Aku dan Charis berjalan. Kami sengaja mencari warung untuk menikmati waktu pagi sembari mengusir hawa dingin. Sepanjang jalanan, lapak-lapak warga yang memanfaatkan teras rumah sudah buka. Rata-rata mereka jualan sarapan dan bakso.
Kami terus menyusuri jalan. Sesekali melongok ke warung warga yang jualan gorengan. Lanskap Dieng indah dilihat dari tepian jalan. Bukit-bukit gersang tampak jelas, bahkan tulisan “Banjarnegara” besar pun tersaji.
Sudut yang lainnya, aku melihat pemandangan yang sayang untuk dilewatkan. Gunung Sumbing jelas cerah, terapit oleh barisan bukit yang lebih dekat. Tidak hanya aku, dua orang turun dari mobil. Dibidik objek yang sama. Sesaat melihat hasilnya, kemudian berlalu.
Lanskap di Dieng kala pagi |
Kiri-kanan warung warga, hampir semua didatangi pembeli. Geliat perekonomian di daerah wisata tampak jelas. Ini yang diharapkan; ketika daerah tertentu menjadi tujuan wisata, di sana ada potensi untuk membangkitkan ekonomi masyarakat setempat.
“Kita di sini saja?” Celetukku sembari melihat gorengan yang tertata rapi di atas meja.
Charis mengangguk. Aku lantas menuju tikar yang dilapisi karpet biru. Kami duduk di tepian jalan, menyomot gorengan seraya melihat orang yang berlalu-lalang. Pemilik warung menghampiri kami.
“Teh manis dan teh tawar ya, pak,” Pintaku.
“Oke mas.”
Pisang goreng masih mengepul panas. Kuisi perut dengan gorengan tersebut. Tetap saja, meski mengepul panas, di lidah langsung hangat. Obrolan santai pagi ini hanya tertuju pada agenda siang hari. Meliput Java Coffee Festival, selebihnya hanya sebatas kalau sempat dan tidak capek.
Berburu gorengan di warung warga |
Puluhan tenda wisatawan tersebar di beberapa titik. Panitia sudah mengimbau jika lahan-lahan tertentu yang bisa digunakan untuk berkemah. Semalam tenda warna-warni tersebut menarik perhatian. Di lahan untuk kemah, tersedia fasilitas MCK.
Sayangnya, tatkala menjelang malam minggu, tetap saja masih ada yang melanggar aturan. Di lahan milik warga pun ada lapak perkemahan. Padahal waktu siang aku lewat di sana belum ada tanda-tanda orang memasang tenda.
Pulang mengisi perut, kami kembali menuju penginapan. Lagi-lagi, di sini makan. Kelar semuanya, kami berjalan menuju gelaran Java Coffee Festival 2019. Di sini aku melihat bagaimana geliat kopi lokal dan berinteraksi dengan para pelaku kopi.
Malamnya, acara masih berlangsung. Malam minggu yang bertepatan dengan acara puncak Dieng Culture Festival, panggung utama ramai. Penampilan dari penyanyi ibu kota menemani malam yang sangat dingin. Aku sendiri tidak menuju tempat tersebut, malah santai di panggung stand kopi yang masih ada acara yang lain.
Pertunjukan gratis di Dieng Culture Festival |
Sejak awal sudah aku putuskan, datang ke Dieng fokus meliput acara kopi. Rangkaian acara yang lainnya kulewatkan. Padahal banyak tawaran yang bisa mengajakku masuk di panggung utama untuk melihat performa musisi.
*****
Bincang Pagi dengan Warga Setempat
Sisa-sisa keramaian malam minggu masih terlihat kala pagi. Wisatawan makin banyak, mereka ingin menyaksikan puncak acara Dieng Culture Festival, yakni ritual pencukuran rambut gimbal di area Candi Arjuna.
Aku duduk di bongkahan batu dekat jalan kampung. Di sini sengaja berjemur, mengusir rasa dingin. Warung depan rumah sudah buka, tulisan tersedia kopi menarik perhatian. Bergegas aku memesan dua gelas kopi.
Lebih dua jam aku di sini menyesap kopi. Tidak sendirian, aku berbincang dengan simbah-simbah yang menemani cucunya bermain di depan rumah. Dari sini, obrolan terkait ritual cukur rambut dan penginapan yang dipenuhi wisatawan.
Beliau juga menceritakan jika kunjungan wisatawan di tahun ini jauh lebih banyak. Informasi yang beredar, animo calon wisatawan meningkat tajam. Membuat sebagian dari mereka kesulitan mencari tempat menginap.
“Sebelum puasa, hampir penginapan sudah dipesan untuk acara ini, mas,” Tutur simbah.
Gelaran iringan para anak gimbal yang ingin dicukur belum berlangsung. Namun, obrolan ritual cukur rambut kami bahas dengan santai. Aku yang awam tentang ritual tersebut mendengarkan secara saksama. Tentu ini menarik untuk aku ketahui.
