Sate Buntel Bu Hj Bejo di Solo |
Kuatur nafas kala beristirahat di pelataran De Tjolomadoe. Keringat mengucur deras, hampir tiga jam mengayuh pedal tanpa henti. Sepoi angin membuat suasana lebih sejuk. Aku, Yugo, dan Ardian duduk di trotoar sembari melihat pesepeda yang asyik berfoto.
Seperempat jam bersantai, kami melanjutkan perjalanan. Rute kali ini menuju Keraton Solo. Di sana sudah ada Koh Halim yang menanti. Ardian mengayuh sepeda di depan, sepertinya dia lumayan hafal jalan-jalan di Solo.
Aku sendiri menguntit, jalur yang kami lintasi beragam. Mulai dari berbaur dengan kendaraan yang lainnya, hingga melintasi jalur pesepeda. Jalur sepeda di Solo lumayan lebar, hanya saja tetap digunakan untuk kendaraan yang lainnya.
Stadion Manahan, Jembatan Layang dengan ikon warna-warni cat, hingga mengangkat sepeda menyeberangi rel untuk menyingkat rute. Di bawah jembatan layang, banyak orang yang berfoto dengan latar belakang warna merah.
Kompleks Keraton kami lintasi. Jalannya teduh, berbagai transportasi umum seperti angkot hingga becak berlalu-lalang. Kami mengarahkan sepeda menuju halaman keraton, di sini tempat para pelancong yang hendak berfoto.
Bersepeda di kawasan keraton Solo |
Di pinggiran, Koh Halim sudah menunggu kami. Dia mengendarai sepeda MTB. Kami menyapa dan sesaat rehat serta menikmati minuman yang disediakan penjual. Dua penjual acapkali menyapa para pelancong untuk sekadar membeli minuman ataupun makan di angkringan.
Puas berfoto, Koh Halim menjadi petunjuk rute kuliner. Sebelumnya, Yugo dan Ardian sudah menentukan kuliner sate buntel, lantas mereka berkomunikasi dengan Koh Halim terkait warung yang hendak kami sambangi.
Sate Buntel “Sate Kambing Bu Hj. Bejo” menjadi tujuan. Konon di antara banyaknya sate buntel, warung ini yang rasanya paling pas. Di spanduk yang terbentang depan warung, bertuliskan narahubung yang bisa dihubungi untuk memesan sekaligus alamat Lojiwetan, Solo.
Lokasi Sate Kambing Bu Hj. Bejo sedikit masuk jalan kecil, tapi tak jauh dari keraton. Asap mengepul kala kami datang, jejeran kendaraan roda dua dan empat sudah padat. Juruparkir sigap mengarahkan keempat sepeda kami untuk diparkirkan.
Lalu-lalang pembeli ramai, tempat ini nyatanya memang kondang bagi para pecinta kuliner di Solo. Di Maps yang kulihat, alamat warungnya berlokasi di Jalan Sungau Sebakung No 10 Kota Surakarta, Jawa Tengah. Ulasan di Google Maps mencapai 3.400an, ini benar-benar populer.
Warung sate kambing Bu Hj. Bejo |
Kami berempat memesan dua sate buntel, satu tengkleng, dan satu nasi goreng. Sate buntel menjadi menu favorit di sini. Sate ini adalah makan khas Surakarta. Sate buntel terbuat dari daging kambing yang dicincang, lalu dibungkus dengan lemak kambing dan dibakar.
Aku menuju bagian depan warung. Besi tempat membakar sate sudah hitam. Di atasnya, sate kambing dibakar dalam jumpah porsi yang banyak. Pun dengan sate buntel, silih berganti sate ini dibolak-balik agar matangnya merata.
Tiga orang khusus untuk mempersiapkan sate. Mulai dari menyelupkan di dalam wadah bumbu hingga membakar hingga matang. Aku terus mengabadikan, aroma daging sate kambing merebak. Sesekali percikan api terlihat dari arang.
