Sekelumit Cerita Tentang Stasiun Maguwo Lama |
“Kakek dulu pernah berjuang di Bandara Maguwo.”
Kalimat itulah yang sampai sekarang aku ingat setiap mendengar cerita dari almarhum kakek. Sewaktu itu aku masih kecil, dan belum tahu apa-apa. Bahkan ketika beliau meninggal pada tahun 1992an, aku masih terngiang kalimat tersebut. Beliau diistirahatkan di Taman Makam Pahlawan Totolisi Sendana, Sulawesi Barat. Aku hanya bisa melihat foto-foto upacara pemakaman beliau yang masih tersimpan di rumah.
Bapak dan paman sering bercerita mengenai perjuangan kakek. Sekarang nama beliau diabadikan menjadi nama sebuah jalan di tempat kami. Sersan Moh. Toha, nama tersebut menjadi jalan tepat di area rumah kami di Karimunjawa. Sayangnya tidak banyak kuingat mengenai cerita-cerita kakek lainnya.
*****
Sebuah poster yang diunggah Instagram Malamuseum tak sengaja kubaca. Poster berlatarkan sebuah bangunan kayu dan bertuliskan “#KelasHeritage; Kisah Stasiun Maguwo Lama.” Ditambah deskripsi mengenai stasiun tersebut, stasiun kecil nan antik yang terbuat dari kayu dan berada di tengah perkampungan ini semakin terlupakan. Padahal, ada cerita menarik yang terdapat dibalik stasiun ini.
Begitulah tulisan yang ada diposter, tulisan yang membuatku tertarik mengikuti acara tersebut. Lagi pula, lokasinya tidak jauh dari kos. Sekitar 4 KM dari tempatku. Akhirnya aku benar-benar mengikutinya. Bermodalkan denah dari Google Maps yang dikirim Mas Halim, aku beranjak ke sana.
“Stasiun Maguwo Lama lokasinya di mana ya bu?” Aku bertanya ke seorang ibu pemilik warung di seberang Pasar Sambilegi, Maguwoharjo.
Jalan Anggrek dekat dari Stasiun Lama Maguwo |
“Masuk gang samping warung ini mas. Nanti ikuti jalan terus, pasti sampai.”
Kulewati gang kecil yang hanya muat satu motor. Semakin ke dalam, aku dipusingkan banyaknya arah. Untuk kedua kalinya aku bertanya pada penduduk sekitar. Beruntung ibu yang sedang menyapu halaman dapat memberi arah dengan baik. Selain itu, lokasinya sudah dekat.
“Tapi stasiunnya itu nggak ada kereta yang berhenti loh mas. Keretanya berhenti di dekat Bandara,” Ujar ibu tersebut.
Aku menjawab kalau tujuanku ke Stasiun Maguwo Lama bukan untuk menunggu kereta, tapi mengikuti acara yang diselenggarakan Roemah Toea berkolaborasi dengan Malamuseum. Kulanjutkan menyusuri jalan yang lebih lebar. Tepat di ujung seberang jalan anggrek, bangunan kayu itu terlihat.
Bangunan Stasiun Lama Maguwo masih kokoh |
Di depanku bangunan yang sama persis dengan latar belakang poster beberapa waktu lalu kulihat di Instagram. Aku disambut Faiz (perwakilan dari Malamuseum) yang sudah menunggu sedari tadi. Kami berbincang santai sembari menunggu peserta lainnya.
Acara dimulai pukul 09.19 WIB dan diawali dengan kumpul di dalam stasiun lama. Di sini perwakilan dari Roemah Toea, Malamuseum, dan dari pihak Stasiun Maguwo. Pak Burhani selaku kepala Stasiun Maguwo mengapresiasi kegiatan ini. Kami menyempatkan foto bersama di bagian depan museum.
“Mohon kiranya hati-hati, dan tolong teman-teman dikondisikan agar tidak melewati rel Kereta Api,” Pesan Pak Burhani.
