Lontong Pecel Mbah Yasmi Jepara: Santap Siang di Dapur Rumah - Nasirullah Sitam

Lontong Pecel Mbah Yasmi Jepara: Santap Siang di Dapur Rumah

Share This
Lontong Pecel Mbah Yasmi di Banjaran

Hujan deras masih mengguyur daerah Bucu, Jepara. Alam sedang bersenandung. Suara rinai hujan mengimbangi derasnya limpahan air terjun Songgo Langit. Kami tinggal bertiga, belum ada tanda-tanda mereda. Padahal waktu sudah lepas duhur. 

Aku sudah memeriksa mantel plastik darurat. Dua kawan sepakat menerabas hujan. Berharap daerah Bangsri hanya mendung. Laju motor kencang, terabas hujan lebat. Sesekali petir menggelegar. Sepatuku sudah kuyup. 

“Makan siang lontong,” Ujar Farid. Salah satu kawan yang menemani di Jepara bersama Wildan. 

Aku dan Wildan hanya mengangguk. Nyatanya hujan sudah merata. Kami terus melintasi jalan raya, kemudian belok menuju perkampungan. Jalur mulus berubah aspal rusak. Hamparan sawah meluas, pun dengan ladang kacang yang sedang dipanen warga. 

Motor dibelokkan ke salah satu rumah warga. Di sini rumahnya masih model Jawa. Bagian atapnya menjulang tinggi. Khas rumah-rumah Jawa tempo dulu. Kami berhenti berbarengan dengan empat motor remaja yang meninggalkan rumah yang sama. 
Sampai di depan rumah Mbah Yasmi
Sampai di depan rumah Mbah Yasmi

Aku mengira ini rumah Farid. Dia langsung menuju pintu yang terbuka. Lalu balik memanggilku. Aku bergegas masuk. Seorang simbah putri sedang sibuk menggoreng mendoan dan bakwan. Untuk sementara waktu otakku berpikir keras. 

“Ini warung lontongnya?” Tanyaku memastikan. 

“Saya tahu kalau Mas Sitam suka tempat seperti ini,” Jawab Farid terkekek. 

Kulirik Wildan, dia juga tertawa melihat raut wajah antara kaget dan gembira. Sesuatu yang tidak direncanakan memang mempunyai cerita penuh kejutan. Salah satu kejutan terindah menjelajah kampung di Jepara adalah kuliner Mbah Yasmi. 

Bergegas kuambil kamera, lalu meminta izin mengabadikan aktivitas beliau. Di sini, aku menyempatkan diri berbincang sembari merekam. Awalnya Mbah Yasmi sedikit kikuk saat ada kamera. Lantas aku mematikan sejenak, berbincang agak lebih lama, dan kembali kurekam. 

Beliau jauh lebih nyaman, sesekali berseloroh jika beliau kurang percaya diri di depan kamera. Aku tersenyum sembari mengikuti obrolan. Bahasa Jawa-ku tidak sepenuhnya baik. Lahir di Jepara, aku sedari kecil berbahasa Bugis. Kehidupan lama di Jepara dan Jogja membuat Bahasa Jawa-ku lebih terasah. 
Mbah Yasmi sedang menggoreng mendoan dengan tungku
Mbah Yasmi sedang menggoreng mendoan dengan tungku

Jika aku kesusahan menggunakan Bahasa Jawa. Kucari kata yang tepat dalam Bahasa Indonesia. Pun sebaliknya, kedua kawanku sudah asyik menyomot mendoan panas. Lalu menunggu Mbah Yasmi membuatkan Lontong Pecel. 

Satu hal yang membuatku antusias di sini adalah warung Mbah Yasmi langsung di dapur. Rumah sekaligus warung beliau beralamatkan di Banjaran, Bangsri. Lumayan jauh dari pusat kota Jepara. Kami terus berbincang, sesekali kucatat di gawai agar tidak terlupakan. 

Sedikit demi sedikit beliau menuturkan perihal warung Lontong Pecelnya. Simbah yang berumur 69 tahun ini sudah berjualan selama 20 tahun. Lokasi warungnya tidak pernah pindah. Dapur inilah tempatnya. 

Peralatan masak layaknya rumah zaman dulu. Aku jadi ingat Gudeg Pawon ataupun Mangut Mbah Marno di Jogja. Konsep jualan di dapur menjadi daya tarik tersendiri. Warung ini buka mulai pukul 13.00 WIB, kemudian tutup pukul 17.00 WIB. 

Dapur rumah beliau cukup luas. Langsung menjadi satu dengan rumah utama. Di dapur, tungku yang terbuat dari tanah liat sedang digunakan menggoreng mendoan. Di sini beliau masih menggunakan kayu bakar. 

Tempat bumbu yang terbuat dari anyaman bambu tergeletak di meja kecil. Sebilah pisau usai digunakan mengiris kol untuk bahan baku bakwan. Sementara lontong-lontong yang dibungkus plastik sudah tertata rapi di dipan. 

Di dapur terdapat meja dan kursi panjang. Mendoan serta bakwan yang sudah siap saji dijadikan satu pada wadah. Bagi pengunjung yang datang bisa langsung makan gorengan sembari menunggu dibuatkan lontong pecel. 