Warung sate kambing Bu Hj Bejo besar, di dalam ada banyak deretan meja panjang. Cukup luas, sehingga para pengunjung tidak berdesakan. Meja panjang yang dilengkapi puluhan kursi, hingga meja kecil untuk empat orang. Tepat di satu sisi yang bersekatan dengan tembok pun dilengkapi kursi panjang.
Ketika kita masuk warung, sisi kiri terlihat para pelayan yang sibuk mengurusi sate. Sementara sisi kanan tak kalah sibuk menyajikan menu tengkleng. Seorang ibu bertugas duduk di meja kasir. Beliau tersenyum melihatku saat memotret.
Pelayan sedang membakar sate |
Sinden secara bergantian menyanyikan lagu. Sesekali tampak orang yang memberikan tip pada sinden, senyum beliau makin jelas. Juruparkir sendiri sedari tadi sibuk mengatur jalanan. Mereka berdua benar-benar mengusahakan jalanan tidak macet.
Tak lama kemudian, pesanan sate buntel datang, lalu tengkleng. Sementara nasi gorengnya belakangan. Sate buntel di sini dua tusuk, tapi porsinya besar. Ini kali pertamaku menyantap sate buntel. Sebagian orang juga menyebutnya sate lilit.
Walaupun terlihat ramai, pesanan kami lumayan cepat. Sate buntel kukira tidak sebesar ini. Koh Halim tertawa melihat ekspresi kami. Rasanya, sate buntel ini sebesar lenganku. Ardian memintaku untuk memotretnya dengan memegang seporsi sate buntel.
Menurutku, satu porsi sate buntel bisa dimakan dua orang. Bentuknya pekat, kulitnya gosong bercampur kecap saat pembakaran. Kugigit sate tersebut, empuk dan rasa mericanya lumayan mengenai lidah. Terus terang, satu porsi ini tidak bakal bisa kuhabiskan sendirian.
Kami berempat menghabiskan dua porsi sate buntel ditambah tengkleng. Perut kenyang. Aku sendiri cukup menikmati kuliner tersebut. Pantaslah banyak kawan yang merekomendasikan kuliner tersebut kalau kami singgah di Solo.
Meja dan kursi di warung sate kambing Bu Hj Bejo |
“Niatnya memang mau kuliner sate buntel sebelum puasa,” Ujar Ardian kala berbincang dengan Koh Halim.
Sedari tadi, Koh Halim sendiri geleng-geleng kepala melihat kegabutan kami bertiga. Jauh-jauh ke Solo bersepeda hanya ingin kuliner sate buntel. Kami sengaja menaiki sepeda lipat dengan tujuan pulangnya bisa dinaikkan ke KRL Solo-Jogja.
Menurut informasi dari Koh Halim, sate buntel di Bu Hj. Bejo ini harganya memang agak lebih mahal. Tapi, harga tersebut sesuai dengan porsi dan rasanya. Pokoknya tidak rugi rasanya membeli dua porsi sate buntel untuk berempat. Itupun tambah tengkleng dan nasi goreng.
Selain menikmati sate buntel, aku juga menyicipi tengkleng yang kami beli satu porsi. Seperti yang kubilang sejak awal, rasa sate buntelnya memang enak. Sesuai dengan lidahku. Untuk tengklengnya pun enak.
Selain itu, tadi Koh Halim memesan nasi goreng. Porsi nasi gorengnya mengunung, mirip dua porsi di tempat yang lainnya. Menurut Ardian, nasi gorengnya juga enak. Bahkan dia mengatakan agak mirip dengan salah satu warung nasi goreng yang ada di Jogja.
Sajian sate buntel khas Solo |
Makan dan minum selesai. Aku menuju pembayaran, kuhitung semuanya beserta minuman. Total yang kami bayarkan adalah 249.000 rupiah. Kami memang sudah mengetahui harga satu porsi sate buntel agak lebih mahal, tapi sesuai dengan ekspetasi.
Perut kenyang, waktu sudah menunjukkan pukul 11.15 WIB. Niat awal, kami hendak melanjutkan kuliner es di sekitaran sini. Sayangnya, pukul 12.30 WIB jadwal KRL Solo – Jogja berangkat. Opsi membeli es legendaris tersebut kami batalkan.
