Mengenal Lebih Dekat dengan Desa Wisata Kebondalem Kidul, Prambanan - Nasirullah Sitam

Mengenal Lebih Dekat dengan Desa Wisata Kebondalem Kidul, Prambanan

Share This
Bersepeda di Desa Wisata Kebondalem Kidul, Prambanan
Desa wisata Kebondalem Kidul menjadi tujuanku. Desa ini sebenarnya sudah tidak asing kusambangi. Sering kali aku melintasi tempat ini kala kuliner bebek di dekat Stasiun Brambanan, berkunjung ke Candi Sojiwan, atau saat blusukan naik ke Spot Riyadi.

Agenda kali ini berbeda. Aku tidak sedang blusukan naik sepeda, malah menginap di desa wisata yang lokasinya hanya berseberangan dengan Candi Prambanan. Atas tugas menjadi jurufoto di sini. Sehingga kedatanganku tidak sendirian. Aku membawa rombongan lebih dari 25 orang dari beberapa negara.

Pemilihan tempat di Desa Wisata Kebondalem Kidul ini berasal dari kawan yang memberikan aku narahubung desa ini. Sehingga pada akhirnya kami melakukan kegiatan mengenalkan kampung kepada mahasiswa di desa Kebondalem Kidul.

Sedikit yang aku ketahui, desa wisata Kebondalem Kidul ada sejak tahun 2009. Tahun 2019 ini ketua pokdarwisnya adalah Pak Sutopo. Kami sempat berbincang santai membahas tentang desa wisata di sela-sela kegiatan.

Aktivitas bersepeda dimulai dari Balai Desa Kebondalem Kidul. Puluhan sepeda berbagai jenis sudah disediakan Pokdarwis. Dipandu beberapa pokdarwis, kami melintasi jalan kampung. Tujuan pertama menuju tempat pembuatan Jumputan.
Memberikan warna pada kain jumputan
Memberikan warna pada kain jumputan
Perjalanan tidak jauh. Aku sudah lebih dulu mengayuh sepeda, mencari sudut strategis untuk merekam sekaligus memotret rombongan. Rute ini tidak jauh, dari perkampungan warga, kami diarahkan ke jalan yang tiap sudut adalah sawah.

Tidak jauh dari area persawahan, terdapat rumah dengan jalan kecil. Di sanalah kami berhenti. Aktivitas rombongan di sini membuat Jumputan. Konon Jumputan adalah ciri khas di sini. Nama tempatnya adalah “Jumputan BONKID Legowo Prambanan”.

Sebelum di sini, aku pernah menjelajah desa wisata di Klaten, tepatnya di Desa Wisata Jarum. Hanya saja waktu di sana aku bersama rombongan blogger. Di sini, aku bersama para mahasiswa internasional yang berasal dari Nepal, India, Vietnam, dan lainnya.

Jumputan adalah pemberian motif pada kain atau kaus dengan cara mengisi kain menggunakan benda kecil. Di sini memakai biji kacang hijau, melipat kain, dan mengikatnya. Kemudian nantinya dicelupkan pada larutan zat warna.

Tiap orang diberi kaus berwarna putih. Di sini kami memilih ukuran yang sesuai dengan diri kita sendiri. Lantas seorang bapak memberikan arahan cara membuat jumputan. Setelah itu beliau memperlihatkan hasil dari pembuatannya.
Hasil karya jumputan dijemur
Hasil karya jumputan dijemur
Pada dasarnya memang membuat jumputan dengan kain. Berhubung ini untuk rombongan, beliau menggunakan kaus putih sebagai bahan. Tujuannya agar kaus tersebut sebagai souvenir dan karya mereka sendiri.

Pembuatan jumputan cukup sederhana. Tiap kaus ditandai dengan spidol kecil. Lantas tiap orang bisa berkreasi dalam pembuat pola. Nantinya, pola tersebut menjadi motif. Bahan yang dibutuhkan lagi adalah tali karet serta biji kacang hijau.

Tiap titip yang ingin dijadikan motif diberi biji kacang hijau dan diikat menggunakan karet. Kemudian kembali membentuk pola di area yang lainnya. Proses ini lumayan lama karena tiap peserta berkreasi sesuka hati.

