Gowes Blusukan Berakhir di Jalan Buntu - Nasirullah Sitam

Gowes Blusukan Berakhir di Jalan Buntu

Share This
Mengangkat sepeda karena jalurnya rusak
Mengangkat sepeda karena jalurnya rusak - Dokumentasi Yugo

Satu tanjalan tajam menuju Spot Riyadi terlewati. Dua kawanku malah asyik berfoto di tengah tanjakan. Sepertinya, pagi ini kami sudah disapa beberapa tanjakan. Mulai terasa waktu menjelang arah ke Abhayagiri. 

Tanjakan yang memang terkesan pendek tapi cukup curam ini menjadi rute yang menyenangkan. Usai melintasi tanjakan, kami langsung menyesap teh panas dan menguyah beberapa potong gorengan di Spot Riyadi. 

Sembari menyesap minuman hangat, kami masih berdiskusi terkait rute. Awalnya ingin ke Candi Ijo, lalu berubah ke destinasi yang lain. Kami melihat peta di gawai, menerka jalur alternatif ke Tebing Breksi lewat belakang. 

Rute ini pernah aku lintasi di tahun 2016. Setidaknya aku pernah tahu rute tersebut, sehingga kawan tambah yakin. Ditambah, Ardian juga pernah menyusuri jalur ini jauh sebelum aku. Gorengan di piring kami habiskan, lalu melanjutkan perjalanan. 
Melintasi tanjakan menuju Spot Riyadi
Melintasi tanjakan menuju Spot Riyadi

Arah jalan kami lintasi, melewati turunan depan rumah Pak Riyadi, jalur cor dua tapak tersaji. Turunan agak panjang, aku menahan laju sepeda agar tak terlalu kencang. Sementara dua kawanku sudah jauh di depan. Ban sepeda mereka lebih besar, pas untuk jalur seperti ini. 

Jalan ini cukup sepi, hanya ada hutan jati. Tanah gersang, daun-daun pepohonan rindang. Kami sepakat tidak melihat peta di gawai. Intinya sengaja melintasi jalan cor dua tapak hingga tembus ke belakang Tebing Breksi. Salahs atu patokan yang kami nanti lewati adalah danau kecil tempat pemandia sapi. 

Jalur tetap sama, sesekali jalur berlubang sehingga berpindah. Suara burung menjadi kawan kala pagi. Menyenangkan, setidaknya selama perjalanan tidak bertemu dengan pesepeda yang lainnya. Kami benar-benar bertiga. 

Sesekali perjalanan sepeda kami tersendat. Sepeda Ardian dan Yugo bergantian lepas rantai. Jadi kami benar-benar santai, tak memaksakan kecepatan atau melintasi tanjakan dengan mengayuh sepeda. Jika dirasa capek, kami kompak menuntun. 

Dua kawan mulai sangsi dengan jalur yang kami lintasi. Aku sendiri masih yakin kalau jalur ini memang benar. Seharusnya, ada arah menuju Candi Barong atau bertemu dengan danau. Tapi kali ini tak ada tanda-tanda danau. 

Perjalanan kembali terhenti di pertigaan. Aku keukeh jalur belok kanan, sementara kawan lebih yakin kalau kami sudah salah jalur dan harus belok kiri. Di sini, kami bertemu dengan dua pesepeda dari Solo. Tepatnya dari sisi kiri jalur. 
Berhenti di tengah jalan, melepas lelah
Berhenti di tengah jalan, melepas lelah

“Kalau ke kiri itu tembusnya mana mas?” Tanya Ardian. 

“Sampai Sriningsih, mas.” 

Kedua kawan melirikku, aku tertawa melihat respon mereka. Sriningsih adalah salah satu daerah yang sudah masuk di Kabupaten Klaten. Obrolan berlajut, kami memilih belok kanan. Jalur cor dua tapak ini sepertinya tidak terawat. 

Aku sempat menyapa simbah-simbah putri yang mengambil pakan sapi. Lalu menyusul kedua kawan yang sudah lebih dulu menyibak jalur bersemak. Jalanan makin asyik, belum ada aral yang berat. Kami masih bisa mengayuh pedal sepeda. 