Kembali Koh Halim mengantarkan kami hingga stasiun Balapan. Di sini masih ada waktu satu jam dari keberangkatan KRL. Kami pun kali pertama naik KRL dengan membawa sepeda. Jarak waktu satu jam sebelum keberangkatan adalah waktu yang pas jika membawa sepeda.
Gocapan ke Solo sudah selesai. Target menikmati sate buntel sudah terealisasikan. Kami cukup puas dengan sajian sate buntel di warung sate kambing Bu Hj. Bejo. Di Solo ada banyak opsi menikmati sate buntel, dan yang kurekomendasikan di tempat ini.
Solo memang menyenangkan. Di lain waktu, aku pasti bakal bersepeda ke sini lagi untuk kulineran. Sate buntel menjadi catatan awal kuliner di kota Solo. Bagi kalian yang hendak liburan ke Solo, jangan lupa mencicipi sate buntelnya. *Solo, 10 April 2021.
Bertambah satu lagi daftar kuliner yang mau aku coba di Solo. Btw aku kaget lihat sate buntelnya pas udah jadi. Besar banget, yaa. Bahkan tusuk satenya juga yang tebal, ada yang pakai 2 tusuk bahkan. Duhh makin penasaran!
BalasHapusSatenya satu porsi berisi dua, jadi bisa beli satu porsi aja untuk dua orang hahahahaha. Gede banget mbak
Hapusmba sate buntelnya gendut-gendut pasti mengenyangkan. Ntar kalau lagi mudik ke Klaten tak mampir Solo. Biasanya andalanku cuma soto kalau nggak timlo
BalasHapusBetul mbak, emang gendut-gendut. Pokoknya langsung kenyang kalau makan ini
HapusUdah lama banget aku makan di sini. Pas papa mama mertua msh ada. Awal2 nyari sate buntel di google ditulis sate buntel pak Bejo. Jadi yg kita cari pake Gmaps ya itu. Ternyata tulisan di spanduk Bu Bejo. Eh kata staffnya Krn pak Bejo sudah meninggal.
BalasHapusEnak tp memang mericanya kuat.
Trus tiap balik ke solo, aku pasti cobain sate buntel yg lain. Tapi so far favoritku sate buntel pak Manto mas :D. Mungkin Krn lbh komplit menunya. Dan dia jual tengkleng rica yg aku suka banget.
Hehehehe, bisa ini nanti buat rekomendasi pas dolan ke Solo lagi. Soalnya kemarin cuma numpang sarapan di sini, terus balik.
Hapuswih sate buntel, pernah nyoba yang di Semarang, deket gereja Blenduk..
BalasHapustp kalau di Solo belum pernah nyobain, kayaknya sih rasanya sama aja ya, heuheuheu
ke solo pernahnya makan sate kere di manahan
Aku malah gak tahu di sana, mas. Pankapan tak coba kalau bisa dolan ke Semarang ahhahahah. Kemarin juga lewat depan manahan
HapusPorsinya besar banget, Mas. Satu tusuk sate itu kayaknya cukup buat dimakan dengan satu porsi nasi putih. :D Jauh lebih besar ketimbang sate lilit di Bali. :D Wah, kapan-kapan tak coba mampir ke sana ah. :D
BalasHapusIya mas, misalkan berdua kayake cukup pesan satu porsi sate buntel, dan satunya gulai atau tongseng ahahhaha
HapusAdududududh, suami dan anakku yang bungsu nih kudu dikasih tau ada sate buntel enak di Solo. Ini sate kambing ya? AKu dan si sulung mah ga doyan hahaha :) Cakep bener daging satenya ndut2, ga mesti 10 tusuk ini mah udah begah. Yang makan di tempat juga rame ya. Jaminan enak ini :)
BalasHapusIya mbak, sate kambing. Pokoknya libas mbak. Kenyang banget ini hehhehe
Hapus