas. tentu tidak lucu kalau kita datang ke tempat tersebut tahunya sudah tutup.
Dari sekian banyak tempat tongkrongan yang kudapatkan, aku tertarik mengunjungi Tavor Café. Tempat ini bukan sepenuhnya kedai kopi, konsepnya lebih pada kafe. Namun, pilihan minuman tersedia kopi. Tidak lupa kutilik juga di instagramnya.
Transportasi daring mengantarku hingga depan kafe. Berlokasi di Jalan Agung Utara Raya Blok A36D No. 30, Sunter, kafe ini satu deretan dengan ruko yang lainnya. Seingatku, di depannya ada semacam sungai kecil dengan pagar kawat berduri.
Pintu aku dorong terbuka, suasana di dalam kafe cukup tenang. Satu orang sedang sibuk menatap layar laptop. Aku berlalu saja menuju bagian meja kasir. Ada dua orang di sini, satu lagi baru masuk, dia tadi yang terlihat di depan teras pintu masuk kafe.
“Ada kopinya, mas?” Tanyaku pada barista berkaus merah dan mengenakan apron.
Suasana di meja bar Tavor Cafe Sunter |
“Kami ada beberapa biji kopi, mas,” Ujar beliau seraya menunjukkan berbagai kemasan biji kopi. Tidak lupa dia menginfokan terkait rasa.
Aku meminta untuk dibuatkan dengan metode V60. Sembari berbincang santai. Di saat ini pula, aku meminta izin untuk memotret suasana kedai kopi, pun dengan daftar menu dan harga Tavor Café yang ada di meja.
Ditilik dari harga yang tertera, menurutku harga ini memang sudah menjadi patokan di Jakarta. Kisarannya tentu lebih mahal dibanding harga minuman kopi di Jogja. Aku sudah paham hal tersebut, bergegas kubayar satu gelas minuman seharga 35000 rupiah.
Di Tavor Café ini, aku menyeduh kopi ditemani baristanya. Mas Hardy namanya. Beliau bersama mitra sesama barista bernama Mas Brian. Dari sini, aku menjadi sedikit tahu cerita perihal dibukanya Tavor Café. Bahkan kenapa tempat ini dinamakan Tavor.
Desember tahun 2017, kafe ini dibuka pemiliknya. Pemilik kedai sengaja menyebut sebagai kafe bukan kedai kopi dengan penuh pertimbangan. Namun jangan salah. Tempat ini menyediakan berbagai biji kopi dengan varian seduhan.
Daftar harga dan menu di Tavor Cafe Sunter |
Di sini menu nonkopi sangat beragam. Tidak ketinggalan keik serta makanan berat. Karena inilah Tavor disebutkan sebuah kafe, bukan kedai kopi. Kalau kedai kopi, tentu segmennya lebih spesifik ke arah kopi saja.
Dituturkan Mas Hardy, pemilik kafe ini sangat paham dengan perkopian. Beliau mengenal kopi yang digeluti sekarang dari ABCD School of Coffee. Sebuah kedai kopi yang sudah prestisius sekali di Jakarta dan sekitarnya.
“Meski namanya kafe, pemilihan biji kopi tetap diutamakan, mas.”
Mas Hardy sendiri pertama menggeluti perkopian di Bekasi. Di sana ada salah satu kedai kopi yang mengajari orang untuk mengenal lebih dekat tentang kopi. Dia menjadi barista pertama kala Tavor Café ini dibuka.
Hingga sekarang di Tavor Café ada dua barista, satu kasir sekaligus pramusaji, dan dua jurumasak. Satu sif dilayani satu barista. Hal ini tetap masih terjangkau karena di Jakarta kedai kopi rata-rata buka pagi hingga pukul 20.00 WIB. Di Tavor Café sendiri buka mulai pukul 09.00 WIB – 22.00WIB.
Obrolan kami berlanjut, setelah aku mengenalkan diri sebagai blogger, obrolan makin menarik. Ternyata dia juga pernah menjadi blogger, meski sekarang lebih suka bekerja di balik layar. Sampai sekarang dia masih suka membaca blog, khususnya blog milik Windy Aristanti.
Sayangnya sekarang dia tidak lagi menggeluti dunia tulis-menulis. Namun dia tetap beraktivitas tidak jauh-jauh dari tulis-menulis. Katanya dia suka membaca puisi di tempat-tempat tertentu. Jiwa seniman mencuat katanya.
Ada satu perkataan Mas Hardy yang menarik menurutku, khususnya ketika kami membahas profesi blog. Dia berujar kalau masyarakat Indonesia ini masih tertarik dengan cerita, jadi tulisan blog masih bakal bertahan. Bahkan sekarang orang kembali menyukai audio layaknya radio dengan berkembangnya Podcast.
