Kopi dan Gorengan di Warung Kopi Merapi |
Usai bersepeda ke Dongeng Kopi, aku mulai merencanakan kembali bersepeda di akhir pekan. Bersepeda dan mengopi menjadi konsep yang menarik kala pandemi. Aku mencari kedai kopi yang buka pagi, menyesap kopi, lalu pulang.
Di pesan pribadi, aku bertanya rute menuju Warung Kopi Merapi yang berlokasi di Kepuharjo, Cangkringan. Kawan menginfokan jika jalur yang bakal dilewati cukup berliku dengan tanjakan. Mendengar informasi tersebut, aku menyiapkan mental karena sudah lama tidak bersepeda.
“Nanti kita lewat jalur kampung. Pokoknya jarang lewat jalan utama,” Celetuk kawan yang rumahnya di Pakem.
Terus terang tawaran tersebut tak boleh kulewatkan. Hingga akhirnya hari sabtu aku mengayuh pedal menuju titik kumpul. Andar memintaku menunggu di sekitaran Warung Ijo. Pukul 07.00 WIB, Warung Ijo Pakem sudah ramai pesepeda.
Sejak Warung Ijo pindah ke lokasi ini, aku baru sekali datang menaiki sepeda. Pernah suatu ketika datang malam hari untuk izin memasang poster gelaran sepeda. Tidak jauh dari lokasi Warung Ijo yang lama, sudah ada warung kumpulan pesepeda bernama Pos Pit.
Andar dan aku mengayuh pedal sepeda melintasi warjo, sempat dia disapa temannya. Lalu di Pos Pit pun ternyata ada yang kenal dia. Kami terus mengayuh sepeda menuju Rumah Sakit Grasia. Di sini biasanya menjadi tempat para pesepeda rehat, mengatur ritme nafas.
Silih berganti pesepeda melintas, kami masih duduk di trotoar menunggu Bu Hastuti. Tak lama kemudian, Bu Hastuti terlihat. Beliau menggunakan sepeda lipat menuju arah kami. Sepeda yang digunakan itu pernah kupakai sewaktu ikutan Palintang Uphill.
Jalur blusukan di sekitaran Pakem |
Jalan yang kami lintasi berada di samping RS Grasia. Sesaat aku menyapa seorang simbah yang sedang membaca koran di tepian jalan. Sepeda melaju pelan, jalan beraspal mulus, tapi tak lebar. Sesekali di sisi kanan perkebunan salak.
Jika jalur yang beraspal lurus, Andar selaku navigator mengarahkan sepeda belok kanan. Semacam tegalan kecil kami lintasi. Jalur lebih kecil, malah berganti bebatuan. Hamparan kebun terlihat mata, ada satu rumah sepertinya bangunan penginapan.
Jalur dua dapat cor berbalut dengan rumput di bagian tengah. Benar kata Andar, kami dilewatkan jalan kampung. Bahkan tadi melintasi sawah memanjang. Ban sepedaku berukuran 1.50, sama seperti sepeda Cleo yang digunakan Andar. Jadi masih aman.
Gemericik suara air mengalir pada selokan kecil. Suaranya memecah sunyi. Sepoi angin tanpa ada suara mesin menderu. Sesekali suara motor warga setempat yang hendak ke sawah. Atau malah motor-motor tersebut terparkir di sisi jalan.
Lepas jalur kecil bebatuan dan cor dua tapak, berganti aspal. Tak sepenuhnya mulus, di sudut tertentu berlubang. Sedari tadi, tidak ada yang pesepeda yang berpapasan. Ladang warga setempat menjadi pemandangan di jalan.
Pagi ini Gunung Merapi cerah. Puncak gunung merekah, awan tipis di bagian atasnya. Aku menghentikan laju sepeda, memotret gunung berapi ini dari area ladang warga setempat. Lengkap dengan gubuk di tengahnya.
Gunung Merapi dan perkebunan subur |
Palawija dan sayur mayur tumbuh subur. Letusan Gunung Merapi memang menyisakan pilu jika mengingat tragedinya. Di sisi yang lain, adanya gunung berapi ini membuat lahan di sekitarnya subur. Pepaya dan cabai hijau dan subur.
Tak banyak kuingat nama desa-desa yang dilintasi. Salah satu yang teringat olehku adalah Ledok Sambi. Di sini kami melintasi jalan kampung, menyapa seorang ibu yang menggedong anak kecil. Selain itu, ada juga truk menurunkan muatan.