Pada dasarnya, jika membuat kaus dengan motif jumputan, dalam sehari bapak pemilik tempat jumputan bisa membuat lima kaus. Beliau juga menuturkan jika pembuatan jumputan tidak hanya kaus, tapi juga kain.

Selembar kain dengan ukuran 200 sentimeter, beliau menjual dengan harga sekitar 200.000 ribuan. Sementara kaus dijual dengan harga 70.000 ribuan. Penjualan kaus dan kain bermotif jumputan di Klaten. Ada tokonya sendiri.

Dirasa sudah cukup paham, rombongan mahasiswa ini diberi kaus dan diperbolehkan membuat kreasi. Mereka cukup cakap dalam membentuk motif yang diinginkan. Sementara itu bapak yang punya rumah menyiapkan naptol untuk awal proses persiapan pemberian warna.

Cairan zat tersebut ditaruh pada wadah ember. Lalu pakaian yang sudah diikat untuk motif dimasukkan ke dalam ember yang berisi cairan naptol. Lantas kaus dijemur sebelum diberi warna sesuai keinginan. Untuk warna tersedia meah, biru, dan kuning.

“Silakan dijemur lagi. Besok pagi sudah bisa dibawa pulang,” Ujar bapak yang mengurusi pembuatan jumputan.

Siang cukup terik, perjalanan dilanjutkan menyusuri sudut jalanan desa Kebondalem Kidul dengan bersepeda. Aku mengecek agenda, siang ini waktunya makan siang. Bergegas sepeda kami arahkan ke Pendopo Balai Desa.

Seminggu sebelum acara ini, aku dan beberapa panitia sudah survei dan menentukan menu makan siang. Intinya makan siang ataupun makan malam yang disediakan cukup menu makanan ala desa. Harapan kami memang untuk mengenalkan citarasa makanan tersebut kepada mahasiswa.
Makan malam ala tradisional di Desa Wisata Kebondalem Kidul
Makan malam ala tradisional di Desa Wisata Kebondalem Kidul
Menu makan siang cukup menggugah selera. Sayur jantung pisang, sayur bening dikombinasikan dengan ikan asin dan ayam goreng. Rombongan mahasiswa cukup lahap, mereka menikmati santap siang sembari mengumpulkan tenaga.

Malam harinya, kembali menikmati waktu makan bersama di pendopo. Kali ini menu yang disajikan adalah model makanan bacakan. Nasi dan lauknya dihidangkan menggunakan daun pisang. Tentu menambah selera makan makin besar.

Agenda berlanjut selepas makan siang. Untuk mengisi waktu siang, kami ajak rombongan mengunjungi Candi Sojiwan. Lokasi candi hanya di seberangan Balai Desa Kebondalem Kidul. Ditemani pokdarwis, kami mengunjungi Candi Buddha tersebut.

Petugas candi menyambut rombongan, mereka berbincang sejenak. Lantas anggota Pokdarwis mengajak rombongan menuju papan informasi. Dia menjelaskan perihal sejarah candi. Rombongan mahasiswa cukup antusias mendengar dan membaca informasi yang ada di papan pengumuman.
Berkunjung ke Candi Sojiwan Desa Wisata Kebondalem Kidul
Berkunjung ke Candi Sojiwan Desa Wisata Kebondalem Kidul
“Mas Sitam!!” Teriak mahasiswa dari India sambil memberi kode untuk memotret.

Selama di desa wisata, aku seringkali berinteraksi dengan mahasiswa. Meski Bahasa Inggrisku agak kacau, setidaknya kami paham apa yang sedang kami perbincangkan. Beruntungnya, mahasiswa dari Timor Leste lancar berbahasa Indonesia. Dia yang kadang menjelaskan padaku.

Mahasiswa dari India ataupun Nepal sangat antusias untuk berfoto. Layaknya jurufoto yang harus sigap, dua kamera kusiapkan sejak awal. Satu untuk memotret saat mereka bersama-sama, sementara satunya untuk portrait.

Kunjungan ke Candi Sojiwan selesai, rombongan kembali menuju pendopo. Di sini kami membagi tiap rombongan untuk menaruh barang bawaan ke rumah-rumah warga yang sudah dipilih. Aku dan salah satu staf bersama dua mahasiswa dari Timor Leste dan Nepal satu rumah.