Barista sedang membuatkan kopi |
“Ada beberapa orang menyebutnya sebagai foodblogger, tapi dia tidak punya blog. Hanya mengandalkan Instagram. Padahal blogger harus mempunyai wadah yang namanya blog. Kalau hanya Instagram, seharusnya dia disebut foodgram.”
Aku tertawa kencang. Tentu pernyataan di atas aku setujui. Ada banyak tema yang kami diskusikan, tidak ketinggalan terkait kopi. Untuk sesaat obrolan terhenti, ada rombongan yang datang. Aku meminta izin menjelajah tiap sudut ruangan secara menyeluruh, termasuk lantai dua.
Jelajah ruangan kafe aku awali dari lantai satu. Tepat satu arah dengan pintu masuk, ada tiga meja kecil dilengkapi sepasang kursi. Meja-meja ini bisa digunakan pengunjung yang datang sendirian (seperti aku), atau hanya berdua.
Di ujung ruangan, yang berdekatan dengan dinding tangga ke lantai dua, terdapat satu meja panjang dengan kombinasi kursi sofa dan kursi biasa. Meja ini cocok untuk pengunjung yang datang rombongan.
Sewaktu aku berkunjung, di lantai satu ada beberapa pengunjung. Satu orang yang sudah kusebutkan di awal (sendirian dan menyibukkan diri dengan laptop), serta satu rombongan tujuh orang yang berada di meja panjang.
Lantai satu Tavor Cafe Sunter nyaman buat bekerja |
Dari tempatku duduk, terlihat tujuh orang ini sedang rapat internal membahas inovasi-inovasi yang nantinya mereka terapkan di tempat kerja. Suasana yang tenang sangat mendukung untuk diskusi kecil sembari menikmati makanan yang sudah dipesan.
Naik ke lantai dua, anak tangga ini tidak terlalu besar. Salah satu dinding dijadikan semacam jendela. Cahayanya cukup membuat terang sekitarnya. Tepat di atas, sisi kiri ada wastafel dan toilet. Ruangan di lantai dua jauh lebih luas.
Di sini ruangan terbagi menjadi dua. Aku tidak tahu ruangan yang tertutup tersebut. Dari luar terlihat meja panjang, pot bunga di tengah, serta kursi. Mungkin ruangan tersebut bisa dipesan bagi yang ingin rapat tertutup. Dinding penyekat berupa kaca transparan.
Deretan sofa panjang melekat pada dinding. Dilengkapi dengan meja empat bulat. Pengunjung di atas lumayan banyak. sofa panjang tersebut sepertinya menjadi tempat favorit untuk bersantai.
Ruangan di lantai dua Tavor Cafe Sunter juga asyik untuk bersantai |
Aku tidak menjelajah tiap sudut di lantai dua. Takutnya malah mengganggu aktivitas para pengunjung yang sudah duduk santai, berbincang dengan sejawat. Meja yang lainnya juga lumayan ada pengunjung, khususnya meja sedikit besar dan ditempati empat orang.
Tavor Café paham dengan keinginan pengunjung. Konsep tempatnya memang asyik untuk menepi sembari mengerjakan tugas ataupun deadline urusan kantor. Hal ini terlihat di sudut yang lain, seorang cewek menyempatkan untuk mengerjakan tugas di sela-sela memegang gawai.
Menurut barista, perkembangan tempat tongkrongan di Jakarta Utara tidak begitu ramai seperti di Jakarta Selatan. Di sini rata-rata pengunjung yang datang menjadikan tempat ini sebagai salah satu lokasi alternatif untuk berdiskusi/rapat.
Menyendiri di kafe untuk mengerjakan tugas |
Siklus pengunjung pun tidak bisa diprediksi. Biasanya di Tavor Café akhir pekan tidak begitu ramai. Namun, akhir-akhir ini mulai ramai pengunjung yang datang tiap akhir pekan. Meski tidak semua yang datang ingin menyeduh kopi.
Walau tempat ini berlabel kafe, Tavor Café juga menyediakan minuman andalan layaknya kedai kopi. Untuk minuman signaturenya ada dua. Es Kopi Susu Gang Senggol (menggunakan gula aren) & Es Kopi Susu Anak Komplek (menggunakan milk).
Aku kembali menyesap kopi, minuman ini sesuai dengan seleraku yang tidak terlalu tebal. Lantunan musik pelan, interaksi barista ramah dan enak diajak berbincang, serta suasana nyaman. Aku suka dengan suasana kedai semacam ini. Oya, bagi yang mempunyai balita, di sini juga tersedia kursi khusus balita.