Rumah warga berdekatan, jalan menanjak tapi tak tajam. Lepas dari Ledok Sambi, kembali jalan kecil dua tapak. Rerimbunan bambu menambah hawa sejuk. Sedikit demi sedikit aku terus mengayuh pedal dengan ritme pelan.
Andar hafal daerah sini, rute kembali menyusuri jalan kecil. Suasana desa tersaji, gemericik air mengalir di selokan kecil menjadi irama yang menenangkan. Entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba aliran air di sisi kanan dan berganti di sisi yang lain.
Pada suatu tempat, kulihat area lapang yang ada bangunannya. Seperti tempat mancakrida di jalan kecil. Aku lupa nama desanya, tempat ini tak jauh dari daerah Desa Wisata Pentingsari. Kami berpapasan dengan seorang bapak yang membawa pakan ternak.
“Ada jembatan,” Aku spontan berteriak.
Jembatan ini luas. Hanya saja yang membuatku heran adalah di tengah-tengah jalur jembatan terdapat polisi tidur. Sembari mengayuh sepeda lebih cepat, aku melintasi jembatan tersebut. Sedikit berbagi jalan dengan pengendara motor tepat di tempat berlubang.
Jembatan di Desa Wisata Pentingsari |
Tanjakan menanti, jalan yang berbalur cor semen berbelok, sehingga aku tidak tahu model tanjakannya. Dari sini kuambil kembali gambar dua pesepeda yang bersamaku. Jalur ini menyenangkan, jauh dari keramaian pesepeda akhir pekan.
Dua pesepeda dari arah atas menuntun sepedanya. Sepasang muda-mudi ini hati-hati kala menuruni jalur dari arah belokan. Melihat di depan turunan tinggal sedikit, pria tersebut menaiki sepeda dan memegang rem. Suara berderit saat dia sampai di tengah jembatan.
Perempuan ini mencari aman. Dia terus menuntun sepeda hingga ujung jembatan. Setelah itu baru dinaiki, lantas keduanya berfoto di tengah jembatan menggunakan sepeda. Aku dan dua temanku melepas lelah di dekat tanjakan.
Kupastikan jalur tanjakan ini agak ekstrim, setidaknya melihat dua pesepeda yang turun dengan menuntun sepeda ini sebagai bukti. Kumasukkan kamera, dan mulai mengayuh sepeda melewati tanjakan. Benar adanya, meski pendek, tanjakannya agak tajam.
Lepas tanjakan, terdapat plang informasi di pertigaan kecil. Nyatanya aku sudah sampai di Desa Wisata Pentingsari. Tak asing dengan tempat ini, karena beberapa kawan yang kukenal sering berbincang terkait desa wisata yang populer di Jogja.
Jalanan desa kembali kami lintasi. Di Desa Wisata Pentingsari terdapat beberapa penginapan yang disediakan untuk wisatawan. Aku cukup melihat depan rumah yang ada tulisannya “homestay” sembari menerangkan nama sang empunya.
Kulintasi kendang kambing milik warga, lalu jalur ini mengarahkanku ke jalan besar. Tanjakan kecil nan panjang tersaji. Sisi kiriku sebuah bangunan masjid besar tepat di tepian jalan. Tidak lama melintasi jalan besar, kami belok arah kiri. Spanduk bertuliskan ‘jalan di lockdown’.
Sementara masih aman, jalan tidak tertutup portal warga setempat. Di jalan kecil cor, kami kembali berhenti. Sebuah mobil warga hendak menyalip. Mobil tersebut berhenti tepat di depan kami. Kulihat ini adalah kendang peternakan ayam.
Jalan tertutup portal |
Tak jauh dari kendang peternakan pertama, ada lagi kendang yang juga tak kalah besar. Kami melintasinya. Hingga pada jalan tembusan tertutup dengan ranting. Benar saja, jalur yang menghubungkan dengan jalan besar tertutup pagar batang kayu. Kami tertawa kencang.
“Angkat saja mas. Bisa lewat sisi kanan jalan,” Terang pemuda setempat memberi arahan.
Arahan pun datang dari sekelompok warga setempat yang menebang kayu. Kuucapkan terima kasih dan mulai mengangkat sepeda. Inilah salah satu nilai tambah bagi pesepeda. Kami bisa berinteraksi dengan warga setempat.
Ramainya Pengunjung Warung Kopi Merapi
Tujuan utama bersepeda adalah menuju Warung Kopi Merapi. Gapura besar di depan, tulisan warung kopi Merapi tersemat pada dinding. Menjelang pukul 10.00 WIB, pengunjung sudah ramai. Area parkir luas dipenuhi kendaraan motor.
