Mengenang Gempa Jogja di Monumen Lindhu Gedhe Prambanan - Nasirullah Sitam

Mengenang Gempa Jogja di Monumen Lindhu Gedhe Prambanan

Share This
Monumen Lindhu Gedhe di Sengon, Prambanan, Klaten
Monumen Lindhu Gedhe di Sengon, Prambanan, Klaten
Sebuah tengaran batu kecil bertuliskan kata-kata pengingat gempa Jogja tahun 2016 dalam bahasa Jawa mulai kusam. Tengaran ini sepertinya luput dari perawatan. Turut usang terkena hujan serta terik matahari sejak tahun 2007.

Kubaca tulisan tersebut sedikt terbata. Tak semua kata yang tertera pada tengaran kupahami artinya. Tapi, ketika semua disambungkan, aku menjadi tahu maknanya. Sebuah pengingat dan harapan bangkit pasca gempa ini tertulis di Monumen Lindhu Gedhe, Prambanan.

Penanda lokasi di Google Maps mengantarkanku dalam menemukan destinasi tujuan bersepeda. Kebiasaan dari dulu, aku memang mencari destinasi-destinasi untuk dikunjungi melalui hasil penanda lokasi yang dibuat orang. Aku tinggal melihat ulasannya.

Pemandangan pagi ini cukup indah. Pukul 06.30 WIB, aku sudah di Prambanan, melintasi jalur yang cukup syahdu. Jejeran pohon di tepi jalan, serta pematang sawah menghijau. Gunung Merapi terlihat gagah tanpa tertutup baliho-baliho raksasa.

Sepeda kuhentikan di tepi jalan, kuambil kamera untuk mengabadikan. Suara gemericik aliran irigasi menambah suasana pagi ini lebih menyenangkan. Dua tiga jepretan gunung Merapi sebagai koleksi foto. Aku tetap terdiam melihat hamparan sawah.
Pemandangan Gunung Merapi di persawahan Prambanan
Pemandangan Gunung Merapi di persawahan Prambanan
Seorang ibu yang sedang jalan kaki menyapaku. Di sini, masyarakat setempat memang ramah. Acapkali kulihat pesepeda yang hendak berolahraga ataupun mereka yang menuju sawah. Sepagi ini, jalanan di sekitar desa Pereng sudah ramai.

Warung soto di seberang tampak ramai pengunjungnya. Aku berniat sepulang sepeda nanti ingin sarapan di warung ini. Ramainya warung soto membuatku tertarik menyambangi. Kulihat gawai, jarak yang kutempuh tinggal 2.3 kilometer. Sepertinya nanti bisa pulang lebih awal.

Mendekati Monumen Lindhu Gedhe, aku berhenti melihat gawai. Jika mengikuti panduan di gawai, aku sudah sampai lokasi. Sepeda menepi di penggir jalan, kulihat seberang memang ada semacam monumen. Dari gerbang pagar, tertera tulisan Lindhu Gedhe.

Tak kulihat adanya keramaian di sini. Hanya sekelompok siswa SD yang menyempatkan waktu bermain sembari menunggu lonceng. Mereka tersebar di banyak tempat. Halaman monumen Lindhu Gedhe menjadi area bermain yang menyenangkan.

Awalnya, aku mengira ada jalan kecil yang dapat diakses untuk masuk. Sisi lain sebuah lapangan perkemahan dan bangunan sekolah dasar. Tak kutemukan jalan, aku berpikiran akses masuk melintasi halaman sekolah. Sementara gerbang depan tertutup pagar.
Pintu gerbang Monumen Lindhu Gedhe, Prambanan
Pintu gerbang Monumen Lindhu Gedhe, Prambanan
Niat awal ingin menggeser pagar depan, takutnya tidak diperbolehkan. Aku menyeberang jalan, seorang ibu jualan gorengan dan yang lainnya di teras rumah. Bisa jadi setiap jam istirahat, banyak siswa yang jajan di warung beliau.

“Kalau masuk monumen lewat mana ya bu?”

“Geser pagarnya saja, mas,” Jawab beliau.

Gerbang monumen kugeser, agak berat dan berderit. Tentu ini karena roda pagar sudah mulai berkerak. Sementara itu, sebagian besar siswa SDN 3 Sengon, Prambanan melihat ke arahku yang menuntun sepeda sembari membawa gopro.