Pak Burhani (Kepala Stasiun Maguwo) berbincang dengan peserta cilik Kelas Heritage *Jalur rel belakang peserta cilik tersebut tidak aktif |
*****
Stasiun Maguwo Lama dibangun pada tahun 1909, lokasinya berada di Kembang, Maguwohargo. Berjarak sekitar 300 meter dari Stasiun Maguwo yang baru. Stasiun ini pernah direnovasi pada tahun 1931. Kemudian tahun 1950an kembali ada tambahan gedung yang ada di luar/di dekat bangunan stasiun. Pada dasarnya bangunan sekarang masih asli semua, bahkan atap-atapnya masih asli.
Stasiun Lama Maguwo menjadi Cagar Budaya |
Dilihat dari bentuknya, bangunan Stasiun Maguwo Lama ini merupakan bangunan Belanda karena bentuk bangunanya tinggi-tinggi. Bangunan Stasiun Maguwo Lama disekat menjadi dua. Satu ruangan dijadikan bagian administrasi dan ruangan satunya untuk kepala stasiun.
Terlihat ada bekas dua lubang yang berada di bagian sudut bangunan, menurut informasi dari teman-teman pemandu, bekas lubang yang ditambal tersebut adalah bagian loket. Dulunya tiap orang yang ingin membeli karcis melalui lubang tersebut.
Tempat loket sudah ditambal, tersisa hanya bekasnya *dalam lingkaran merah |
Stasiun Maguwo Lama beroperasi sampai tahun 2007. Tahun 2009 – 2010 stasiun ini direnovasi termasuk pengecatan. Dulunya stasiun ini catnya berwarna hijau. Atas bantuannya dari pemerintah, stasiun ini masih ada dan terpelihara. Setelah itu untuk pemeliharaannya diserahkan pada Pak Lakso.
Menarik memang melihat bangunan Stasiun Maguwo Lama terbuat dari kayu. Ada empat stasiun yang dulu bangunannya terbuat dari kayu; Stasiun Mayong (Jepara) Stasiun Gresik, Stasiun Maguwo, Stasiun Grobogan. Kemungkinan masih ada stasiun pada masa Belanda lainnya yang terbuat dari kayu. Hanya saja yang teridentifikasi saat ini empat stasiun tersebut.
Kondisi bagian dalam ruangan Stasiun Lama Maguwo |
Kereta api tersebut adalah Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) milik Belanda, Staatsspoorwegen (SS) milik pemerintah Hindia Belanda, dan Kereta Api Gula. Jalur kereta Api pabrik gula itu berasal dari dekat bandara. Tepatnya adalah di Museum Dirgantara.
Ukuran jarak rel kereta api antara NIS dan SS tidaklah sama. Jika jarak rel NIS itu sekitar 1.4 meter, sedangkan SS jarak relnya sekitar 1 meter. Jalur kereta api lama mirip dengan jalur yang ada sekarang.
Perbedaan ada di bagian persilangannya. Pada masanya satu jalur rel bisa digunakan dua kereta api yang berbeda (NIS & SS). Caranya, rel yang jaraknya 1.4 meter, di tengahnya ditambahi lagi rel untuk yang ukuran 1 meter.
Diskusi dibekas sisa pondasi rel Staatspoorwegen |
Perbedaan lain antara NIS dan SS dapat dilihat dari bangunan stasiunnya. Stasiun NIS bentuknya lebih bagus dan glamor, contohnya Stasiun Tawang, Semarang. Sementara bangunan stasiun SS lebih sederhana. Contoh yang bisa dilihat itu Stasiun di Kroya, Purwokerto, dan Kutoarjo. Sedangkan stasiun Tugu adalah kombinasi antara keduanya.
Stasiun ini juga sempat diduduki Jepang. Termasuk pembongkaran rel di beberapa sisi (sisi utara) yang dijadikan rumah warga. Jepang masuk dan mengubah beberapa jalur yang tidak sesuai. Perbedaan pembangunan pada masa Belanda dan Jepang cukup mencolok.
Jika pada masa Belanda pembangunan dilakukan dengan teliti dan kualitas hasil bangunan baik, sementara pada masa Jepang hanya asal-asalan. Contoh pembangunan rel kereta api masa Jepang adalah rel Muara – Pekanbaru.