Warung Kopi Merapi berlokasi di Kepuharjo, Cangkringan. Konsep bangunan semi terbuka ini memang menarik perhatian para pengunjung. Konon, di seberangnya juga dibuka cabang dengan bangunan yang instagramable.
Tiga petugas parkir mengarahkan sepeda kami terus melaju ke utara, melintasi meja-meja yang tertata di luar. Di sana sudah banyak pesepeda yang berdatangan. Mereka berkumpul dengan kawannya, menyesap minuman dan menikmati kudapan.
Warung Kopi Merapi di Cangkringan |
Mataku melihat sekelompok pesepeda yang hendak pulang. Salah satu pesepeda kutahu adalah atlet di Jogja. Beberapa kali aku bertemu dengan atlet sepeda perempuan ini di sekitaran kota ataupun waktu mengopi di Kolega Coffee.
Tatkala rombongan pesepeda ini pulang, aku bergegas membersihkan piring yang tercecar. Kutumpuk semuanya pada satu meja, lalu menggeser satu meja yang cukup untuk empat orang ke arah ujung utara agar tetap terhindar dari matahari.
Andar mengambil daftar menu makanan dan minuman. Aku memesan kopi arabika, sementara urusan cemilan kuserahkan pada dua orang di depanku. Seingatku, pesanannya adalah teh panas, kopi susu, kopi arabika, dan enam porsi gorengan (pisang, mendoan, dan singkong goreng).
Lima minuman ditambah air mineral serta enam porsi gorengan kutebus dengan harga 72.000 rupiah. Rata-rata minuman dan kudapan di sini harganya 7000 rupiah. Harga yang cukup murah, pantas di sini pengunjungnya ramai.
“Atas nama siapa?” Tanya kasir sembari mencatat.
“Sitam, mbak,” Jawab Andar.
“Pakai ‘M’ ya?” Dia berusaha memastikan.
“Iya mbak, pakai ‘M’. Kalau pakai ‘N’ nanti jadi Setan,” Selorohku.
Daftar menu dan harga di Warung Kopi Merapi |
Kasir tersebut menahan tawa. Aku meminta izin untuk memotret di beberapa ruangan. Beliau mengizinkan. Andar menuju tempat duduk di dekat parkir sepeda. Di Warung Kopi Merapi, bangunannya tidak tertutup rapat.
Pengunjung memang sudah ramai. Bahkan lokasi yang di pelataran samping pun sudah dipenuhi pengunjung. Kami sengaja memilih duduk di luar agar bisa berjarak dengan pengunjung yang lainnya. Setidaknya, ini adalah cara kami berjaga jarak.
Di kejauhan seharusnya tampak gunung Merapi. Hanya saja sekarang kabut menutupi gunung tersebut. Tidak jauh dari warung kopi, terdapat jalan panjang seperti jembatan. Seingatku ada banyak sepeda atupun motor berjejer untuk foto berlatarkan gunung.
Kulihat keramaian warung ini. Parkir luas, sedikit berdebu kala siang. Meja dan kursi bisa digeser pengunjung sembari mencari tempat teduh. Para pesepeda silih berganti, ada yang pulang, dan sebagian baru datang.
Satu jam lebih kami menunggu pesanan, akhirnya minuman dan makanan datang. Kopi arabika kusesap tanpa gula. Aku menikmati waktu menjelang siang dengan sesapan kopi serta kudapan gorengan. Kombinasi yang tepat di tempat sejuk.
Area terbuka di bangunan Warung Kopi Merapi |
Jika di kedai kopi aku biasanya menjelajah sudut-sudut tertentu, di sini tidak kulakukan. Aku lebih banyak diam berbincang dengan kawan pesepeda. Sesekali melihat pengunjung yang berdatangan dan bingung mencari tempat teduh.
Warung Kopi Merapi, khususnya area terbuka yang menyatu dengan parkir kendaraan memang tanpa atap. Di pagi hari, meja dapat ditaruh sembarangan dan masih tidak terkena terik matahari. Menjelang pukul 10.00 WIB, sedikit demi sedikit meja digeser agar tidak terik.
Bisa jadi ke depannya konsep outdoor ini bisa dikembangkan lagi, sehingga pengunjung yang datang siang hari bisa nyaman tanpa kepanansan di luar. Bukan tidak mungkin nantinya mereka membuat kursi dan meja yang langsung dengan atap semacam payung.
