Berfoto di depan De Tjolomadoe |
Lalu-lalang pesepeda melintasi jalan Solo. Waktu masih pagi, mentari pun belum tampak di ufuk timur. Aktivitas pesepeda sudah ramai. Ada yang arah ke kota, dan sebagian juga mengayuh ke destinasi yang lainnya. Rata-rata mereka terdiri dari grup kecil.
Usai memeriksa gopro, kuhidupkan kamera aksi tersebut. Iringan roadbike menyalipku, lebih dari 15 orang. Di belakangku sebuah mobil plat luar Jogja menguntit dengan lambat. Bisa kupastikan mobil tersebut bagian dari rombongan ini.
“Ke mana, mas?” Sapa salah satu pesepeda roadbike sembari memperlambat laju sepeda.
“Solo, mas. Mas ke mana?”
“Salatiga. Gabung saja, mas. Kami ramai-ramai kok,” Ujarnya.
Aku menolak lantas tersenyum. Selain tujuan berbeda, pun jenis sepeda juga tidak sama. Bisa jadi kalau ikut mereka bakal tercecer di belakang jauh. Aku terpisah dari rombongan di Jembatan Janti. Kutunggu Ardian yang sudah sedari tadi berangkat dari Bantul.
Rombongan tadi kembali kutemui sepanjang perjalanan dari Kalasan hingga Candi Prambanan. Mereka berhenti tepat di gapura perbatasan, pun di tempat yang sama kami berhenti. Yugo sudah menunggu sambil menyodorkan arem-arem.
Berbaur dengan kendaraan lainnya di perempatan prambanan |
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mengisi perut dengan arem-arem. Lalu berhenti di salah satu minimarket untuk membeli stok minum air mineral. Mendung di pagi hari membuat kami aman dari sinar mentari. Setidaknya, hawa masih segar.
Tiga sepeda lipat melaju pelan, kami sudah memperkirakan perjalanan Jogja – Solo sekitar tiga jam. Tujuan kami hanya ingin kulineran, lepas itu langsung balik ke Jogja naik KRL. Inilah yang menjadikan kami sengaja menggunakan sepeda lipat.
Jalanan lumayan ramai, terlebih memasuki arah Klaten. Kami berbaur dengan kendaraan bermesin. Menyatu, dan tetap mematuhi rambu-rambu lalulintas. Sesekali, aku mengabadikan kedua kawan yang berada di depan kala berhenti di lampu merah.
Menyatu dengan kendaraan bermesin memang sesuatu hal yang biasa. Ini risiko pesepeda, sehingga harus jauh lebih waspada. Selama ini, aku sendiri sudah terbiasa berbaur dengan berbagai kendaraan bermesin. Setidaknya, laju mereka tidak terlalu kencang.
Di ruas jalan tertentu, terkadang suara klakson kendaraan yang memberi kode ingin menyalip ataupun yang lainnya. Kami sendiri memilih ruas jalur paling kiri. Meski ruas jalan tersebut kadang tidak mulus. Kesibukan jalanan di Klaten didominasi bus dan truk.
Berhenti di lampu merah sekitaran Gondang |
Satu hal yang kunantikan ketika sampai di pusat kota Klaten adalah jalur sepedanya. Kurun waktu beberapa bulan yang lalu, berbagai lintasan linimasa menyebarkan jalur sepeda yang ada di Klaten. Teman-teman pesepeda pun ada yang menyambanginya.
Konon jalur sepeda di Klaten cukup panjang, sehingga menyenangkan untuk dilintasi. Pagi ini, aku sendiri melintasi jalur tersebut. Terpisah dengan jalur kendaraan bermesin menjadikan jalur sepeda ini menyenangkan. Setidaknya, aman bagi para pesepeda.
Dilansir dari berbagai portal berita, jalur sepeda di Klaten ini dibangun menggunakan dana APBN sebesar 2.4 miliar. Jalur yang memanjang ini dimulai dari sekitaran kompleks Masjid Agung Klaten hingga jalan Kopral Sayom dengan lebar sekitar 1.2 meter.
Kulintasi marka jalan berwarna hijau tersebut. Pada jarak tertentu tidak ketinggalan gambar sepeda yang tersemat pada aspal hingga plang tulisan jalur sepeda. Pagi ini banyak pesepeda yang melintas. Sebagian besar berkumpul di sekitaran Alun-alun Klaten.
Lintasan jalur sepeda panjang. Kususuri sembari mengabadikannya. Sesekali, kami bertemu dengan pesepeda yang berlawanan arah. Sebenarnya, kedua sisi jalan ada jalurnya. Hanya saja, para pesepeda melintas di semua sisi dan kadang berlawanan arah.
Melintasi jalur sepeda di Klaten |
Hal seperti ini tak perlu dipermasalahkan. Melihat jalur sepeda yang panjang dan nyaman menjadi kabar baik bagi pesepeda di Klaten. Harapannya, di masa mendatang makin banyak orang yang menggunakan sepeda sebagai transportasi ke tempat kerja maupun sekolah.
Lepas dari kota Klaten, kembali kami menyusuri tepian jalan raya. Berbagi dengan kendaraan bermesin. Lamat-lamat, matahari menampakkan diri. Terik cahayanya menerpa kulit. Jalan beragam, kadang mulus maupun berlubang.
