Melintasi jalur gravel Jogja - Rawa Jombor (Dokumentasi Yugo) |
Selama mempunyai sepeda, aku lebih banyak mengunjungi destinasi wisata dengan jalanan yang lumayan mulus. Sesekali menemukan jalur tidak sesuai dengan sepeda, tapi itu karena memang jalannya begitu. Kali ini, aku diajak Yugo menuju Rawa Jombor melintasi jalur sepeda gravel.
Awalnya aku mengirimi rute terabasan jalur gravel ke Rawa Jombor yang ada di WAG. Dia mempelajari rutenya, lantas mengabari sudah punya rute yang mirip. Pulangnya nanti dilewatkan kota dengan alasan kuliner Sambal Bawang Belut Bu Tri.
Jalur sudah ada, hari sabtu kami berdua melenggang santai sampai Prambanan. Sepeda belok kanan, melintasi Kebondalem Kidul, lantas menyusuri jalan aspal mulus dengan pemandangan hamparan sawah. Sisi kanan perbukitan tampak hijau. Beberapa bangunan sudah jadi tak jauh dari Spot Riyadi.
Pemandangan sawah tak ada habisnya. Kecepatan bersepeda lumayan kencang, sesekali jalan berlubang, tapi tetap aman untuk sepeda. Jalan masih mulus. Kulihat Yugo membelokkan sepeda ke kiri, lantas menyeberang sisi kanan jalan di jembatan.
Area ladang masyarakat setempat |
Laju sepeda sedikit pelan, kami memandangi hamparan ladang masyarakat setempat. Untuk pertamanya, kami melintasi jalan cor. Menepi dari jalan aspal mulus nan sepi. Udara pagi sejuk, kami menikmati perjalanan dengan mengayuh pedal lebih lambat.
Tidak ada keramaian, jalanan yang kami lintasi mirip jalur Selokan Mataram namun sepi. Tentu ini menyenangkan. Kami bisa bebas melintas tanpa takut mengganggu pengguna jalan yang lainnya. Sedari tadi, hanya ada seorang bapak mengendarai motor yang melintas.
Di depan bentangan ladang warga, kami berhenti. Aku dan Yugo membawa kamera. Jadi perjalanan kali ini bakalan lebih banyak mengambil foto sepeda. Stok untuk unggah di cerita ataupun feed Instagram bakal melimpah.
Beberapa jepretan kami abadikan, lalu melanjutkan perjalanan. Sinar matahari menerobos di sela-sela rimbun pepohonan. Jalur sepeda di pedesaan menyenangkan. Sedikit tanjakan, lalu menurun. Jalan tak lebar. Jika ada dua kendaraan roda empat melintas, salah satu di antaranya harus mengalah.
Menyalip ibu bersepeda dari pasar |
Tanah setapak menjadi jalur kami, kami sontak berteriak riang. Belepotan tanah yang masih basah terciprat hingga mengenai wajahku. Kubiarkan Yugo di depan, kujaga batas jarak agar aman dari cipratan. Sisi kanan, sungai kecil yang mengaliri sawah di sisi kiri.
Terkadang jalan tanah agak licin, ban sepeda terpeleset, tapi aman. Percayalah, sejauh apapun jaraknya, jika jalur yang dilintasi semacam ini tak terasa. Terlebih pepohonan masih menjadi pelindung dari sinar matahari.
Aku tidak hapal rute, beruntung aplikasi Strava sudah kuhidupkan sedari Jogja. Dari keterangan Strava, kami melintasi Sungai Dengkeng. Sisi yang lain sejajar adalah Sungai Birin. Kombinasi jalan setapak, hingga cor terus kami lintasi.
Rute mengarahkan jalan aspal, mendekati rumah warga. Yugo mengayuh pedal pelan, memastikan rute kami benar. Lepas dari gang kecil, nyatanya jalan besar. Sebuah pasar tradisional kami lintasi. Penjual menjajakan hasil bumi di tepian jalan hingga di tengah-tengah jalan.
Tidak kutemukan nama pasar ataupun plang tulisan. Sejujurnya, aku suka suasana pasar tradisional. Jika tidak mengejar waktu ke Rawa Jombor, mungkin aku bakal berhenti dan memotretnya. Banyak warga setempat yang menggunakan sepeda.
Jalur mentok sampai sungai |
Cor semen lebarnya dua meter membentang. Ini merupakan jalan panjang tanpa bertemu pertigaan. Di mulai dari pasar tradisional, hingga jauh di depan jalanan hanya satu. Kami menyalip ibu bersepeda selepas dari pasar. Seperti biasa, kami pasti menyapa beliau.
Kembali ke jalan yang tepat, tanah setapak. Melewati jembatan kecil, kami belokkan sepeda melintasi jalan tanah. Sungai di sisi kanan, lalu jalan aspal. Kami melaju agak kecang, jalan setapak tanah tanpa bebatuan tentu asyik dinikmati.