Berbincang dengan masyarakat setempat (Dokumentasi dengan gawai) |
Sebelum ini, di Alun-alun Wonosobo sudah ada pencukuran rambut, pun di Temanggung. Tepatnya di Pagergunung, ritual tersebut juga ada. Hanya saja yang paling banyak diketahui khalayak umum tentu di Dieng.
Simbah yang duduk bersama kami terus bercerita. Aku dan Charis bertanya lebih dalam. Menggali informasi yang mungkin menarik untuk aku tulis. Sesekali tanganku menulis tuturan beliau di catatan, agar tidak terlupakan.
Dulu, sejak turun-temurun, ritual pencukuran rambut gimbal sangat sederhana. Acara tersebut layaknya kenduren di rumah warga. Selama persiapan mencukur, ada persyaratan yang harus dipenuhi, salah satunya tentu keinginan tersebut murni dari sang anak.
Pihak keluarga yang mempunyai hajatan menyiapkan segala keperluannya. Mulai dari Tumpeng, kain putih (semacam kain mori), hingga payung kertas. Serta yang tidak ketinggalan adalah barang yang diinginkan sang anak.
Tumpeng di sini tidak dituturkan simbah dengan rinci. Beliau hanya menceritakan nantinya tumpeng tersebut dipotong bersama para warga yang datang. Sementara kain putih digelar untuk tempat duduk sang anak, pun dengan payung yang digunakan untuk memayungi. Anak yang mau dicukur pun dirias.
“Biasanya anak yang dicukur mintanya tidak aneh-aneh. Ada yang hanya minta tempe, ada juga yang minta kerupuk.”
Anak-anak yang diarak pada gelaran Dieng Culture Festival |
“Mereka yang rambut gimbal itu titipan, mas. Kita tidak tahu siapa-siapa keluarganya yang nanti mempunyai keturunan rambut gimbal. Tapi, pasti selalu ada,” Ujar simbah mengakhiri cerita.
Kami bubar, aku kembali menuju penginapan. Simbah kembali menemani cucunya yang memberi makan ayam. Sayangnya, waktu kami berbincang, aku tidak membawa kamera. Kucoba mengabadikan dengan gawai, meski hasilnya tidak bagus.
*****
Bersua dengan Pasta, Anak Kecil Berambut Gimbal di Dieng
Jalan gang padat merayap. Masyarakat setempat berpakaian hitam siap mengikuti arakan. Menjelang siang, para anak yang siap dicukur rambutnya diarak keliling jalan raya menggunakan delman.
Iringan karnaval mulai berjalan. Aku sempat membidik Taj Yasin Maimoen (Wakil Gubernur Jawa Tengah) yang turut dalam karnaval. Para anak yang nantinya dicukur rambutnya menaiki delman. Diiring hingga menuju pelataran Candi Arjuna.
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen |
Beruntung pemilik kuda berhasil menjinakkan kuda tersebut. Perjalanan kembali berjalan dengan lancar. Arakan muda-mudi yang didandan menggunakan kebaya tak putus. Mereka menampilkan wajah penuh senyum sumringah.
Bagian depan tokoh masyarakat. Diikuti warga yang memegang piring plastik dengan mengenakan pakaian kebaya. Tiap kali ada delman yang dinaiki anak gimbal beserta keluarganya, riuh para penonton menyapa.
Rasanya iringan ini cukup panjang. Selesai warga dengan kebaya, berlanjut mobil bak terbuka. Pun dengan anak-anak kecil yang didandan dengan pakaian adat ataupun malah seperti barongsai.
Arakan karnaval di Dieng Culture Festival |
Selain warga setempat, wisatawan pun diperbolehkan untuk mengikuti arakan. Rata-rata mereka memang sudah membeli paket termasuk berpartisipasi dalam arakan karnaval tersebut. Aku sempat melihat beberapa wisatawan yang ketemu sewaktu di acara mengopi.
"Kita kenal?" Candaku pada tiga perempuan dari Jakarta.
Mereka kembali riuh, kami berbincang sebentar dan bertukar narahubung. Selain itu, mereka juga meminta untuk dipotret. Berhubung aku memegang kamera, cepat saja kuabadikan dan mereka kembali melanjutkan bergabung dalam karnaval.
Serba-serbi pengunjung Dieng Culture Festival |
Pasta namanya. Anak yang berusia 6 tahun ini belum mau dicukur rambutnya. Dia ke sini bersama orangtuanya. Aku mendekat sembari mengajaknya bermain. Cukup lama kami berinteraksi agar dia mau difoto. Sesekali ayahnya pun meminta Pasta untuk tersenyum.
“Dia belum mau mas. Belum sepenuhnya mau dicukur,” Terang sang ibu di samping Pasta.
