Ketupat dan Lepet kala Pesta Lomban di Karimunjawa |
Hari masih gelap, azan subuh baru saja berkumandang. Di dapur rumah, emak dan kakak perempuanku sibuk. Sekarang hari ke delapan lebaran atau lebih tepatnya satu minggu setelah lebaran, waktu yang dinantikan para pecinta ketupat. Di Karimunjawa, bahkan di Jepara pada umumnya hari ke delapan lebaran waktunya pesta lomban.
Pesta Lomban adalah tradisi yang terus berjalan di Jepara. Masyarakat Jepara pada umumnya merayakan dengan membuat ketupat dari janur (daun muda kelapa yang masih berwarna kuning). Selain Ketupat, mereka juga membuat Lepet sebagai pasangannya. Di Jepara, pesta lombanan sangat meriah.
Perbedaan antara Ketupat dan Lepet selain dari bentuknya adalah isi yang ada di dalamnya. Jika Ketupat terbuat dari beras biasa, sementara Lepet dibuat dengan bahan baku ketan dicampur santan. Rasanya jauh lebih gurih, dan sudah cukup nikmat jika hanya dimakan biasa. Lauk-pauk yang dihidangnya rata-rata berupa opor ayam.
Semoga tahun depan aku dapat mengulas keramaian Pesta Lomban di Jepara. Karena tahun ini aku sengaja menunggu lomban di kampung halaman setelah dalam kurun waktu 10 tahun baru dua kali ini ikut menyemarakkan lomban di kampung halaman.
Semua makanan dikumpulkan menjadi satu |
Di Karimunjawa sendiri pesta lomban terpisah-pisah tempatnya. Bagian Karimunjawa berkumpul di Ujung Gelam, sementara kampungku di Pantai Hadirin. Kampung Kemujan di area Pantai Kohin, Batulawang di sekitar Legon Bajak, dan Mrican di dekat Jembatan Mrican. Walau berbeda tempat, tujuannya sama. Pesta rakyat bareng dan bersyukur atas rejeki yang telah Tuhan berikan.
“Jangan lupa uang wajibnya,” Emak mengingatkan.
Uang wajib itu ditaruh di dalam bungkusan ketupat. Dulu uang wajib itu koin 500an, dibungkus dengan kerta putih dan ditaruh dalam bungkus bercampur dengan nasi. Kalau sekarang, uang wajib biasanya uang kertas Rp.2000an yang juga dibungkus dengan kertas. Uang tersebut nantinya dijadikan satu oleh pengurus musola dan menjadi uang kas musola.
Waktu sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Berbondong-bondong warga Kampung Jelamun yang masih di rumah menuju pantai Hadirin. Tiap keluarga membawa bekal bungkusan ketupat lengkap dengan lauknya. Semua bekal yang dibawa dijadikan satu di tikar plastik yang tergelar di tanah.
Aku ikut berkumpul menjadi satu. Tanah lapang yang digunakan berkumpul dulunya adalah bekas Tempat Pelelangan Ikan. Aku masih ingat saat masih kecil sering menantikan nelayan pulang dan meminta ikan untuk dibakar. Nelayan-nelayan tersebut menjual ikan di sini langsung.
Tua, muda, remaja, balita berkumpul menjadi satu. Dikenakan pakaian terbaik seperti saat para lelaki ingin menunaikan salat jumat. Bau wangi semerbak menyusup di hidung. Wajah-wajah ceria warga kampung menyatu penuh keakraban. Aku yang sudah amat sangat lama tidak bergabung terasa besar bagaimana kekeluargaan warga di sini.
Warga Jelamun mulai berkumpul di Pantai Hadirin |
“Wah akhirnya bisa lombanan di sini juga kamu, Rul,” Celetuk temanku sambal berjabat tangan.
Teman-teman seangkatanku sudah mempunyai momongan. Bahkan anaknya ada yang sudah besar. Aku tersenyum, sesekali bertanya sedang musim ikan apa sekarang di sini. Teman-temanku hampir keseluruhan berprofesi sebagai nelayan, dan mereka kini sudah lihai membaca cuaca. Pengalaman memang tak dapat dipungkiri.
Beruntung lahan di sini cukup luas, dan teduh. Beberapa pohon kelapa membuat sinar mentari terhalang. Kelompok-kelompok kecil menyatu membentuk sebuah perkumpulan besar. Suara riuh rendah kala acara belum dimulai. Lombanan di kampung lebih banyak para ibu-ibu yang datang.
Setiap warga yang datang membawa bekal untuk disantap bersama. Tidak lupa dari mereka ada yang membawa Ketupat & Lepet kecil yang akan digantungkan di kapal mereka. Semacam sugesti jika setiap kapal harus diberi ketupat dan lepet agar tetap berkah dan rejeki semakin melimpah.
Seperti yang dibawa Pak Nuriyat, beliau adalah tetanggaku yang mempunyai kapal di pelabuhan Hadirin. Beliau menenteng Kupat dan Lepet kecil, lalu menggantungkannya di pohon rindang di ujung pelabuhan, sisanya diikatkan pada tiang kapal.