Jauh rasanya dari jembatan tadi, kami masih melintas jalan tanah. Bekas ban sepeda motor masih basah. Ini artinya, jalan ini dilintasi sepeda motor. Kulihat juga di sisi kiri ada satu motor terparkir. Mungkin pemiliknya sedang di ladang.
Lambat laun jalan mengerucut. Agak semak belukar. Aku berhenti, lantas melirik jalurnya. Semak ini sudah tidak ada jalan lagi. Tempat pertemuan dua sungai kecil. Di ujung sana ada jembatan penyeberangan. Seorang pemuda tanggung hendak memancing memberi informasi jalur ini buntu.
Dua opsi yang bisa kami ambil. Kembali ke jalan utama yang cukup jauh, atau menuruni sungai dangkal dan menyeberang ke jalan utama. Aku langsung melihat kemungkinan apakah bisa dilintasi dengan mengangkat sepeda. Debit air setinggi mata kaki, artinya aman.
Kombinasi jalan tanah basah sedikit berlumpur |
Menyibak sedikit semak, ada jalan kecil menurun. Secara berlahan sepeda kami tuntun sampai bawah. Sepatu dan kaus kakiku sudah basah. Yugo membuka sepatu, dia lebih nyaman jika melepas sepatu daripada basah kuyup terendam air.
Aliran sungai kecil ini bening. Ban sepeda yang awalnya belepotan tanah basah kembali bersih. Kubersihkan sepeda di sini sembari meminta Yugo untuk mengabadikan. Sampai di seberang, kembali kami bersantai. Aku membuka sepatu dan meremas kaus kaki agar sedikit airnya.
“Tidak apa-apa sepeda kotor, yang penting pikiran bersih.”
Terlontar ucapan Yugo diiringi tawa kencang. Di pinggiran ladang warga, kami berkemas. Jalan kecil mengarahkan ke jalan raya. Naik sedikit, jalanan kembali aspal. Waktunya melanjutkan perjalanan menuju Rawa Jombor. Entahlah, ini sampai di daerah mana.
Rute beragam, mulai dari aspal hinggal jalan cor. Terkadang kami melintasi jalan aspal lurus dan mulus tanpa ada perempatan. Tiap sisi banyak pohon bambu. Lalu melintas melewati perkampungan padat. Kami pelan, hingga sampai di dekat pasar.
Jika tidak salah, nama pasar yang ramai ini Pasar Gempol. Perjalanan sedikit tersendat, di ujung pasar ada jembatan kecil, kami belok kiri melintasi area pemakaman, sisi kiri sungai. Jalan berlubang ditambal dengan pecahan batu.
Ban sepeda yang berlumur lumpur basah |
Perjalanan makin seru. Kami lewat di antara sungai dan sawah. Jalan tanah setapak dan kadang berlumpur. Di sinilah keseruan kami kembali pecah. Benar-benar jalur gravel, kami melibas jalur dengan riang, meski ban sepeda mulai tebal tertempel tanah liat.
Suara ban berderit, dedaunan kering hingga tanah turut tersangkut di antara karet rem ataupun frame sepeda di bagian bawah. Sembari tertawa riang, aku mengabadikan momentum ini. Di jalanan, kami menyapa bapak-bapak yang sedang santai di tepian sawah.
Di depan, sebuah motor terparkir melintang, sedikit menutupi jalanan. Bergegas bapak menyadari kehadiran kami langsung menepikan sepeda motornya. Beliau berujar sedang menanam pohon di tepian sungai agar tidak abrasi.
Kami melintas sembari menyapa. Nyatanya jalan masih panjang. Rute makin parah. Tanah liat bercampur lumpur di depan. Sekali kayuh, ban sepeda meleset dan kami harus menyeimbangkan agar tidak jatuh. Lagi-lagi kami tertawa kencang.
Waktunya istirahat sejenak. Kuambil botol minum sepeda, meneguk, dan kembali meletakkan di tempatnya. Tanah-tanah basah sudah tersebar di frame sepeda. Ban sepeda pun berubah menjadi warna coklat. Kami sama-sama mengambil kamera dan mengabadikan.
Tanah basah menggumpal dan menyatu dengan karet rem. Bagian bawah sepeda pun kotor. Biarlah, jika sudah sampai Jogja biar langsung dicuci. Sepedaku sedari dulu jarang kubersihkan, sesekali menyuci, itupun kalau ingat.
Menikmati minuman dan gorengan di Eawa Jombor |
Akhirnya jalan tanah sampai ujung, kami melewati jalan raya besar. Kembali kujaga jarak aman, karena tanah yang menempel di ban sepeda mulai kering dan terlempar hingga mengenai wajah. Yugo melaju kencang, lalu berhenti di dan balik arah.
Hampir saja bablas jalannya. Mendekati area Rawa Jombor, hilir mudik kendaraan lebih padat. Dari jalan raya, kami masuk gang, di ujung sana tampak truk sedang mengisi muatan. Nyatanya, kami sudah sampai di salah satu pojok Rawa Jombor.