Di dekat Stasiun Lama Maguwo ada rumah dinas yang ditinggali oleh Pak Narso (semasa hidup). Pak Narso adalah Kepala Stasiun sejak tahun 1950 – 1976. Beliau aslinya dari Purwokerto dan bertugas di sini. Sebelumnya, pada tahun 1937 Pak Narso dinas di Stasiun Tugu.
Sisa bangunan rumah dinas yang sudah hancur |
Selepas pak Narso meninggal, rumah dinas tersebut ditinggali oleh Pak Lakso (anak dari pak Narso). Tahun 2006, rumah tersebut hancur akibat dari gempa. Rumah dinas itu dibangun bersamaan dengan pembangunan stasiun. Ada renovasi pada tahun 1938. Di rumah ada tempat khusus untuk kamar pembantu, dan dapur. Pak Lakso diserahi pihak stasiun untuk merawat rumah dinas dan Stasiun Maguwo Lama.
Saksi Bisu Agresi Militer Belanda II
Stasiun Maguwo Lama posisi di depan bandara. Bandara dibangun pada awal 1940an. Agresi militer 2 Belanda terjadi pada tanggal 19-20 Desember 1948. Pada saat ini bandara sudah dikuasai Belanda, kemudian pasukan Belanda menguasai Jalan Solo.
Stasiun Maguwo lama adalah bagian dari saksi sejarah yang terlupakan. Pada kenyataannya stasiun juga terlibat diserbu. Pada saat agresi militer 2 ada banyak yang gugur dari pejuang dan warga sipil. Menurut cerita almarhum Pak Narso, di pohon Kamboja ini ada 7 jasad yang dikubur. Tidak dikenali siapa-siapa orang yang gugur, karena yang gugur tidak hanya pejuang tapi juga warga sipil.
Pohon Kamboja yang tidak jauh dari Stasiun Lama Maguwo |
*****
Ada banyak cerita yang menarik mengenai Stasiun Maguwo Lama ini. Stasiun yang jaraknya antara 300 meter di barat Stasiun Maguwo sekarang juga pernah dijadikan lokasi syuting film Janur Kuning pada tahun 1979. Film yang menceritakan tentang kisah peperangan di Jogja dan dikenal dengan sebutan Serangan Umum 1 Maret.
Aku antusias mengikuti kegiatan #KelasHeritage dari awal sampai akhir. Dalam benakku, ada kalimat yang menyeruak ingin keluar. Sebuah kenangan masa kecil ketika aku antusias mendengarkan kisah yang diceritakan mendiang kakek tentang Maguwo. Aku yakin, daerah inilah yang dulu beliau sering ceritakan.
Foto bersama Kelas Heritage di depan Stasiun Lama Maguwo/ Dok: Fanspage Roemah Toea |
“Kakek, aku sekarang di Stasiun Lama Maguwo. Stasiun yang tidak jauh dari bandara Maguwo. Tempat yang kakek ingin pertahankan bersama pejuang lainnya dari serangan Belanda.”
*Informasi mengenai sejarah Stasiun Maguwo Lama penulis dapatkan dari para pemandu acara #KelasHeritage (Komunitas Roemah Toea & Malamuseum) saat kunjungan ke stasiun pada hari Sabtu, 11 Maret 2017.
Sungguh luar biasa,,
BalasHapusSaya memberikan apresiasi yg setinggi-tingginya kpada Anda sob,,
Luar biasa sejarah ini, saya terhanyut membacanya,,
Selepas gempa direnovasi, terus stelah pak narso mninggal kmudian anaknya larso dan sterusnya,, membawa imajinasi ku melayang jauh ke tahun 80 90 an,, luar biasa ente sob..,
Up plus bwat ente sob..
Terima kasih mas.
HapusSaya hanya menuliskan sedikit dari sekian banyak cerita yang tersimpan pada Stasiun Maguwo Lama.
Masya Allah :)
BalasHapusagak merinding rasanya. Jadi ingat masa-masa belajar pelajaran Sejarah. Dan memang, hampir semua stasiun yang pernah saya singgahi, pasti ornamen Belandanya masih ada. Terasa sekali. Ntah itu dari pintu utama, kerangka besi langit-langit, lonceng, bahkan jam tua besar yang terlihat sangat antik. Daripada merasa hal itu 'asing', saya merasa ciri stasiun kereta api di Indonesia yang seperti itu sudah lumrah terasa.