Sajian kopi di Tavor Cafe Sunter |
Tidak terasa satu setengah jam aku di sini. Banyak informasi yang kudapatkan dari Mas Hardy (barista) terkait perkembangan kopi di Jakarta. Beliau bahkan menawariku untuk berkeliling kedai kopi jika berkunjung lagi di Jakarta. Sebuah tawaran yang menarik bagiku.
“Kita tidak tahu ke depannya. Menurutku, kopi kemasan yang tinggal seduh mungkin tahun depan menjadi daya tarik tersendiri bagi pecinta kopi. Meski kita tahu, minat pecinta kopi masih pada es kopi susu,” Ujar Mas Hardy.
Aku jadi teringat kopi siap seduh yang dulu sempat ada di meja bar Lokus Coffee. Kopi kemasan ini juga yang temanku bawa kala dia sedang melakukan perjalanan ke luar kota. Perkembangan kopi memang sedang menanjak signifikan, semoga selaras dengan kemakmuran petani kopi di Indonesia. *Tavor Café; 09 Juli 2019.
wuih kenapa namanya Tavor ya? setelah googling, ternyata artinya kurang bagus
BalasHapusAku lupa kenama dinamakan Tavor, tapi malah diambil dari Gunung, hanya diubah sedikit sepertinya.
HapusTempatnya cukup enak dan nyaman ya buat nongkrong berlama-lama, lokasinya nggak jaduh dr kantorku, kapan2 bisa nih mampir kesana.
BalasHapusAahahahha akhirnya ada juga yang membaca dan tempat kerjanya tidak begitu jauh :-)
HapusBisa dicoba mbak.
Wah nyaman ya kafenya untuk nongkrong, jadi pengen kopi susunya hehe..mas sitam jadi banyak kenalan ya nongkrong di kafe dan kedai kopi
BalasHapusNggak banyak juga mbak. Cuma beberapa kenal sih hahahahah
HapusWuihh bagus tempatnya. Kopinya enak gak? Boleh nih besok dicoba.
BalasHapusSilakan dicoba, biar tahu sendiri rasanya. Yang jelas tidak bakal kecewa :-)
HapusTempatnya nyaman dan keren.
BalasHapusKayaknya enak nyantai sambil ngopi di sana.
Bagi yang suka kopi, enak di sini. Bagi nonkopi juga melimpah menunya.
HapusTulisan review seperti ini bagiku seperti mesin waktu dikala blog adalah media setiap orang mencurahkan ceritanya. Detail sebuah tempat, dan emosi yg dirasakan dari si penulis dalam sebuah tulisan sudah langka saat ini, Jikapun ada sebuah review hanya diwakili 'angka' hehe. Terimakasih mas rullah telah berkunjung ke Tavor Café, jika dunia kopi memiliki satu kutipan "Panjang Umur Petani Indonesia" maka aku coba sedikit ubah untjk dunia blogger "Panjang Umur Literasi Indonesia"
BalasHapusTerima kasih kembali mas Hardy, suatu saat pasti saya mampir lagi. Kita bisa berbincang atau malah keliling kedai kopi di sekitaran Jakarta :-)
Hapuswaaahhh ini ga jauh dr rumahku siih :p.tp aku lbh sering ke klp gading kalo ngopi mas, blm prnh ke sunter. kapan2 ah. beneeer sih kata mas baristanya... di utara ga sebanyak selatan kedai kopinya.. kalo di selatan mah, jgnkan kedai kopi,kuliner lainny ajg lbh banyaaak :D. tp sayangny dr tempatku jauuuh ajaaaa.
BalasHapusHehehehe, pas kerjaan dekat sini, mbak. Jadi saya sekalian main. Menu nonkopinya banyak loh :-)
Hapusduh jadi pengen nyobain Es Kopi Susu Anak Komplek, pernah nyoba es kopi gula aren tp ku nggak begitu suka. lebih suka di mix pke milk
BalasHapusYakin doyan kopi? Ntar pengennya minum jus.
Hapuswah sampai merambah ke kafe di Jakarta nih hahaha
BalasHapustapi suasana kafenya kayaknya enak ya, nda terlalu ramai
nda kayak kafe2 di Jakarta Selatan
Aku yakin, selama orang masih memakai Google, selama itu juga orang masih akan membaca blog. Makanya aku nggak terlalu hirau dengan tren Instagram dan Youtube. Mas Hardy tetap mengikuti perkembangan tren digital ya. Memang banyak yang melabeli dirinya sebagai blogger padahal nggak ada blog :D
BalasHapusAnyway, kenapa memilih stay di Jakarta Utara mas?