Sebelum istirahat di warung, kami memutuskan memutari Rawa Jombor terlebih dahulu. Sepanjang jalan tidak bisa melaju kencang. Pada bagian pembangunan, jalan dibuat model polisi tidur dari tanah agar pengguna jalan melaju pelan.
Tersebar warung kecil milik masyarakat setempat, ada banyak orang yang bersantai sembari menikmati kuliner pagi. Sebagian lagi sekumpulan lelaki yang memancing ataupun menembak ikan. Tidak ketinggalan para TNI yang menjaga portal jalan bangunan.
Menurut informasi, sekali putaran di Rawa Jombor sekitar 6 kilometer. Usai sekali putaran, kami singgah di salah satu warung simbah-simbah. Di sini kami menikmati es teh dan gorengan. Aku membuka sepatu dan menjemurnya agar kering.
Enceng gondok di sepanjang permukaan Rawa Jombor |
Terbentang jauh di depan, Rawa Jombor hendak merias diri. Dulu tiap sudut ada banyak warung apung, kini tidak ada lagi. Mungkin menunggu pembangunan selesai atau memang dikonsep berbeda. Setidaknya, warung-warung apung sebagian besar mati suri.
Permukaan rawa dipenuhi enceng gondok. Beberapa masyarakat setempat mendayung rakit di tengah rawa. Aku melihat tempat ini berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum adanya pembangunan. Benar-benar berbeda. Lalu-lalang lebih banyak masyarakat setempat.
Di masa mendatang, harapannya tentu Rawa Jombor ini bisa menjadi salah satu destinasi wisata andalan Klaten. Seperti yang kita tahu, Klaten mempunyai banyak destinasi bagus, hanya saja belum banyak promosinya. Lebih sering orang melintas saja dari Solo ke Jogja, atau sebaliknya.
Aku sendiri pernah mengunjungi destinasi wisata di Klaten seperti Desa Wisata Jarum, hingga bersepeda menuju Bendungan Kendalsari, dan yang lainnya. Atau kalian hendak ke Girpasang, Deles, atau malah mainan air di banyak tempat. Klaten salah satu pusatnya umbul.
Di salah satu warung area Raa Jombor, kuteguk separoh minuman dingin. Kulihat geliat pembangunan di tempat ini. Harapannya, semoga Rawa Jombor bisa merias dengan cepat dan kembali ramai seperti sedia kala.
*Catatan; Penulis mengunjung Rawa Jombor pada tanggal 06 November 2021. Penulis nantinya perbarui artikel jika berkunjung ke tempat ini di waktu mendatang.
Gowes yg sangat seru. Apalagi k tempat sprti ini, kece badai.
BalasHapusHehehehhe, bikin tambah semangat kalau pas akhir pekan. Olahraga sambil piknik
HapusWow .... Jalurnya bagus dan mulus, Mas.
BalasHapusSemulus tanah lalu jadi becek ahahahahha
Hapusrawa jombor jadi salah satu tujuan wisata di klaten, dulu banyak warung apung yang tersebar di pinggiran
BalasHapussekarang dikumpulin di satu tempat yaaa
Iya mas, sekarang lagi pembenahan untuk dijadikan satu dan dibangun. Semoga lebih baik hasilnya
HapusPas bersepeda aku juga sering cari rute yang jarang dilewati mas. Bukan jalur ramai, apalagi rute yang menuju sebuah destinasi. Pernah lewati jalanan tanah yang lagi becek karena hujan semalam. Banyak tanah yang nyangkut di frame bagian roda. ga bisa jalan dan akhirnya digotong. Sesampainya di sungai sepeda dibersihkan...hahhaa
BalasHapusPerjalanan yang seru mas sitam :D
Kalau sendirian mungkin aku gak berani, mas. Berhubung ini berdua, jadi santai aja hahahahah
HapusYa ampuuuun ban sepeda sampe setebel itu ketutup lumpur ya mas 🤣. Aku pernah sih zaman sekolah naik sepeda ke area lumpur, sampe ga tau lagi bentuk ban. Dikayuh aja udah berat 😅. Bersihinnya lebih capek hahahaha.
BalasHapusTapi pasti seru kalo memang suka bersepeda gini. Aku selama ini sering bolak balik Klaten, tapi ga pernah mampir. Cuma sekedar lewat. Nrxt kalo mudik ke solo, pengen jelajah Klaten jadinya
Klaten banyak destinasi tapi kalah moncer dengan Jogja ataupun Solo, mbak. Sekarang yang lagi ramai itu Girpasang di Klaten
Hapuskalau musim hujan lewat jalur tanah memang jadi tambah menantang 😃
BalasHapustapi suasana hijau hijaunya bener2 menyegarkan, capek2 terus bersantai di warung ... mantap deh
Kudu ganti ban lebih besar kalau lewat jalan tanah, kang. Biar makin asyik
Hapus