Tersesat Sampai Curug Bayutibo di Pleret - Nasirullah Sitam

Tersesat Sampai Curug Bayutibo di Pleret

Share This
Curug Banyutibo di Wonolelo Pleret
Curug Banyutibo di Wonolelo Pleret
Tiga spot sudah kutandai untuk agenda gowes akhir pekan. Semuanya di sekitaran Wonolelo, Pleret, Bantul. Ketiga spot yang kulihat di Google Maps adalah Bukit Pogog, Bukit Punthuk, dan Bukit Kedungpring. Semuanya satu arah.

Seperti biasa, spot terjauh menjadi tujuan pertama. Mengikuti arahan maps, aku mencari spot Bukit Pogog. Sesekali harus berhenti untuk melihat rute. Lantas berbalik arah karena salah jalan. Pokoknya rute yang ada di gawai menjadi satu-satunya petunjuk arah kala pagi.

Jalan aspal mentok hingga di persimpangan. Titik spot Bukit Pogog sudah dekat, kuikuti jalan cor dua tapak. Pada akhirnya, spot ini tak kutemukan. Aku kembali turun, bertanya warga yang melintas. Beliau mengarahkan jika aku kurang naik lagi.

“Tapi plangnya sudah tidak ada, mas.” Terang mbak yang kutanyai.

Aku kembali menuntun sepeda melintasi cor yang memang agak licin. Melewati sedikit petakan sawah di sisi kanan. Sebelumnya, tadi aku sempat mengikuti jalur sisi kiri, malah sampai ladang warga. Aku terus mengikuti jalan cor.
Jalan cor yang yang dulunya menghubungkan ke Muntuk
Jalan cor yang yang dulunya menghubungkan ke Muntuk
Suara gemericik air dari selang-selang pipa terdengar. Pandanganku lebih banyak melihat sisi kiri jalan. Konon rute menuju Bukit Pogog ada di sisi kiri. Tak kutemukan tanda-tanda adanya jalan yang menuju Bukit Pogog. Aku menyerah, ingin putar balik.

Meski sudah tidak yakin dengan destinasi tersebut, sepeda kunaiki hingga jalan rimbun. Tertutup semak belukar. Bagian atas terdapat spanduk yang melarang para penghobi motor trail melintas. Sepertinya, para penghobi motor trail suka blusukan di sini dan menjadikan ladang warga Muntuk di atas terkena dampaknya.

Kembali ada jalan setapak yang menurutku patut kusambangi. Sepeda kuikat dengan batang kayu yang menjadi titian, lantas aku mengikuti jalan setapak. Baru beberapa meter aku balik arah. Lagi-lagi jalan setapak ini adalah akses menuju ladang warga.

Sepertinya pencarian hari ini berakhir. Aku bersantai di dekat sepeda, melihat jalan setapak yang ditandai dengan spanduk peringatan dari warga. Jalan cor dua tapak mentok sampai sini. Setelahnya sudah tidak bisa diakses menggunakan sepeda motor normal.
Mengikat sepeda dengan batang kayu
Mengikat sepeda dengan batang kayu
Semak belukar menutupi sepanjang jalan. Jika ini jalur bisa dilintasi motor trail, artinya mirip dengan jalan waktu aku tersesat mengikuti panduan jalan Google Maps saat ke Bukit Batang. Jalur yang ternyata tak bisa dilintasi oleh kendaraan normal.

Gemericik aliran air makin deras. Aku penasaran dengan sungai yang ada di bawah. Kuikuti jalan setapak, menyibak dedaunan yang basah. Di bawah tampak semacam curug kecil dengan aliran air cukup deras. Aliran air curug ini lebih besar daripada Curug Tuwondo.

Terang saja aku bergembira, setidaknya blusukan hari ini tak berakhir sia-sia. Bergegas kuturuti jalan, lantas menuruni jalur menuju aliran sungai kecil. Aku cukup penasaran dengan bagian atas aliran sungai ini. Apakah ada curug seperti di bawah, atau tidak ada.

Sepatu yang kugunakan licin, telapaknya sudah aus dimakan zaman. Kuinjak bebatuan berlumut. Tentu harapannya tidak terpeleset dan terjerembab di aliran sungai. Suara gemericik air makin kencang. Sepertinya di atas ada banyak aliran yang terjun.
Curug Banyutibo mengalir deras
Curug Banyutibo mengalir deras
Benar saja, jauh di sana ada beberapa aliran semacam curug menjulang. Aku cukup terkejut, tak mengira bakal melihat curug tersebut. Ada tiga titik air yang terjun, tapi tak besar. Aku hanya melihat dari jarak terbatas, jalurnya agak susah diakses.