Selain kapal, biasanya ketupat dan lepet digantungkan juga pada kendaraan pribadi. Aku pernah melakukannya sewaktu kecil, sepedaku juga kugantungi ketupat.
Menenteng Ketupat dan Lepet |
Di tepian pantai, sebuah tempat yang terbuat dari anyaman janur tergantung pada batang kayu kecil yang ditancapkan. Anyaman tersebut nantinya akan diisi beberapa ketupat, lepet, dan lauk yang diambil dari makanan milik warga.
Pesta Lomban semacam sedekah laut. Sebuah tradisi untuk berdoa bersama dengan cara sederhana. Berkumpul satu kampung, membawa makanan, berdoa bersama, diakhiri dengan makan bersama. Makan bersama inilah yang aku nantikan, di sini kita akan berkumpul menjadi satu dan makan bareng orang-orang yang jarang berkumpul di hari biasa.
Tempat untuk meletakkan ketupat dan lepet di tepian pantai |
Lomban adalah sebuah ekspresi kegembiraan warga setempat yang harus dirayakan. Sebuah selebrasi kegembiraan yang dilakukan oleh tiap masyarakat setelah sebulan penuh berpuasa. Semua berharap tahun depan masih bisa bertemu dengan lomban lagi. Di Jepara acara lomban sangat meriah, terlebih di Pantai Kartini.
Pengeras suara di sampingku mendengung kencang. Acara lombanan di kampung segera dimulai. Seperti pada tahun-tahun biasanya, dari pihak musola (pengurus musola) melaporkan tentang kas. Dilanjut dengan pengumuman-pengumuman yang berkaitan dengan kampung. Tidak ketinggalan laporan keuangan para pemuda setempat.
“Sesuai dengan niat awal para pemuda. Tahun ini pemuda akan mengadakan pengajian & rebana. Bapak dan ibu tenang, ini murni uang dari anak pemuda.”
Laporan keuangan pemuda kampung |
Di sini pemuda juga mempunyai peran penting, tiap minggu ada uang iuran para warga yang diambil secara rutin anak-anak muda. Pada saat seperti inilah uang hasil iuran tersebut dilaporkan. Uang tersebut digunakan kampung untuk kegiatan sosial para orang tua. Semisal, ada seorang anak yang sakit, makan diambil sedikit kas untuk menyumbang, dan lainnya.
Usai doa bersama dipanjatkan, kami langsung mengambil bekal yang terkumpul di tengah-tengah. Tidak peduli ini milik siapa, yang penting adil terbagi rata. Di sinilah kenikmatan terasa. Kami menyantap makanan bersama, masakan-masakan orang yang belum tentu tiap harinya bisa kita nikmati.
Kebersamaan seperti yang paling menyenangkan. Pemandangan yang tidak kalah indah, semua menyatu. Aku mengabadikan sedikit momen di sini. Melihat orang tua sibuk menyuapi anak-anaknya. Lebih dari tiga keluarga bergabung menjadi satu dan saling berbagi lauk.
Makan bersama keluarga |
“Jangan motret terus, nanti kamu kehabisan ketupat loh,” Celetuk ibu-ibu padaku.
Lauk utama adalah cumi-cumi, ikan tongkol, dan lainnya. Bagi beberapa orang, mereka mencari lauk lain seperti ayam goreng maupun opor ayam. Aku seperti mendapatkan berkah, di sini banyak ikan laut dan cumi yang bisa kunikmati. Mungkin orang-orang di kampung sudah terbiasa makan ikan. Tidak seperti aku yang bertahun-tahun hidup sebagai anak kos.
Tidak peduli warga kampung sendiri, tamu yang datang, atau aparat yang bertugas di sini. Semua makan bersama tanpa sekat. Tahun ini cukup spesial, selain warga setempat, ada juga beberapa mahasiswa yang pernah KKN di kampungku dari UNS ikut bergabung. Selain itu, dua orang TNI pun gabung bersama sarapan ketupat.
“Who kamu toh, Rul. Aku kira tadi mahasiswa yang bulan lalu KKN di sini."
Aparat dan warga setempat tidak ada sekat. Makan bersama |
Aku tidaklah kehabisan makanan yang disediakan. Bersama dengan teman SD, Akbar, dan Lek Rohmat menikmati ketupat serta opor ayam. Sebenarnya sedari tadi waktu memotret, aku telah mencicipi banyak cumi dan ikan goreng.
Ada semacam pesan tersirat yang membuat aku memutuskan untuk Pesta Lomban tahun ini di kampung halaman. Padahal jauh sebelumnya sudah kurencanakan untuk lomban di Jepara. Ingin memotret saat Larungan (melepaskan kepala kerbau ke tengah laut). Dan aku baru tahu semuanya sepuluh hari setelah lomban.