Mereka bermain sembunyi-sembunyi. Permainan ini mengingatkanku dolanan masa kecil. Kusapa para siswa yang santai. Ada sedikit rasa malu ketika kudekati. Namun, sebagian besar siswa yang putra malah tampak santai. Mereka mengajakku berbincang.

Monumen Lindhu Gedhe dibangun pada tahun 2007, setahun setelah adanya gempa bumi Jogja di tahun 2006. Tujuan pembangunan monumen ini memang untuk memperingati bencana alam tersebut yang meluluhlantakkan sebagian besar Jogja dan Jawa Tengah, khususnya Klaten.
Pelataran luas di Monumen Lindhu Gedhe
Pelataran luas di Monumen Lindhu Gedhe
Beberapa tahun yang lalu, keberadaan monumen Lindhu Gedhe ini makin ramai. Area yang luas dijadikan warga setempat sebagai pusat kulineran. Bahkan, tadi kulihat ada plang petunjuk arah bertuliskan Taman Kuliner Lindhu Gedhe.

Seperti spot-spot lain yang mengalami masa-masa transisi. Tempat kuliner di Monumen Lindhu Gedhe pun sepi. Kini, hanya tinggal kenangan dan cerita dari mulut ke mulut. Ibu yang jualan di teras rumah menceritakan, awalnya setiap akhir pekan memang pernah ramai.

Sisa-sisa keramaian sudah tidak terlihat. Hanya tertinggal plang bertuliskan kuliner soto di tengah kolam kecil taman monumen Lindhu Gedhe. Tempatnya pun tidak terawat. Jika tidak ada sekolah di sampingnya, mungkin tempat ini banyak semak.

Joglo Tsunami, Wedus Gembel, dan yang lainnya menjadi nama-nama untuk gazebo. Sekilas, monumen ini diharapkan menjadi tempat edukasi bagi masyarakat sekitar. Tentu menjadi hal yang menyenangkan jika bermain dengan anak kecil serta belajar.
Gazebo untuk istirahat pengunjung
Gazebo untuk istirahat pengunjung
Selain sebagai tempat edukasi anak-anak tentang bencana alam, keberadaan monumen Lindhu Gedhe juga menjadi tempat belajar sejarah, khususnya terkait gempa bumi. Tulisan pada prasasti yang terpampang mulai pudar, tak bisa terbaca dengan jelas.

Aku berkeliling, sesekali menyapa siswa SD yang sibuk berlarian. Suara lonceng sekolah berdentang nyaring. Sekumpulan siswa SD langsung membubarkan diri. Mereka masuk kelas dan mengikuti pelajaran. Menariknya, hampir sebagian besar siswanya menggunakan sepeda sebagai alat transportasi ke sekolah.

Bagian atas monument terdapat pelataran berundak dengan tengaran besar bertulisankan Monumen Lindhu Gedhe. Di belakangnya perbukitan menghijau. Tepat di tengah sebuah tulisan Ayo Gumregah, dengan tambahan keterangan tak terbaca.

Sisi kananku, berbagai foto dokumentasi pembangunan monumen Lindhu Gedhe. Berhubung terkena panas dan hujan setiap saat. Majalah dinding yang mempunyai informasi ini pun kusam. Gambarnya menguning tergerus waktu.
Tetenger, penanda informasi pada batu
Tetenger, penanda informasi pada batu
Pun dengan tetenger yang tertulis pada prasasti. Ditulis menggunakan bahasa Jawa, menceritakan gempa bumi kala itu. Dari tiap baris yang tertuang, sedikit kusimpulkan. Ada bencana alam gempa bumi yang meluluhlantakkan Jogja dan sebagian Jawa Tengah, khususnya Klaten.

Banyak rumah yang roboh, orang-orang menjadi kesusahan. Tapi, kita semua tidak boleh putus asa. Semua harus bangkit bersama. Semoga Tuhan memberi berkah untuk kita semua. Secara singkat, itulah yang tertuang pada prasasti di monumen Lindhu Gedhe.