Mendekati gapura perbatasan Klaten – Boyolali, aku sempat melihat dua anak sedang bersepeda. Mereka menggunakan satu sepeda jengki. Kuambil kamera dan mengabadikan kala kedua kawanku menyalip. Pemandangan seperti ini menyenangkan.
Sebenarnya, sepanjang perjalanan ini kami berpapasan dengan banyak rombongan. Menjelang bulan ramadan, biasanya pesepeda mengagendakan untuk menutup waktu dengan kopdar. Seperti yang kami lakukan saat ini.
Bertemu dengan pesepeda di perjalanan |
Jalan padat merayap, tujuan pertama sudah mau sampai. Tugu Kartosuro tersendat, kami berbelok ketika ada kendaraan yang memberi jeda agar kami dapat belok kanan. Di sini, tiap malam ramai. Penumpang bus yang hendak ke Jogja ataupun Semarang menunggu di pertigaan tersebut.
Tak jauh dari Tugu Kartosuro, kami berhenti. Yugo meminta kami singgah di salah satu mesin ATM. Dari sini, kulihat beberapa ruko toko sepeda yang belum buka. Ternyata di sekitaran Tugu Kartosuro banyak toko sepeda.
Ardian melihat gawai, kami putuskan destinasi pertama yang dikunjungi adalah landmark De Tjolomadoe. Dari sini lokasinya tak jauh. Kami pun melanjutkan perjalanan. Kurang dari tiga jam, kami sudah sampai di depan De Tjolomadoe.
Destinasi pertama adalah landmark Te Tjolomadoe |
Di sini ada beberapa pesepeda yang sudah berfoto. Sepertinya landmark ini memang menjadi salah satu tujuan berfoto para pesepeda. Kami secara bergantian foto, lalu istirahat sebentar. Yugo menghubungi Koh Halim, kami memang ingin kuliner bersama.
Waktunya melanjutkan perjalanan. Perjalanan dari Jogja ke Solo sudah terpenuhi. Target waktu tiga jam pun sudah tercapai. Kami santai mendata satu persatu kuliner yang hendak dikunjungi. Kumasukkan kamera, lalu mengayuh pedal menyibak keramaian kota Solo. *Solo, 10 April 2021.
Seru banget gowes keliling kota
BalasHapusHehehehe, lagi gabut mbak
HapusWah kuat juga ya mas 🤔 saya biasanya sepedaan cuma sekitaran 20an km udah cukup, ngap!! 😆
BalasHapusHehehehe, Jogja-Solo gak sampai fondo, kok. Jalanan juga datar, jadi santai.
HapusAkhirnya total brapa jam mas?
BalasHapusAku kira langsung ditulis kulineran apa. Ternyata bersambung..hiiks
Jalan jogja-solo emang ramai dengan bus dan truk. Apalagi kalau pas sore
Kalau perjalanan Joga-Solo sekitar 50an KM, tiga jam naik sepeda lipat dengan rata-rata 25km/jam atau lebih rendah. Pulangnya naik KRL hahahahaha
Hapusjadi tertarik dengan De Tjolomadoe..
BalasHapusngulik ngulik di google, eh ternyata bangunan itu masuk kecamatan Colomadu, Kab Karanganyar. padahal wilayah utama karanganyar terpisah dari colomadu, dibatasi kabupaten lain. Unik
Iya mas, wilayahnya memang begitu. Bahkan jalan besarnya ada tulisan gapura Karanganyar heeeee
Hapuswahh aku jek memendam keinginan gae tuku sepeda lipat wakakaka.
BalasHapusNdang, jangan kelamaan. Sekarang harga mulai normal. Bisa beli untuk sekadar gowes dekat-dekat
HapusAmpuhhh lah TriMasKetir ini hahahahaha. Aku tak jadi panitia penyambutan wae wes cukup >.<
BalasHapusHahahaha, minimal panitianya juga sepedaan pas ke destinasi
HapusItu ga kebayang pegelnya betis hahahaha .. pak suami jangan2 lgs semangat pas aku tunjukin tulisan ini. Bisa2 ke Jogja ntr dia bakal bawa sepeda lipatnya.
BalasHapusKalo aku tim penggembira ajalah kalo dia niat sepedaan dari solo ke Jogja :p. Tak tungguin di Jogja sambil makan tengkleng gajah hahahaha . ga sanggub kalo hrs ikutan sepedaan :p
Hehehehhe, kalau ke Jogja dan bawa sepeda. Bisalah muter bareng, itupun kalau akhir pekan hehehehehe
HapusLumayan juga ya, Jogja-Solo. Sayang baliknya naik kereta, harusnya sepedaan juga
BalasHapushahahaha.
Hahahahha, target biar cepat pulang kudu naik kereta, biar gak monoton
Hapusasyik ya gowes jogja solo ... jalurnya nyaman bagi pesepeda, pulangnya kalau males gowes .. bisa naik KA ya ke Jogja ?
BalasHapusBetul, kalau males bisa naik sepeda. Pun misalkan mau pp naik kereta juga bisa
Hapus