Bertemu dengan Pasta, anak berambut gimbal di Dieng |
Bapak yang menggendong Pasta bercerita hal yang menarik. Sewaktu rambut hendak tumbuh, tubuh Pasta demam. Badannya sempat kejang. Namun, tatkala rambut gimbalnya sudah tumbuh. Tubuhnya berangsur-angsur normal.
Sejak lahir rambut Pasta belum pernah dicukur. Nantinya jika dia sudah siap untuk mencukur rambut, pasti dilakukan ritual sederhana semaca kenduren. Pun jika waktunya berbarengan dengan rangkaian acara Dieng Culture Festival, bisa jadi akan didaftarkan.
Mungkin karena aku intens mendekati Pasta, akhirnya dia tidak merasa risih. Kuminta untuk menghadap kamera dan mengabadikannya. Bahkan aku sempat memegang rambutnya. Anak ini mulai tenang, dia kembali melihat arakan yang sudah hampir berakhir.
Memegang rambut gimbal anak Dieng |
Aku sendiri tidak menuju Candi Arjuno. Selepas melihat arakan karnaval, bertemu tidak sengaja dengan Pasta, serta bertukar narahubung dengan wisatawan dari Jakarta, lantas pulang ke penginapan. Rencananya, siang ini aku pulang ke Jogja. Sebelumnya, aku ingin singgah di perpustakaan Wonosobo. *Dieng, 03-04 Agustus 2019.
Oh pencukuran rambut itu bisa dilakukan kapanpun to? kirain ada aturan umurnya
BalasHapusSebenarnya aturan yang paling jelas adalah permintaan dicukur dari anak itu sendiri.
Hapusben koyo desa penari dengan berbagai versi, sesok tak nulis versi charis hahaha
BalasHapusHahahaha, versimu mung akeh turune dab
Hapusrambutnya lucu lucu ya kak..
BalasHapusanakku juga rambutnya modelnya kek gini lho mas..
hahha
Asli ikal atau bagaimana mas? hehehehhe
Hapussesimpel itu permintaan anak2 yg mau dicukur :D
BalasHapus-Traveler Paruh Waktu
Iya, cukup sederhana. Namun, ada juga yang katanya minta lebih
HapusTak kira pas bayi, rambut gimbal ini tetep dipotong, ternyata enggak sama sekali. Bisa jadi gondrong banget itu.
BalasHapusDi daerahku, kalau rambut gimbal kayaknya enggak ada mas. Tapi ada tradisi yang kurang lebih mirip seperti ini misal mau cukuran. Cukuran rambut kuncung. Itu juga baru beneran dicukur kalau si anak udah ngomong pengen cukur dan dia mau minta apa gitu.
Ternyata mirip-mirip juga tradisi mencukurnya ya.
HapusMenarik kalau bisa meliput cukuran sederhana di rumahnya
Kadang aku tu pengen balik lagi ke Dieng buat mengikuti DCF lagi, tapi bayangin ramenya, macetnya kok aku sudah capek ya. Terakhir ke DCF tahun 2015, pas hamil Renjana. Terjebak sampai jam 2 dini hari, mobil nggak bisa turun karena macet haha.
BalasHapusSekarang Bre kan sudah besar, jadi bisa dolan ke sini mbak. hahahahah
Hapusacara ini semakin populer dan semakin banyak pengunjung yang datang ... dari dulu pengen dateng tapi ngga pernah kejadian ... ngga papa masih bisa ngikutin dari tulisan mas SItam :)
BalasHapusRamainya bikin gak bisa bergerak hahahaha. Untung pas ke sini memang nggak cari konten cukur rambut. Jadi santai
HapusYawlaa maapin, aku fokus ke foto tempe kemul cobak! T.T
BalasHapusYagimana ya, datang ke DCF sekali langsung kapok gak mau lg. Hahaha gak kuat sm lautan manusianya. :D
Aku di sini lebih banyak ngemil daripada makan nasi akakakakkak.
HapusAku selalu penasaran sama Dieng Culture Festival. Dulu waktu kuliah, ada teman yang membahas soal anak rambut gimbal ini untuk mata kuliah Komunikasi Antar Budaya. Pengin banget ikut festivalnya langsung.
BalasHapusTiap tahun ritualnya ramai, mbak. Bahkan banyak paketan yang ke sini kok.
HapusAku sudah absen di DCF 5 tahun nih. Dulu ke sana kayaknya namanya belum DCF dheng, namanya Ruwat Gimbal biasa. Kayaknya tahun depan perlu diagendakan, cobain kopi-kopinya juga
BalasHapusTulisanmu pertama kayake masih ada di kompasiana, mas hahahahhaha
HapusKemarin ada yg minta kentut ibunya dimasukin plastik lho🤣🤣🤣
BalasHapusSungguh permintaan yang bikin bingung.
Hapus