Jika kalian berkunjung ke sini, aku arahkan datang pagi. Lebih baik di bawah pukul 10.00 WIB jika duduk di luar. Sehingga suasana masih sejuk dan tidak terkena terik matahari. Jika datang selepas pukul 10.00 WIB, opsi paling pas di dalam bangunan.
Menyesap kopi dan menikmati gorengan |
Makanan dan minuman di sini terjangkau. Walau pelayanannya di waktu ramai cenderung lama. Mendoan serta singkongnya enak. Pun dengan pisang goreng. Hanya saja potongan pisang goreng kecil-kecil, tapi lumayan banyak.
Seingatku, di sini kalua pagi didominasi remaja dan pesepeda. Kalau kalian datang akhir pekan, sudah kupastikan ramai. Tanpa terasa kami di sini hingga siang. Kusesap minuman hingga tandas. Gorengan kami bungkus, menata piring dalam satu tumpukan, lalu pulang.
Warung Kopi Merapi menjadi opsi para pesepeda yang suka jalur tanjakan dan ingin duduk santai sembari menatap Gunung Merapi. Jalur menuju ke sini di beberapa titik berbatuan. Bagi pesepeda, jalurnya menyenangkan. Sepertinya, aku bakal ke sini lagi di lain waktu. * Kopi Merapi; 04 Juli 2020.
Kereen.. Niat bener ya mas, nyari kopi sampe blusukan gitu, hehe..
BalasHapusBtw, enak dong kalo potongan pisgornya kecil-kecil, makannya jadi tinggal hap, nggak usah digigit, hihi..
Hahahahah, niat karena sudah lama nggak gowes.
HapusIya, pisang gorengnya tinggal lahap, jadi cepat habis akakakkaka
aku selalu takjub sama pesepeda kaya mas sitam, mas ardian, mas iqbal, dll yg berani nyepeda ke arah jakal atas. selain jaraknya jauh juga tanjakan yang bikin aku jiper duluan.
BalasHapusudah gitu, pesepeda tuh tahu jalur-jalur yang sepi orang meski lewat kampung kampung. jadi inget dulu pas habis dari nyari duren di magelang itu, pulangnya aku dilewatin jalur nyepeda mas iqbal dari turi bisa tembus jalan palagan. lewatnya ya tengah-tengah kampung gitu yang jalannya sempit cuma bisa dilewati dua motor. pesepeda tuh kok ya tau jalur yang mblusuk2 kayak yg mas sitam itu bisa lewat deket RS. Grasia.
wah aku ngiler sama gorengannya, terutama mendoannya itu.
Kalau aku sih sepedaan santai, nggak kejar waktu. Lah wong biasane ro ibuk-ibuk. Mangkat isuk balik sore. Penting makan-makan ahahahha
HapusAbis olahraga naik sepeda, dilanjut ngopi dan sarapan. Sungguh nikmat sekali akhir pekanmu, mas.
BalasHapusAkhir pekan yang sebenarnya biasa setelah tengah pekan sibuk kerja ahahhaha
HapusNah gorengannya ini yang sekarang aku jadi pingin. Wah cari dimana siang-siang gak ada yang jual.
BalasHapusLihat foto-foto diatas kayaknya seru banget bersepeda dengan pemandangan dan udara pegunungan.
Sesungguhnya gorengan di tempat adem itu sebuah godaan yang tak tertahankan. Terlebih ada kopinya ahhahah
HapusDengan konsep warung kopinya yang semi-outdoor begitu malah sebenarnya sudah sejalan dengan protokol kesehatan yang dianjurkan saat berkumpul dalam masa pandemi begini ya. Protokolnya kan menghindari ruang tertutup dengan sirkulasi udara terbatas, area terbuka warung kopi merapi sudah tepat berarti.
BalasHapusNgomong-ngomong manteb juga inisiatif warga yang pasang spanduk jalan di-lockdown, hahha,,
Betul mas, tapi kalau pengunjungnya membludak memang kita harus tahu sendiri, agak mlipir hehehehhe. Semoga pandemi berakhir sehingga geliat seperti ini makin banyak
HapusMasukin Warung Kopi Merapi ke dalam daftar rekomendasi tempat ngopi yang murah tapi asyik kalo ke Jogja. Catatan tambahan, mending dateng ke sini kalo weekday aja, itu pas njenengan ke sana rame banget.
BalasHapusAku bayangin jalur sepedanya, menyenangkan sekali melewati jalanan desa, lihat sawah, taneman, dan pastinya lebih sepi.