Semoga dengan acara-acara yang seperti itu kita bisa lebih menghargai jasa para pahlawan dengan hidup yang lebih bermanfaat sekarang, amin :)
Benar mbak. Stasiun-stasiun yang sudaha da sejak lama mempunyai banyak cerita. Jika ditelisik tentu kita akan penasaran dengan sejarahnya.
HapusPeserta kelas heritage nya rame yah.
BalasHapusKelas heritage kedua pesertanya malah lebih banyak lagi :-)
HapusStasiunnya terlihat klasik tetapi sepertinya bersih. Sayangnya rumah dinas gak dibangun lagi
BalasHapusRumah dinasnya benar-benar sudah lebur mbak. Hanya meninggalkan sisa seperti itu saja
Hapuskalau baca ginian, kdg aku jadi keingat cerita yangkungku juga mas. Ngeri ya jaman dulu, setiap keluar merasa gak nyaman banyak suara tembakan.
BalasHapusIni berarti kamu napak tilas ya mas
Kalau ngelihat bangunan stasiun maguwo desainnya itu agak2 mirip di Stasiun Klakah ( Lumajang ) di bagian atapnya
Bisa ditelisik itu stasiun Lumajangnya mbak :-)
Hapuswah sayang aku wes ra neng jogja? dulu juga pernah ada acara beginian di stasiun Kalasan.
BalasHapusyang ngadain temen temen Railfans Semboyan35.
tapi pas kui aku yo ra iso :(
Makane jangan cepat-cepat meninggalkan kota Jogja hahahahha
HapusMengingat jarak di kota2 di Indonesia jauh2 dan terpencar, sebenernya transportasi yg paling efektif memang kereta api yaaa.. Moga2 aja kita msh bisa menikmati kereta cepat seperti shinkansen jepang, dari satu kota ke kota lainnya. Jd lbh mnghemat waktu.. Skr aja udh seneng liat stasiun2 yg semakin bgs dan bersih, jg teratur yg paling penting. :)
BalasHapusMenarik bgt nih stasiun lamanya dijadikan meeting point dan menceritakan sejarahnya.. Aku rada serem pas baca yg pohon kamboja itu, dikubur 7 jasad.. :( . Kdg jd bikin penasaran siapa yg terbunuh..
Pengen rasanya rute stasiun Jogja Semarang dihidupkan. Tentu bakal menghemat waktu saat pulang ke Jepara
HapusKalo jeli, ukuran rel di museum kereta ambarawa juga berbeda mas.
BalasHapusMemang pada masa itu belanda membuka pintu selebar2 nya bagi yg ingin berinvestasi di bidang kereta api, makanya banyak perusahaan kereta yg berbeda2.
Peninggalan2 semacam ini patut untuk diangkat kembali supaya tidak hilang jejak arsipnya.
Btw ini stasiunnya masih dket jalur rel utama ya? Ga ngeh kalo ada bangunan itu tiap naik prameks :D
Tambahan yang menarik, apalagi aku belum pernah ke sana.
HapusIya mas. Lokasinya dekat dari jalur rel dan hanya berjarak 300 meteran dari stasiun baru
Semoga kamu juga bukan termasuk dalam sejarahnya yang terlupakan ya mas? uhuks
BalasHapusAgak nyesel ga ikut. Padahal ada 2 kloter termasuk minggu kemarin yo pas ada lagi :(
Tenang sodara-sodara. Saya tidak dilupakan kok
HapusWah Gedung nya masih berdiri kokoh ya Mas. Tapi Stasiun nya sampai sekarang masih kepakai tidak Mas..
BalasHapusSudah tidak dipakai untuk stasiun mas
HapusSerasa ada dijamannya. Pengetahuan banget nih, meskipun belum secara langsungke stasiun maguwo :)
BalasHapussesekali sepedaan ke sini mas :-)
HapusSetuju banget sama komen-komennya, saya juga ikut terhanyut membaca cerita dan sejarah dimulai dari kakek Moh Toha... serasa kembali ke jaman peperangan dan melihat bangunan tua tersebut dari sisi lain. thanks
BalasHapusTerima kasih mbak. Saya sendiri masih belajar menulis tentang sejarah :-)
HapusWah informasinya menguak kisah yang beda dari yang lainnya...Super...