Suara air cukup deras, sepertinya di atas ada aliran sungai yang tertutup lebatnya pepohonan. Jika aku tak sendirian, mungkin berani sedikit menyibak aliran air dan melihatnya langsung dari bawah. Berhubung sendirian, semuanya aku tangguhkan.

Kulihat peta di gawai, titik bulat pada peta menunjukkan lokasiku sekarang berada. Jika kulihat lebih detail, lokasinya ini berada di bawah perbukitan. Atas sana tampak bangunan yang beberapa waktu lalu sempat ramai diposting kawang-kawan blogger, Little Tokyo. Itu di atas sana.

Ada rasa penasaran dengan aliran sungai ini. Mungkinkah warga setempat sudah menamai aliran sungainya atau belum. Kuikuti lagi aliran sungai yang mengalir ke bawah. Kakiku kembali berhenti karena akses menuju curug yang tadi kuabadikan dari jalan terputus. Tidak ada jalurnya.
Aliran curug lumayan panjang
Aliran curug lumayan panjang
Gopro masih kupegang, sesekali mengambil rekaman untuk vlog. Kamera mirrolens masih dalam tas. Sementara ini aku cukup menggunakan gopro saja. Kuambil foto selayaknya orang yang sedang swafoto di sekitar aliran sungai.

Perjalanan pulang, kuputuskan untuk mengunjungi dua destinasi yang lainnya. Keduanya searah jalan pulang. Sepeda melaju pelan, taus rem benar-benar kutandaskan agar sepeda tak melaju kencang. Mendekati area perumahan warga, kuhentikan sepeda dan menuntun.

“Sendirian mas?” Sapa seorang bapak yang sedang menyapu halaman.

Aku mengangguk, untuk sesaat kami berbincang santai. Kuceritakan pencarian Bukit Pogog yang tak kutemukan. Bapak ini menerangkan memang sebelum pandemi, Bukit Pogog diproyeksikan menjadi salah satu destinasi wisata. Tapi terbengkalai karena pandemi tak berakhir.

Beliau juga menceritakan dulunya jalan cor dua tapak ini sampai di Muntuk. Pembangunan jalan sudah lama, sejak tahun 1985-1986. Keterangan ini tertera pada salah satu pal yang ada di tepian jalan. Hanya saja sekarang akses menuju Muntuk tertutup pertanian warga dan menyisakan jalan kecil.
Berfoto di salah satu aliran curug Banyutibo
Berfoto di salah satu aliran curug Banyutibo
Hal ini pula yang membuatku paham ketika sebuah spanduk larangan penghobi motor trail melintas, karena di sekitaran Muntuk jalurnya melintasi ladang warga. Pun dengan perihal curug yang kutemui. Bapak ini mengatakan nama curugnya adalah Curug Banyutibo.

Perbincangan sesaat yang membuatku makin banyak informasi. Kusalami bapak itu, dan aku menuju destinasi kedua. Namanya adalah Bukit Punthuk. Sebagian besar jalur masih sama dengan waktu berangkat, kuikuti rute yang dipandu Google Maps.

Sebuah plang petunjuk arah bertuliskan Puncak Sosok, artinya jalan yang di ujung jembatan ini bisa mengantarkanku sampai Puncak Sosok. Di maps, jalur yang sama menuju Bukit Punthuk. Jalan kecil yang melintas perkampungan kembali kulewati.

Di tengah perjalanan, sampailah pada pertigaan. Arah ke Puncak Sosok belok kanan, sementara Bukit Punthuk mengarahkan lurus. Melewati tanjakan kecil, lantas belok kanan. Di tepian jalan terdapat deretan kandang sapi milik warga.

Melewati tanjakan kecil dekat kandang milik warga, sampailah di titik koordinat Bukit Punthuk. Aku membelokkan sepeda naik, di sini lengang. Hanya asa satu bangunan bertuliskan Kopi Walikukun, tapi tak buka. Di depannya, tempat duduk pun seperti terbengkalai.