Betul, mending pas weekday lebih asyik aku malah pengen dolan ke Semarang, tapi ya nunggu pandemi berakhir dulu
Hapusduuuw singkong gorengnya menggoda banget mas Setan, eh Mas Sitam. kabuurrr
BalasHapusKamu jangan ke sini, nanti gak mau pulang Banjarnegara. Tenan ikih
HapusYang selalu menarik dari kisah gowes Om Sitam adalah gambar pemandangannya yang seolah membawa kita ke sana, serta rekomendasi warung kopinya yang memang tidak mainstream (yang justru saya suka). Pengen euy coba coba sepedaan lagi, lumayan buat jadi alternatif pilihan saat lutut agak lelah karena terus berlari.
BalasHapusMakasih mas, ini hanya bercerita biasa kok. Pengennya kalau ada orang dolan Jogja bisa sekalian mampir jika sempat ehehehehehhe
HapusWaah tp lumayan lama juga ya mas, 1 jam lebih nunggu pesanan :D. Ruame banget apa yg DTG, jd staffnya ga bisa cepet :D
BalasHapusTp aku suka sih konsep nya, terlebih krn menunya sederhana gini. Dan tempatnya juga dari batu2an gitu. Kesannya bikin sejuk kalo batu :). Cocok banget utk tempat ngopi :D
Berhubung sudah dikasih tahu kawan kalau lama, jadi aku sudah antisipasi hehehehe.
HapusTep konsepnya memang menyenangkan, mbak. Kudu ke sini kalau pas luang
asyiknya di daerah sana banyak kedai kopi keren begini .... suasana alam dan pemandangannya oke bangettt, kalau di sekitaran jabodetabek sudah banget
BalasHapusTempat blusukan di sana juga bagus-bagus kang, tuh nyatanya di blogmu banyak blusukannya ahhahaha
HapusBener-bener rute bersepeda yang asyik, mas! Aku baca tulisannya aja seneng. Di sini kalo mau ke daerah kayak gitu rutenya lebih ekstrim dan lebih jauh wkwkwk.
BalasHapusMeski jauh ternyata kedainya rame bangeeettt. Kudu pagi-pagi ya, mungkin sunrise berangkat dari kota hehe
Aku sebenarnya kangen blusukan di Jabar, khususnya melintasi kawasan Ujungberung naik. Melewati pohon kina, dan jalurnya bikin menjerit dengkul hahahhaha
Hapusmenuju ke sana harus melewati jalur tanahnya juga ya ternyata? kalau sepedaku yg fixie ini gak sanggup deh, udah gitu nanjak2 wkwk..
BalasHapusKalau pakai fixie bisa lewat jalur utama, tapi ya di dekat lokasi kudu jalan kaki ahhahhaha. Banyak nuntunnya kalau pakai fixie
HapusAku kepincut sama view gunung Merapinyaa... Apalagi ditambah ngopi plus telo goreng gitu yoo mas... wah mantep tenan...
BalasHapusndang langsung mangkat. Ben sekalian menikmati ademnya Jogja saat pagi ahahahhah
HapusSenangnya bersepeda sambil menikmati pemandangan alam pedesaan. Udah lelah terus mampir ke Warung Kopi Merapi yang kelihatan natural. Menyeruput kopi dan makan gorengan kelihatannya enak bener, Mas Sitam hehehehe.
BalasHapusEnaknya bersepeda pagi dan akhir pekan seperti ini, mbak. Kalau pas sudah siang tinggal tidur hahahaha
HapusSalut sama Mas Sitam yang sepedaan sampai Kopi Merapi. Kalau saya kayaknya sudah menyerah di UII, terus sepedanya dijual saja buat ongkos taksi. :D
BalasHapusBaru sekali saya Kopi Merapi, Mas. Tapi malam-malam, diboncengi kawan naik Megapro... Itu aja agak repot naik turunin giginya. :D Cuma karena malam, bisa nongkrong sampai menjelang subuh. :D Ah, abis baca ini jadi pengen mampir ke Kopi Merapi lagi. :D
Hahahahhaha, lama gak sepedaan. Jadi sebenarnya terasa juga pas ke sini.
HapusKalau malam ke sini memang enaknya naik motor, mas. Naik sepeda bisa berabe hahahahha
Videonya keren banget, pakai kamera apa Bang untuk merekam video, apalagi sambil bersepda...
BalasHapusPas ini pakai Sony A6000, enaknya pakai Gopro sih kalau punya.
Hapus