Kami berkenalan dengan tuan rumah, menikmati kudapan yang sudah dihidangkan, dan bersantai. Lantas menyiapkan waktu untuk kembali beraktivitas di sore hari. Rencananya, rombongan ingin melihat anak-anak desa latihan menari.

Menjelang sore, aktivitas di desa kembali dilanjut. Kali ini kami menuju Sanggar Tari. Nantinya para rombongan turut menari bersama anak-anak kampung yang sedang berlatih. Sanggar Tari Wilwatikta namanya, sebuah sanggar baru yang usianya belum genap satu tahun.
Aktivitas anak-anak berlatih menari tiap akhir pekan
Aktivitas anak-anak berlatih menari tiap akhir pekan
Sanggar tari ini dilatih tiga orang, dua perempuan remaja dan seorang bapak. Di depan halaman rumah bapak inilah latihan tari berlangsung. Sesampai di lokasi, anak-anak sudah ramai latihan menari. Untuk sementara waktu kami hanya menonton.

Melihat kedatangan banyak orang, anak-anak yang menari sedikit malu-malu. Para mahasiswa membentuk barisan di belakang dan turut menari. Sontak pemandangan ini menjadi hiburan warga setempat.

Seingatku ada dua tarian yang ditampilkan. Salah satunya adalah Tari Rampak. Anak-anak di sini latihan seminggu sekali, biasanya sabtu sore. Pelatih tari mengajak rombongan mahasiswa kembali menari. Setelah itu berlanjut foto bersama.

Menari sudah dilakukan, kami tidak lantas kembali pulang. masih ada satu acara santai lagi yang sudah disiapkan. Kali ini, aku mengajak rombongan mahasiswa menuju lapangan yang berada di barat Candi Sojiwan.

Di lapangan yang luas terdapat rumah seperti limasan. Sudah ada kudapan yang tersedia. Kami sejenak menikmati kudapan sembari mendengarkan lagu Didi Kempot dari pelantang. Tatkala aku menirukan lirik lagu, rombongan mahasiswa pun tertawa.

“Kita di sini bermain ala permainan tradisional,” Terangku terbata-bata.
Dolan tradisional di lapangan Candi Sojiwan
Dolan tradisional di lapangan Candi Sojiwan
Permainan Egrang yang pertama diberikan. Sebagian besar rombongan tidak bisa menggunakan. Dari 15 mahasiswa, ada satu mahasiswa dari Timor Leste yang lihai. Sementara itu yang lainnya, termasuk aku tidak ada yang bisa.

Keseruan belum berakhir. Kami membuat lomba balapan bakiak. Permainan yang harus dilakukan berkelompok ini membuat gelak tawa makin kencang. Di saat seperti ini, aku sudah beraksi memotret tiap moment agar menghasilkan foto yang bagus.

Permainan terakhir adalah balapan ban. Entah ini Bahasa bakunya permainan apa. Menggunakan bekal velg motor, lantas digiring menggunakan besi untuk pengendali. Lagi-lagi mahasiswa dari Timor Leste ini paling lihai.

“Ini permainan saya waktu kecil,” Celetuknya berbahasa Indonesia.

*****

Iringan rombongan sudah berjalan kaki sebelum subuh. Melintasi depan Spot Riyadi, lantas melewati lahan yang sedang ada pembangunan, kami terus melangkah dengan lampu senter sebagai penerang. Beberapa warga membawa tikar untuk alas salat subuh.

Fajar menyingsing, tempat yang kami tuju berada tidak jauh dari kawasan Candi Miri. Secara bergantian menunaikan salat subuh. Lantas mencari tempat yang tepat untuk melihat pemandangan lanskap berkombinasi dengan sunrise.

Spot sunrise ini sebenarnya bukan lagi wilayah Kebondalem Kidul, malah sudah di Sleman. Tapi sejak tahun 2009 Pak Sutopo menjadikan tempat ini sebagai destinasi yang menarik untuk menikmati mentari terbit.
Menikmati sunrise dari perbukitan di dekat Candi Miri
Menikmati sunrise dari perbukitan di dekat Candi Miri
Kontur wilayah sedikit di bukit, bebatuan besar menjadi alas. Semak-semak, rumput berduri menjadi satu. Di bagian bawah, pemandangan pematang sawah terhampar. Ini yang menjadi indah. Terlebih saat mentari sudah terbit.