Makan bareng dulu biar kenyang |
Ya, sebuah pesan yang memang benar adanya. Untuk sementara tidak bisa aku ceritakan. Sebenarnya tulisan lomban ini terencana terbit minggu kedua di bulan Juli. Namun aku baru sempat menulisnya sekarang karena ada sesuatu hal yang membuatku untuk sementara menangguhkan. Akan kuceritakan semuanya ketika aku kuat untuk menuliskan di blog. *Pesta Lomban di Kampung Halaman pada hari Minggu; 02 Juli 2017.
Sepertinya tradisi seperti ini ada juga di tempatku. Tapi, bisa makanan apa saja, bukan makanan seperti ketupat atau lepet. Kita doa bersama, ada uang wajibnya juga, lalu dimakan bersama. Kalau ketupat aja, cuma pas bada kecil atau hari raya kecil yang berlangsung di hari ke-7 bulan Syawal :)
BalasHapusHampir di setiap daerah ternyata sama mas. Asyik loh kalau bisa ikut seperti ini :-)
Hapussama di lombok juga ada, seminggu setelah lebaran
BalasHapusjustru lebih rame dari pas hari H lebaran
berbondong2 ke pantai merayakan "Lebaran Topat"
kegiatannya sih cuma makan ketupat dll di pantai plus mandi mandi
Sebenarnya di beberapa tempat juga sekalian mandi mas. Hanya saja kalau di kampungku tidak mandi tapi ada lomba seperti agustusan.
HapusAsyik banget nih makan kupat dan lepet rame-rame gitu. Awalnya kukira Lomban itu lomba pasca hari kemerdekaan, ternyata penamaan untuk sedekah laut. Tradisi begini yang kudu lestari agar manusia semakin menghargai alam, tidak lupa bersyukur atas berkah yang melimpah tiap masa panen. Boleh nih dicatet kalau mau liburan ke Karimunjawa sekalian nonton pesta sejenis Pesta Lomban hehehe.
BalasHapusMas Halim bisa ke sini pas H+6 dan h+7, perayaan lomban di Jepara sangat meriah mas. Menarik kalau mas Halim bisa mengulasnya.
HapusMeriah banget ya mas, jadi rasa kekeluargaan antar warga terjalin lagi. Apalagi pada saat lebaran, dimana banyak perantau yg kembali ke kampung halaman, seperti sampean hehe.
BalasHapusBenar mas, di sini ajang saling berkumpul. Makan kembulan, pokoknya seru :-)
HapusMas, di tempatku juga ada, namanya "kupatan", bukan lombanan kaya disana. Dan disini ngga makan bareng2 gitu mas, biasanya tetangga saling antar ketupat dan lauknya aja ke tetangga2nya.
BalasHapusPengen juga kapan2 cobain lombanan disana mas, kayanya asik. Hehhe.
Sepertinya mirip mbak. Hanya saja di tempatku tidak cuma saling antar ketupat tapi sekalian makan bareng. Mirip dengan Sedekah Bumi
Hapusgak ada terlewat tempat wisata yang udah pernah kamu tulis pas aku lihat backlinknya :D
BalasHapusJangan motret terus, nanti kamu kehabisan ketupat loh,” kadang ngejer konten dan momen emang bikin kita gak nikmati suasana :)) pengennya foto trus.
Terima kasih bang, semoga kita semua masih diberi kesempatan banyak menulis agar bisa saling berbagi pengalaman :-)
HapusAku suka blogmu kalo nulis karimunjawa mas, dan liat foto-foto tentang acara ini terlihat betapa guyubnya keadan disana
BalasHapusMatur nuwun mas. Mungkin karena saya orang asli Karimunjawa sehingga bisa mengulas sisi lain Karimunjawa lebih banyak. Dan itu menjadi titik yang saya manfaatkan :-)
HapusDi kampung memang guyub seperti ini mas, ini yang membuat kita selalu kangen dengan kampung halaman.
Di kampungku juga da Burasa'bang. Kami membuat burasa'ketika lebaran, karena di kampungku ini sebagian suku bugis, jawa, dan madura :-)
BalasHapussuasana begini guyub banget ... sangat merekatkan silaturahmi dan kebersamaan. Sudah banyak tradisi2 yang bernuansa guyub begini hilang di daerah2.
BalasHapusDi kampung-kampung suasana seperti ini masih kental kang, dan terus dilestarikan.
HapusBaru tau ada acara kayak gini di Karimun Jawa, jadi pengen kesini lagi sekalian explore pantainya. :D
BalasHapusVisit blog saya juga di Heriand.com ya :)
Hanya dihari-hari tertentu ada moemen seperti ini mas.
HapusSeruuu acaranya, bs sekalian say hay sama tetangga ya! Aku pas lombanan, pagi2 di rumah, gak ada acara kaya gitu. Kalau ke Jepara Kota males unyel2 lan. Balada orang pendek
BalasHapusDi Jepara semua fokus di pantai Kartini, dan ruame banget :-D
Hapus