Jauh dari keramaian kota tak membuat warung Mbah Yasmi sepi. Tiap harinya beliau menghabiskan lontong tiga kilogram. Bahkan sewaktu berbincang, beliau juga mengatakan gorenganpun bisa tandas beberapa kilo. 
Mbah Yasmi menjual Lontong Pecel di dapurnya
Mbah Yasmi menjual Lontong Pecel di dapurnya

“Kemarin jam 2 siang sudah habis, mas.” 

Lagi-lagi aku berdecak kagum. Pelanggan tetap Mbah Yasmi didominasi anak-anak sekolah. Masyarakat sekitar pun banyak yang membeli makan siang di warung beliau. Bisa jadi wisatawan ada yang ke sini. 

Siang ini beliau sendirian. Biasanya anak Mbah Yasmi membantu di warung. Walau sudah berumur, beliau masih sigap mengiris tempe, menggoreng, hingga meniriskan, dan lanjut membuatkan pesanan lontong sendirian. 

“Lontonge pinten?” 

“Tigo, mbah.” 

Satu persatu mendoan yang digoreng sudah ditiriskan. Beliau pindah ke kursi menghadap dipan. Di sinilah Mbah Yasmi mulai memotong lontong dan membuatkan lontong pecelnya. Belum sempat kurekam lebih detail, tahu-tahu sudah siap tiga porsi lontong pecel. 

Sebelum aku bawa keluar dapur, aku meminta Mbah Yasmi memegang satu porsi lontong pecel untuk kuabadikan. Beliau agak bingung, aku mengarahkan tangan beliau sembari berkali-kali meminta maaf karena merepotkan. 

Pengunjung yang tidak memesan minuman bisa minum air putih. Ada dua ceret yang terisi air mineral beserta tumpukan gelas bening. Aku meminta dibuatkan teh tawar. Beliau berujar airnya ingin dipanasi terlebih dahulu karena sudah hangat. Beliau mengambilkan satu teh kemasan celup. Lalu beranjak hendak memanasi air. 

“Sampun mbah. Niki mawon mboten nopo-nopo,” Ujarku. 

Kuambil kemasan teh celup dari tangan beliau. Aku sendiri yang menuangkan air hangat tanpa gula. Mungkin Mbah Yasmi agak bingung melihat polahku sedari tadi. Beliau melanjutkan goreng bakwan, aku sendiri menyusul kedua kawan di dipan teras rumah. 

Tiga porsi lontong pecel dan sepiring gorengan siap. Tidak ketinggalan kerupuk serta teh tawar panas. Porsi lontong pecel beliau menurutku banyak. Aku sendiri tidak sanggup menghabiskan. Pun dengan kedua kawanku. 

Dipan yang berada di teras menjadi tempat kami santap siang. Suasana sejuk selepas hujan. Halaman masih penuh rerimbunan serta bau tanah diguyur hujan. Sedari tadi melintas, aku antusias dengan segala ketenangannya. 

Tidak habis lontong pecelku. Porsinya memang banyak, hanya lontong dan sedikit sayurannya kulibas. Rasanya dominan sambel kacang, tapi pedasnya samar. Bagi yang suka pedas mungkin bisa meminta khusus. 
Satu porsi Lontong Pecel Mbah Yasmi seharga 4000 rupiah
Satu porsi Lontong Pecel Mbah Yasmi seharga 4000 rupiah

Kembali aku ke dapur. Dua pelanggan warung datang. Satu perempuan berbincang dengan Mbah Yasmi. Satu lagi simbah kakung menyapaku dan meminta untuk dipotret. Aku mengikuti arahan beliau, sekali kuabadikan, dan kulihatkan hasilnya. 

Tersenyum beliau melihat layar kamera. Beliau bercerita singkat tentang umurnya. Gorengan yang kami bawa keluar tidak habis, kawan inisiatif memberikan ke simbah kakung karena semuanya sudah kuhitung. 

“Teh e mboten usah bayar. Kan mboten kagem gulo,” Pinta Mbah Yasmi. 

“Mboten mbah, niki artone. Matur sembah nuwun.” 

“Mugo-mugo tambah rezeki, mas,” Ujar Mbah Yasmi tersenyum. 

Kami mengaminkan. Mbah Yasmi kembali melayani pengunjung yang lainnya. Aku dan kedua kawanku juga berpamitan ke Simbah Kakung yang duduk di kursi kayu sembari menikmati gorengan. 

Destinasi kuliner yang mengejutkan sekaligus membuatku bersemangat mengulas di blog. Aku percaya, Lontong Pecel Mbah Yasmi ini hanyalah satu dari sekian banyak kuliner tersembunyi di Jepara. Masih ada banyak kuliner-kuliner lainnya yang belum aku sambangi. 

Mantel plastik kulipat, sepatu masih basah kuyup. Kamera kembali kubalut dengan plastik sebelum kumasukkan dalam tas. Kami melanjutkan perjalanan, rencananya mau salat di rumah Farid, melihat sejenak potensi desanya, dan mengagendakan ke sini lagi di waktu mendatang. *Lontong Pecel Mbah Yasmi Banjaran, Jepara; 14 Maret 2020.