Tidak jauh dari tempat kami melihat sunrise, terdapat bangunan kecil semacam joglo. Aku bergegas untuk memotret semburat cahaya dalam bingkai bangunan. Awalnya tempat ini cukup sepi. Lama-lama ada rombongan sekeluarga yang datang dan duduk di sana.

Anak kecil perempuan berlarian menuju bangunan, lantas menuruti arahan orangtuanya untuk difoto di saat aku ingin mengabadikan gambar sunrise dengan bingkai siluet bangunan. Berhubung anak tersebut tidak geser, akhirnya kubidik agar lebih menarik.

Belum juga mendapatkan foto yang seperti kurencanakan. Aku malah diminta untuk memotret mereka sekeluarga. Bergegas aku abadikan menggunakan gawai. Setelah itu menunggu agar bangunan kosong, hanya saja rombongan keluarga sepertinya betah berlama-lama.
Siluet anak yang melihat sunrise
Siluet anak yang melihat sunrise
Aku lantas mengurungkan niat. Tidak elok juga jika meminta beliau sekeluarga pindah sebentar untuk fotoku. Aku mengikuti jalan setapak untuk kembali bergabung dengan rombongan yang sedaari tadi sudah asyik berfoto.

Hari sudah pagi, suasana sekitar terang benderan. Kami kembali menuju tempat parkir mobil. Di sini pula kusempatkan mengunjungi situs Candi Miri. Bentuk candi ini masih reruntuhan bebatuan yang belum dipugar.

Lokasi situs Candi Miri ini di Sambirejo, Klaten. Bagi para pecinta heritage, komplek Candi Miri ini bukan tempat yang baru. Lokasinya sebenarnya lumayan dekat dengan Candi Barong dan sekitarnya. Namun candi ini cukup asing bagi orang-orang yang awam seperti aku.
Bebatuan Candi Miri, Sleman
Bebatuan Candi Miri, Sleman
Perjalanan pulang lebih menyenangkan, setidaknya kami sudah menikmati pemandangan indah kala pagi. Rombongan berlanjut santai, beraktivitas sepedaan dan akhirnya mengunjungi rumah salah satu warga untuk ikut membuat Bubur Sumsum.

Di sini mahasiswa menuju dapur, melihat proses pembuatan bubur sumsum dan turut membantu tuan rumah dalam mengaduk bubur hingga menyicipi makanannya. Secara tidak langsung mereka berinteraksi dengan masyarakat setempat.

“Enak makanannya,” Ujar Amrita, salah satu mahasiswa dari Nepal.

Tanpa terasa seluruh aktivitas selama dua hari usai. Kami berpamitan dengan pokdarwis dan masyarakat setempat. Desa wisata Kebondalem Kidul cukup mengesankan, meski tetap ada beberapa hal yang harus ditingkatkan.
Membuat kue tradisional di rumah warga
Membuat kue tradisional di rumah warga
Setidaknya, kunjungan wisatawan dari luar negeri seperti yang kami bawa ini menjadi momen para pelaku wisata di Desa Wisata Kebondalem Kidul untuk lebih bersemangat mengenalkan desa wisatanya lebih luas. Karena desa wisata sepertinya bakal menarik minat para wisatawan di masa mendatang.

Respon para mahasiswa pun menyenangkan. Mereka bercerita jika adanya program menginap di desa wisata membuat mereka lebih tahu tentang aktivitas di masyarakat Indonesia, khususnya di desa wisata Kebondalem Kidul.

Sementara aku mempunyai misi sendiri. Selain menjadi jurufoto rombongan, hari ini mendapatkan konten tambahan di blog terkait desa wisata. Siapa tahu di waktu mendatang bakal menginap lagi di desa wisata yang lainnya di Indonesia. *Desa Wisata Kebondalem Kidul; 21-22 September 2019.

4 komentar:

  1. teknik jumputan pernah kudapat pas pelajaran seni rupa di sekolah dulu...

    btw itu menu bancakan nya seger banget, ijo ijo...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku malah pengen menerapkan tehnik jumputan ini di kampung hahahahha

      Hapus
  2. seru ya ... paket wisata interaktif seperti ini
    dari dulu pengen ikutan wisata bersepeda di perkampungan Jogja .. tapi belum kesampaian

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di Jogja hampir semua paket desa wisata ada sepedaannya, kang. Seru kalau gowes ramai-ramai

      Hapus

Pages