Di rumah yang tidak jauh dari masjid dusun Telaga, seorang perempuan sibuk membuat berbagai pesanan makanan yang berkaitan dengan hari raya idulfitri. Aku sudah terlebih dulu meminta waktu untuk mengabadikan sewaktu beliau bekerja.
Buras dan Tumbuk menjadi prioritas pesanan yang dibuat. Tiap akhir bulan ramadan, pesanan selalu meningkat drastis dibanding hari-hari biasa. Dibantu suami dan anak-anaknya, Bu Badriyatun cekatan membungkus buras dan tumbuk.
Dulu aku sempat menulis daftar kuliner Bugis di blog. Jika ke depannya masih kutemukan makanan baru, pasti aku perbarui informasinya. Di dalam rumah, bahan baku pembuatan buras dan tumbuk tersebar. Sebagian siap untuk dimasak.
Tumbuk sendiri terbuat dari ketan hitam. Sebelum dibungkus, ketan tersebut dimasak menggunakan air santan. Kemudan dibungkus berbentuk lonjong. Satu bungkus tumbuk diberi enam potongan ketan dan dipisahkan menggunakan daun.
Pembuat burasak dan tumbuk di dusun Telaga |
Pembuatan buras pun serupa. Hanya berbahan baku beras dicampur dengan santan. Untuk prosesnya juga sama. Semua dimasak minimal 10 jam dalam kuali besar secara bersamaan. Sebelumnya, baik tumbuk maupun buras diikat menggunakan tali rafia.
“Kukira tidak jadi ke rumah, Rul,” Sapa Bu Badriyatun.
Aku tersenyum sembari mengucek mata. Sedari tadi siang lebih banyak waktu kuhabiskan untuk tidur. Ide meliput pembuatan buras ini terlontar saat bu Badriyatun sowan ke rumah. Beliau memang kerabat keluarga kami (dari mertuanya).
Lantas kusampaikan ide tersebut pada empunya. Beliau merespon dengan tertawa. Kemudian mengabarkan jika mulai besok pagi sudah menyicil bahan baku dalam pembuatan makanan khas bugis di Karimunjawa.
Buras dan Tumbuk menjadi pesanan paling banyak. Meski terkadang ada pesanan seperti Gogos maupun ketupat. Untuk ketupat sendiri pesanan nantinya melonjak ketika menjelang lombanan. Hari raya Idulfitri yang menemani opor untuk disantap adalah buras dan tumbuk.
Semua bahan baku sudah disiapkan. Dibutuhkan puluhan lembar daun pisang untuk membuat makanan tersebut. Sebenarnya membuat buras maupun tumbuk tidak sulit. Hanya saja mendapatkan daun pisang yang layak untuk membungkus cukup sulit.
Memasak burasak dan tumbuk seharian |
Jauh ketika aku masih kecil, acapkali datang ke rumah Almarhum Mak Nabong (Mertua Bu Badriyatun) untuk mengambil pesanan daun pisang. Di belakang rumah sini dulu banyak pohon pisang. Menjadi rutinitas tiap tahun ketika emak ingin membuat buras, pasti mengambil daun pisang dari Telaga.
Hingga sekarang di bekalang rumah Bu Badriyatun masih banyak pohon pisang. Meski daunnya banyak yang sobek. Sepertinya ada hama yang merusak daun pisang. Pikiranku sesaat melayang pada masa lampau. Mengenang masa kecil di tempat ini.
Di gubuk kecil belakang rumah, dua kuali besar menghitam di atas tungku. Proses yang paling lama dalam pembuatan buras dan tumbuk adalah memasak. Dibutuhkan waktu sekitar 10 jam untuk memasak makanan tersebut agar buras bertahan lama.
Tungku yang dipakai terbuat dari susunan bongkahan batu besar. Lantas memasaknya pun masih menggunakan kayu. Dibutuhkan banyak bongkahan batang kayu kering untuk memasak seharian. Biasanya, kayu bakar sudah disiapkan sejak sebulan yang lalu.
Selang setengah jam, kuali besar diperiksa. Biasanya air mulai mengering. Bu Badriyatun harus menambah air tersebut. Menggunakan gayung, beliau mengambil air yang sudah disiapkan di dalam ember.
Meski ramai pesanan pada bulan menjelang lebaran. Pemesanan buras berkurang di hari-hari biasa. Produksi buras ini bukan pekerjaan setiap hari. Hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Sesekali beliau juga membuat saat ada pesanan dari Jepara.
Burasak yang sudah ditiriskan |
“Tidak ada minimal pemesanan,” Tandasnya saat kutanya berapa minimal pemesanan buras ataupun tumbuk.
Memang beliau tidak membatasi pemesanannya. Namun, para pemesan biasanya langsung mematok jumlah pesanan. Tidak menggunakan berapa banyak buras/tumbuk. Rata-rata memesan dengan hitungan bahan baku. Misalnya satu kilo beras atau ketan.
Terkait harga yang ditawarkan. Bu Badriyatun mematok harga Rp.4000 untuk buras satu ikat. Tiap satu ikat berjumlah empat buras. Untuk tumbuk, beliau mematok harga Rp.5000/buah. Pun dengan Gogos, dipatok harga Rp.2000/buah.
“Tergantung waktu pemesanan. Kalau harga bahan bakunya naik ya berubah.”
Selama dua hari berturu-turut aku mengunjungi pembuatan buras. Sebenarnya tujuanku datang kedua lebih pada mengabadikan buras ataupun tumbuk yang sudah dimasak selama seharian penuh. Beruntung waktu di sini sudah ada buras yang ditiriskan.