Tidak ada spot-spot yang bisa kujelajai lebih dalam. Siswa SD yang sedari tadi menemaniku sudah menikmati waktu menimba ilmu. Aku duduk santai di pelataran, melihat destinasi lanjutan yang harus kusambangi sebelum pulang.
Anak-anak SD sedang asyik bermain di Monumen Lindhu Gedhe
Anak-anak SD sedang asyik bermain di Monumen Lindhu Gedhe
Monumen Lindhu Gedhe memang bukan tempat yang dikenal dan menjadi tujuan para wisatawan. Bahkan, tak sedikit orang yang mungkin tidak tahu keberadaannya. Meski sekarang terbengkalai, semoga tempat ini masih menjadi area bermain anak-anak SD.

Siapa tahu, anak-anak SD yang sering bermain di sini tertarik dengan sejarah kenapa monumen ini dibuat. Mereka terus belajar tentang bencana alam dan migitasinya. Pagar gerbang kembali kugeser tertutup, waktunya mengayuh pedal sepeda.

Sebelumnya, aku kembali menyapa ibu yang jualan di teras rumahnya. Berpapasan dengan masyarakat sekitar yang hendak beraktivitas. Selain anak sekolah, di sini masih banyak bapak yang bersepeda ke ladang ataupun sawah. *Klaten; sabtu, 14 Januari 2023.

14 komentar:

  1. wah ternyata ada monumennya ya
    jadi inget dulu pas gempa tuh pas aku lagi tiduran di kamar, eh tiba tiba goyang dan genteng rumah ada yang jatuh

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, monumen dibuat untuk mengingat kejadian gempa bumi

      Hapus
  2. Ini mirip seperti momumen tsunami di lhoknga, aceh besar. Momunennya sepi, hanya ada beberapa anak kecil yang sedang bermain di sana.
    Beruntungnya di monumen lindhu gedhe berada di dekat area permukiman. Jadi warga bisa ikut aktifdengan mengadakan kegiatan yang bisa difokuskan di monumen ini. Harapannya monumen ini bisa semakin ramai dan banyak kegiatan dilakukan di sini sehingga monumen yang bagus ini tidak terabaikan begitu aja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kukiran monumen di sana ramai, mas. Soalnya beberapa kali saya lihat kawan yang dolan ke Aceh pasti menyempatkan mengunjungi monumen tersebut

      Hapus
  3. ngeliat ijo2 pemandangan ini jadi adem aja mata

    BalasHapus
  4. Tempatnya terlihat sangat adem yak.

    Mungkin salah satu hal positif yang bisa di ambil dari Monumen Lindhu Gede sepi dari wisatawan adalah tempatnya akan terus terlihat lebih alami.

    Semoga warga sekitar bisa selalu bersama-sama menjaga dan merawat monumen Lindhu Gedhe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Harapannya begitu, mas. Meski pas saya datang, tidak sepenuhnya terawat dengan baik. Beruntung lokasinya bersampingan dengan sekolah dasar. Jadi anak-anak bisa main di sana

      Hapus
  5. Baru tau kalau ada monumennya. Keren sih bisa nemu tulisan ini, jadi menambah pengetahuan. Makasih artikelnya kak hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tempat ini memang tidak begitu terkenal, tapi cukup menarik untuk disambangi pas sepedaan

      Hapus
  6. Lagi blog walking, kayanya tulisanmu juga banyak yang menyoal wisata² yang sering luput dr perhatianku. Keep it up!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih mbak Lina, sukses untuk kita semua

      Hapus
  7. Kalo ke Jogja lagi, aku mau mampir ke monumen ini. Dulu pas gempa Jogja terjadi, aku lagi ga di Indonesia. Jujur ga ngikutin detilnya. Tapi sedih banget liat foto2 kerusakan yg terjadi. Ga kebayang saat gempa terjadi seperti apa kepanikannya 😔

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tempat ini ada di jalan alternatif Prambanan, jadi lewatnya nanti sekitaran Candi Sojiwan, mbak. Kalau suka persawahan, pasti senang lewat sini

      Hapus
  8. Wah, iya tuh kelihatan sekali Monumen Lindhu Gedhe Prambanan ini tidak terawat. Bahkan tulisannya sudah kurang jelas. Hampir dipastikan masyarakat tak mengenali tempat ini. Ya, meskipun sederhana namun memiliki arti khusus ya untuk mengenang gempa Jogja saat itu.

    BalasHapus

Pages