Jalan mentok, tertutup longsor. Kedua kawan kembali melirik ke arahku. Sebagai orang yang memberi ide jalur, aku langsung tanggap. Sembari tertawa kutinggalkan sepeda, kususuri jalan setapak bekas dilewati warga setempat. 

Aku sampai di jalan utama, kuperhatikan seksama kecuramannya, dan masih bisa dilewati meski harus mengangkat sepeda. Jalur ini terkena longsor, entah sejak kapan. Aku terus melintasi dan menerka jarak dari tempat sepedaku sampai jalan utama. 

“Sekitar 70 meter, bisa lewat tapi sepeda diangkat,” Ujarku menginformasikan. 

Kedua kawanku berseloroh, lalu mengangkat sepeda. Beruntung mereka tampak menikmati kalur yang tidak terbayangkan. Sesekali kami bergantian mengambil foto, lalu kembali melanjutkan mengangkat sepeda hingga atas. 
Rutenya tertutup longsor
Rutenya tertutup longsor - Dokumentasi Yugo

Aku paling belakang, Ardian paling awal mengangkat sepeda. Dia sudah mengabadikan sepedanya di salah satu spot. Yugo sendiri masih sibuk mengatur posisi sepeda pada jalur turunan. Lagi-lagi kami saling berseloroh. 

Bekas jalur darurat terlihat menyisir sedikit tebing agak landai. Sepertinya jalan setapak ini dibuat oleh warga setempat yang hendak memotong jalan atau malah memang untuk mencari pakan ternak. Kami berjalan dengan hati-hati. 

Di musim kemarau seperti ini, tidak menjadi masalah untuk melintasi jalur tersebut dengan memanggul sepeda. Berbeda halnya jika musim penghujan. Tanah pasti lebih licin dan labil, sehingga jalur ini tidak aku rekomendasikan. 

“Bisa lewat mas?!” Suara kencang dari arah jalur kami waktu memarkir sepeda, 

“Bisa mas. Tapi harus mengangkat sepeda!” Jawabku tak kalah kencang. 

Dua pesepeda yang tadi bertemu di pertigaan itu menyusul kami. Melihat rute tertutup, dia menginformasikan jika jalur ini kena longsor di tahun 2018. Katanya, ini salah satu akibat adanya Badai Cempaka di tahun itu. 

Seperti yang kami lakukan, kedua kawan baru ini pun memanggul sepeda masing-masing. Agar lebih aman sambil membuat vlog, sadel sepeda aku sematkan pada pundak kanan, lalu Gopro Hero 5 kupegang di tangan kiri untuk merekam. 
Mengabadikan saat blusukan naik sepeda
Mengabadikan saat blusukan naik sepeda

Kami memanggul sepeda sembari tertawa, seperti inilah kalau blusukan tanpa tujuan yang jelas. Sembari berhati-hati, aku terus menapaki jalur setapak, hingga akhirnya sampai di jalan dua tapak tembusan belakang Tebing Breksi. 

Di sini kami bersua dengan bapak warga setempat. Beliau tersenyum melihat tingkah kami, terlebih saat kami bilang melintasi jalur bekas longsoran. Konon katanya, jalan ini mau diperbaiki. Begitulah yang dituturkan bapak-bapak di tepian ladang. 

Mendekati Tebing Breksi, makin banyak pesepeda yang melintas. Rata-rata mereka lewat jalur utama. Kami tidak menuju destinasi tersebut, tujuan kami langsung turun menuju Sup Tuna Mas An di Berbah. 

Perjalanan masih panjang, akhirnya sampai juga di lokasi makan siang. Sup Tuna Mas An ini kuliner rekomendasi Ardian, bahkan dia pernah mengulasnya di blog. Sembari menunggu yang memasak, untuk sesaat kami menikmati minuman yang disajikan. 
Berakhir di Sup Tuna Mas An Berbah
Berakhir di Sup Tuna Mas An Berbah

Dua sup tuna serta tuna bakar tersaji. Tanpa menunggu waktu lama, kami santap bersama. Satu porsi sup tuna berisi satu setengah potongan daging. Untuk kuahnya memang tidak begitu kental layaknya sajian orang pantai. 