Buras dan tumbuk ditempatkan pada tudung saji yang dibalik. Jika biasanya tudung saji digunakan untuk menutupi makanan di meja. Di sini kegunaannya diubah menjadi tempat meniriskan tumbuk maupun buras agar airnya menetes.
Tumbuk siap disebar ke pemesan |
Warna daun pisang yang dijadikan sebagai pembungkus menjadi layu. Pun dengan tali rafia yang mengikat. Di depanku, buras dan tumbuk dibiarkan begitu saja. Menunggu sampai air tidak menetes lagi. Buras menjadi lebih tebal dan sudah siap dimakan sebagai pengganti nasi.
Di setiap rumah, lebih khusus lagi masyarakat suku Bugis menyajikan hidangan buras dan tumbuk selepas salat ied. Para tamu yang pulang dari masjid singgah di rumah terdekat (satu kampung). Lantas menikmati sarapan bersama.
Biasanya pagi seperti ini di rumah cukup ramai. Para kerabat dan saudara mampir di rumah untuk sarapan, lalu bersalaman dengan kami. Sebuah rutinitas yang sudah menjadi tradisi di kampung kami. Buras dan makanan Bugis yang lainnya turut menjadi saksi.
Tradisi lebaran di Karimunjawa |
Menjadi cerita panjang kala aku menulis tentang buras. Meski sudah tidak lagi sibuk mengurusi air dan menjaga api saat memasak buras. Tetap saja kenangan masa kecil menjelang lebaran selalu berkaitan dengan buras.
Kuambil satu ikat buras dan tumbuk. Lantas menikmati santap pagi dengan lauk opor ayam. Sama dengan beberapa orang yang di kampung. Emak pun memesan buras di Bu Badriyatun. Mungkin, jika beliau (emak) masih kuat. Pasti beliau membuat sendiri. Seperti satu windu yang lampau. *Cerita Pembuatan Buras dan Tumbuk di Telaga; 13 Juni 2018.
wah penasaran aku ama buras
BalasHapuslebih enak mana nih ama ketupat, pas dicampur opor?
Buras rasanya jauh lebih gurih mas. Kalau aku cocok semua. Sebagian lidah orang lebih cocok ketupat akrena sudah biasa dimakan.
Hapuskayaknya dulu aku pernah di suguhin ini mas, sama temenku di karimunjawa namanya RUla (Diver), baru tahu malah kalau ini Bugis
BalasHapusBerarti mas ke arah kemujan, biasa di kemujan ada suguhan burasak
Hapustiap daerah punya ke khas-an dan keunikan makanan lokalnya ... Buras .. saya baru dengar nama makanan ini.
BalasHapusada kenalan yang mau jalan2 ke karimun jawa ... saya nitip oleh2nya buras ajalah :)
Kalau buras ini jenis makanan basah, kang. Susah kalau berhari-hari di bawa sebagai oleh-oleh. Ayoklah ke sana saja :-D
HapusAku baru dengar nama makanan ini, tapi kemungkinan aku akan suka soalnya aku suka banget sama ketan yang dicampur santan gitu, apalagi ini makanan berat kan, cukup makan ini aku ga makan nasi lagi ahahha
BalasHapusBenar, ini cukup dimakan tanpa menggunakan nasi lagi. Malah sebagai pengganti nasi.
Hapusdisatu sisi kita juga harus menjaagaa sajian khas nusantara nih jangan sampai tergerus dnegan jaman
BalasHapusKuliner seperti ini tetap terjaga kok.
Hapuskalo buras aku tauuuu. mama srg masak dulu, krn sempet lama tinggal di makasar. biasanya kita slalu bekal ini kalo mau road trip ke sibolga ;). aku sukaaaa bgt buras.mama kalo bikin buras, itu dimakan gt aja udh gurih2 enak, ga hambar. soalnya srg nemu buras yg rasanya hambar gt, jd kayak lontong :p.paling enak ini kalo makannya pake coto :D. jd kangen kaaan. besok ke resto makasar kayaknya :D.
BalasHapusSama mbak. Aku biasa cuma makan buras aja tanpa lauk. Enak rasanya hahahahah
Hapussaya baru pertama kali tau nama makanan ini, buras, tumbuk dan gogos. Tumbuk mirip ga sih sama jenang? Bedanya tumbuk dari ketan hitam, sedangkan jenang dari ketan putih.
BalasHapusThanks udah sharing ya
Jenang lebih mirip dodol, sedangkan tumbuk itu seperti lontong tapi terbuat dari santan dan makannya pakai cairan gula jawa
HapusPas lihat gambarnya, awalnya saya kira itu lemang, ternyata namanya Buras ya. Tapi kalau dibandingin sama proses membuat lemang dengan batang bambu di kampung saya, proses memasaknya sama-sama lama. Ah, jadi pengen makan satu-dua potong buras ini. Satu-dua potong saja sudah kenyang kali ya :)
BalasHapusLemang lebih mirip Gogos, bang. Sama-sama dibakar tapi hanya dibungkus daun, tidak menggunakan bambu :-)
HapusIni biasanya dimakan dg cocolan yang rasanya manis, yg warnanya seperti gula aren yang dicairkan. Aku tidak tahu cara buatnya tapi pernah disajikan waktu bertamu saat lebaran di rumah teman di Sidrap Sulawesi Selatan.
BalasHapusKalau yang pakai cocolan gula merah itu namanya Palopo hehehhee
Hapus