Jika dilihat dari ulasan di Google Maps, harusnya ada tulisan besar Bukit Punthuk di sekitar sini. Kutanyai bapak yang mengendarai motor dari belakang warung, beliau bilang tulisan tersebut sudah tak ada lagi. Lagi-lagi tujuan destinasi tak sesuai dengan ulasan yang dulu.
Mencari keberadaan Bukit Punthuk
Mencari keberadaan Bukit Punthuk
Di belakang, tanah bercampur bebatuan terbentang. Suara palu keras memecah kesunyian. Bekas ban truk pernah berlalu-lalang di sekitar sini. Bebatuan terpahat dalam gerusan. Kukelilingi tempat ini sesaat, lantas memutuskan untuk ke destinasi yang terakhir.

Hanya berjarak kurang dari satu kilometer antara Bukit Punthuk dengan Bukit Kedungpring. Tempat ini malah yang tampak sejak awal, sehingga kujadikan destinasi terakhir. Kamera kumatikan, ada banyak pekerja yang mengumpulkan batu. Takut mengganggu.

Aku berhenti di cakruk warga, berbincang sesaat sekaligus bertanya apakah boleh memotret serta memutari tempat ini. Warga yang berbincang denganku memperbolehkan. Katanya, tempat ini sering dikunjungi pesepeda.

“Malah kadang suka sambil ngeteh di angkringan sana, mas,” Terang bapak-bapak yang sedang istirahat.

Bukit Kedungpring adalah perbukitan yang diambil batunya untuk dijual. Konon dulunya bukit ini cukup besar, hingga mendekati jalan raya. Berhubung diambil batunya, kini tinggal satu petakan. Entah beberapa tahun lagi mungkin sudah hilang.
Berfoto di Bukit Kedungpring
Berfoto di Bukit Kedungpring
Siang ini banyak penambang bebatuan, mereka menggunakan alat seadanya untuk naik dan membelah batu. Suara menggelegar kala bongkohan batu terjatuh. Aku mengamati dari kejauhan, warga ini menjadikan Bukit Kedungpring sebagai area mata pencaharian.

Kusempatkan memotret serta mengambil sedikit vlog, lantas izin pulang. Menyapa sekumpulan bapak yang sedari tadi menemaniku bersantai melepas lelah. Perjalanan lumayan panjang berakhir. Setengah hari ini ada tiga destinasi tujuan yang kukunjungi.

Bukit Pogog yang tak kutemukan, lantas diganti dengan Curug Bayutibo, Bukit Punthuk yang juga hilang tulisannya, terakhir Bukit Kedungpring. Tiga tempat di sekitaran Pleret ini mempunyai banyak cerita, dan hanya sedikit yang kutulis sebagai catatan perjalanan.

Seperti kubilang di awal. Mencari destinasi di Google Maps, lantas mengunjunginya harus bisa menerima bagaimanapun hasilnya. Bagiku, destinasi indah atau tidak itu nomor sekian. Paling penting adalah, aku sudah bersepeda di akhir pekan. *Sabtu, 29 Januari 2022.

12 komentar:

  1. itu batuan di bukit kedungpring kayaknya udah gak lama lagi bakal abisss ditambang
    heuheuheu

    BalasHapus
  2. Mdlihat fotonya sepi begitu, ngeri juga ya? Jika suatu saat kebetulan tersesat. Apalagi cuman sendirian. Tiada teman berunding.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sebenarnya lokasi ini gak jauh dari perumahan warga, cuma memang sepi

      Hapus
  3. kalau tersesat kayak gini mah juga asyik mas
    di pleret itu banyak juga ya tepat seger macam gini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Penting balik kanan, mas. Kalau dirasa gak yakin langsung mutar balik hahahahah

      Hapus
  4. Gagal ke destinasi tujuan, tapi mendapatkan destinasi lainnya. Itu seperti mendapat kejutan dalam sebuah perjalanan.

    Setuju, meskipun belum ketemu dengan destinasi tujuan, yang penting ttp berolahraga.
    Besok dicoba lagi mas sitam :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dicoba pas sama teman saja, mas. Kalau sendirian kayake kapok hahahahha

      Hapus
  5. Aku juga pernah beberapa kali gagal nemuin tempat yg dituju. Kebanyakan Curug sih ntah itu Curug terpencil banget, atau tempatnya memang udah ketutup, ntahlah. Tapi seneng memang kalo bisa nemuin gantinya , tempat yg justru ga disangka. 😄capek di awal jadi kayak tergantikan ya mas

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benar mbak, curug itu sebenarnya banyak musiman kecuali yang besar. Kalau ke sana kudu tahu waktu, sekalian biar aman

      Hapus
  6. hasil blusukan akhirnya membuahkan hasil .... seneng banget ya mas ... sampai di curug yang nyempil begini dan masih asri

    BalasHapus

Pages