Bagiku, sup tuna ini mengobati rasa rindu makanan laut. Setidaknya, tiap pulang ke Karimunjawa, aku pasti menikmati hidangan ini. Waktu terus berjalan, kami akhirnya memutuskan bubar barisan. Total makan di sini harganya 77.000 rupiah. 

Sabtu ini agenda gowes bareng sudah terealiasikan. Besok pagi kami masih ada rencana bersepeda lagi ke Angkringan Puncak Bibis. Sepertinya, pekan ini bakal banyak konten bersepeda bareng kawan-kawan yang biasanya mengopi bersama.* Yogyakarta; 03 Oktober 2020. 

18 komentar:

  1. heuheuheu, ini bener bener blusukan namanya, sampe ngangkat sepeda,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha, pokoknya kalau sama aku tuh kayak gini. Puyeng mereka, pasti mblasuk ke tempat gak jelas

      Hapus
  2. wakakaka aku liat ini di instastory kalian, seru banget tapi rekoso pol. hahahah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rekoso demi konten, ngertine malah mblasuk tenanan

      Hapus
  3. Rute begitu dibilang asyik ya mas :D, kalo aku rasanya lgs nyerah aja wkwkwkwk. Pake gotong2 sepeda segalaaa :D. Ga kebayang sih. Mau sepeda ringan sekalipun, ttp berasa itu hahahahah.

    Tp aku tertarik Ama sop ikan tunanya :D. Kliatan enaaaaaak. Perlu aku coba kalo nanti ke Jogja lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kegabutan kami adalah seperti ini. Tau-tau nyasar dan jalan buntu. Pokoknya asyik ahhahahaha

      Hapus
  4. Rutenya menantang mas. Cukup curam. Salut sama sampeyan yang berani melewati jalur curam itu.
    salam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya tidak curam sih, hanya saja kalau pas musim hujan tidak diajurkan lewat sini. Lebih licin karena tanah liat

      Hapus
  5. Ga kebayang kudu manggul sepeda hahaha :) Untung kuat dan masih muda ya Mas Sitam wkwkwkwkwk. Seneng juga bisa makan sup tuna jadi penghibur kelar jalan2 capek deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahah, sebenarnya tidak sepenuhnya muda juga mbak, cuma karena memang hobi, jadi ya mau tak mau dilakukan haaaaa

      Hapus
  6. Hahahaha, aku ketawa dulu ya mas. ini mah the real blusukan ya mas, sampe harus manggul sepeda gitu wkwk. aku dulu pas dr tebing breksi mau ke prambanan cari jalan via google maps (naik motor), ampun deh, beneran diarahin jalan kecil, mblusuk2 lewat kebon gitu, untung sinyal bagus dan emang mungkin itu rute terpendek kali ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, kan bener hahahhaha
      Kalau dari breksi ke prambanan memang banyak opsi, salah satunya rute ada yang blusukan seperti ini. Jangan-jangan sebagian rute yang kita lewati sama

      Hapus
  7. nyasar nyasar bagian dari petualangan, jadi melihat tempat tempat baru ... dibawa hepi dan asyik terus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul kang, jadi nyasar itu malah dapat konten ahhahaaaha.
      Lumayan, sesekali jalurnya agak terjal biar mirip jalur sepedaanmu, kang hahahahah

      Hapus
  8. Rutenya menantang Mas, tapi kayaknya seru.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Rute dadakan yang menjadikan mereka mumet. Pokoknya dinikmati kalau sepedaan, banyak nyasarnya

      Hapus
  9. Hahaha... seru banget, Mas. Waktu masih sering sepedaan dulu kayaknya saya nggak pernah lihat peta di ponsel, soalnya masih pada pakai Nokia dulu.. ponsel temen paling canggih palingan BB. Tapi rasanya mblusuk itu kayak buka zona hitam di peta hahaha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama, mas. Dulu sepedaan malah asyik karena modal tanya warga setempat serta rentan nyasar hahahahah

      Hapus

Pages