BalasHapusJadi penasaran pengen banget ke tempat itu!...
Terima kasih,
HapusIni hanya menceritakan dari sudut pandang saya disertai referensi hebat dari teman-teman komunitas.
melihat bangunan tua memang menyisakan album-album kenangan dan bayang2 seperti apaa ya jaman dulu. Seru banget kelasnya mas, anakku suka banget dengan kereta, antusias banget baca cerita mas ini pas aku tunjukin
BalasHapusSalam buat dedeknya mbak. Salut dengan njenengan yang bisa membuat dedek suka dengan kereta apalagi kalau sempat diceritakan sejarah kereta. Saya yakin jika dedek terus diberi arahan, dia akan menjadi penulis yang suka mengulas heritage. Semoga..
HapusSelain belajar, juga jadi mengenang perjuangan-perjuangan sang kakek ya :)
BalasHapusDenger denger komunitas roemah toea merawat Stasiun Maguwo Lama ini, misal merapihkan rumput-rumputnya, ya? Saya pengen ikut kelas heritage di Maguwo kalau suatu saat ada lagi.
Benar mbak, teman-teman komunitas ini yang membantu menjaga dan membersihkan stasiun kereta lama. Mereka benar-benar hebat.
HapusIya, saya salut sama mereka. Sangat mengispirasi juga menarik ^^
HapusAkhir pekan ini ada kelas lagi mbak. Tapi di Kalasan, kali aja mau ikut.
HapusSepertinya mesti sering2 diadakn kelas heritage nie...biar cerita2 sejarah kayak gini tetap diketahui & dikenang. Jangan sampai hilang dtelan jaman....keren mas sitam :D
BalasHapusKemarin juga ada heritage, katanya di Candi Sambisari. Saya nyesal tidak bisa gabung.
Hapussuka ama konstruksi kayu nya. unik dan fotogenik.
BalasHapusbaru tahu ternyata ada maguwo lama dan baru. aku tahunya sih maguwo yang di sebelah bandara. Biasanya turun pesawat terus naik pramek dari maguwo
Kalau dari stasiun baru menuju Jogja, lokasinya hanya berjarak 300 meter kanan jalan mas.
Hapusbangunan2-nya masih terawat dengan baik, bisa dikemas jadi tempat wisata.
BalasHapussaya suka bangunan2 peninggalan zaman belanda .. keren
Bangunan ini dipelihara dan dalam beberapa waktu terakhir sering ada acara di sini kang
HapusMenarik sekali, mas. Sampai 2007 ternyata stasiun kayu ini masih beroperasi ya, yang notabene udah memasuki era modern.
BalasHapusKira-kira deket situ ada warkop nggak ya. Aku seneng duduk liatin kereta komuter wara-wiri :D
Nggak ada mas, hehehhe. Di sini sepi dan berada di komplek, serta berjarak hanya 300 meter dari stasiun yang baru.
HapusAsik nih jalan-jalan ke bangunan bersejarah. seperti ini
BalasHapusDi Jogja sekarang asyik kalau ingin wisata heritage. Ada banyak komunitas yang bisa memwadahi keinginan para wisatawan untuk mengenal lenih jauh tentang sejarah
HapusHalo Mas Nasir. Sebelumnya saya mau bilang terima kasih karena udah bikin artikel ini. Jujur saya tuh lagi kepo tentang silsilah keluarga saya dan saya iseng nyari info tentang kakek saya (ya, Pak Soenarso adalah kakek saya). Ibu saya adalah anak terakhir beliau dan Pak Laksa adalah kakak ibu saya (Pakde saya). Nggak banyak yang saya tahu sebenarnya ttg kakek karena beliau wafat tahun 2001/2002'an ketika saya umur 2/3 tahunan lah. Kakek saya dimakamkan di pemakaman daerah situ. Salam, Lailya A.
BalasHapus