24 komentar:

  1. Destinasi kuliner yang mengejutkan sekaligus membuatku bersemangat mengulas di blog.

    setuju banget dengan kata-kata ini master. Selalu ada inspirasi untuk menulis. Nice post.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selalu ada kejutan di tiap perjalanan. Seperti ini salah satu contohnya. Tidak terencanakan, tapi benar-benar menyenangkan.

      Hapus
  2. waktu lagi di yogya pernah juga diajak ke tempat kuliner yang di pelosok. Tampilannya seperti yang di foto ini mas. Heran aja di dalam kampung tapi pengunjungna bejuber. Kepikiran dari mana orang2 tau yah

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya om, di Jogja juga banyak yang kulinernya sembunyi tapi ruame banget pengunjungnya hehehee

      Hapus
  3. Lontong pecelnya msh 4 RB, ya ampuuun girang aku kalo nemu hrg segitu.

    Dulu pas masih tinggal di Aceh, ada penjual orang Jawa yg jual menu begini, lontong pecel. Zaman dulu msh blm biasa di Aceh. Krn lontong biasanya dijadiin lontong sayur. Setelah nyobain, aku lgs ketagihan dan jd lbh suka lontong pecel drpd lontong sayur. :). Tp kalo yg diaceh dimodif dikit, Krn ada ditambah mie lidi khas Sumatra, dan pake daun pepaya yg pahit, tp enaaaak banget kalo dipecelin :). Jd kangen sih menu itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heheheheh, di Jepara ini pun saya sebenarnya kaget lihatnya. Mungkin karena di desa dan benar-benar jauh dari perkotaan. Salutku sama warung simbah ini laris banget.

      Hapus
  4. Pecel harga 4rb di zaman kekgini? Masya Allah mbah, sehat sehat, murah rezeqy njeh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Murah dan pastinya tetap enak. Benar, semoga tetap sehat simbahnya :-)

      Hapus
  5. Murah banget cuma Rp. 4000.
    Kalo di Medan minimal Rp. 8000 Mas seporsi.

    Jadi pengen kulineran di Jawa saat nanti udah aman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Menyesuaikan daerah bang hahahahahhaha.
      Kalau abang dolan ke Jawa, doakan saya juga bisa dolan ke Sumatera

      Hapus
  6. Istimewa banget kayaknya lontong pecel Mbah Yasmi, Mas. Nggak perlu dijual di tempat yang "wah," karena memang enak, orang-orang tetap datang buat jajan. :D Kayaknya kapan-kapan kalau ke Jepara mesti mampir nih di Lontong Pecel Mbah Yasmi. Hehehe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa mas kalau dolan ke sini. Ada banyak konten di Jepara loh ahhahahahah.

      Hapus
  7. destinasi kuliner yang murah meriah, dengan tempat yang otentik
    mantap, ini yang bikin kangen pulang jawaaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kuliner yang bikin kangen Jawa toh mas hehehehhe.
      Sepertinya harus ditahan dulu keinginan balik kampung mas

      Hapus
  8. Itu bangsri sebelah mana mas?
    Rumah mbah ku ada yg di bangsri.. Tp gak pernah tau hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banjaran mbak,
      Tanya warga setempat, pasti paham. Rumah beliau dikenal banget sama warga setempat

      Hapus
  9. duh jadi kangen makan lontong pecel di pasar deket rumah :"D semoga wabah covid-19 cepat berakhir agar ku bisa segera memenuhi ke BM-an ku

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga saja, kita doakan bulan april ini ada kabar baik terkait covid-19

      Hapus
  10. Memang beda ya, makan nikmat seperti ini dibandingkan dengan ala rumah makan atau restoran. Rasanya tuh si mbah membuat pecelnya pakai hati. Semua dilayani dengan kesabaran dan kayak ada magnetnya gitu :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanan di restoran biasanya cukup mudah didapat mbak. Kalau menu seperti ini memang kudu blusukan pasar atau di tempat-tempat tertentu

      Hapus
  11. Kalau pas sampai di depan rumah Mbah yasmi, mungkin saya juga bakal nggak ngira kalau dalemnya ternyata buat warung makan. Nggak ada tanda-tanda kalau itu warung sih.

    4000 rupiah dan nggak habis. Apakah ini setara dengan "porsi kuli" mas? Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehheheh, benar banget.Saya pun tidak sadar jika ini warung. Porsinya lumayan banyak buat aku

      Hapus
  12. Ya ampun, mas. Aku baca ini pas Bandung hujan seharian. Enak bangeeettt kayaknya ya hujan-hujan gini makan pecel sama mendoan anget-anget terus minum teh panas. Kamu gak makan mendoan, mas? Seporsi harganya berapa?

    Setuju. Tempat makan dengan konsep seperti ini memiliki daya tariknya sendiri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mendoan satunya 500 rupiah. Kami beli sepiring, hahahhhahaha.
      Jos mas. Ayo pankapan dolan Jeporo, siapa tahu malah sekalian mlipir Karimunjawa

      Hapus

Pages