Nasehat Angin Malam - Nasirullah Sitam

Nasehat Angin Malam

Share This
Disudut salah satu pendopo pantai Depok aku berkumpul dengan teman-teman, aku bisa merasakan begitu serunya aktifitas mereka dari sore hingga malam ini. Suara riuh mereka seakan-akan ingin mengalahkan kerasnya dentuman ombak yang menghempaskan diri ketepi pantai. Namun, aku sendiri malah terdiam diantara keramaian mereka dan merasa kesepian ditengah keramaian saat ini.

Ditemani secarik kertas dan pena pinjaman dari salah satu temanku, jemari ini mulai menari-nari dan mengumpulkan ribuan huruf yang terbang tanpa arah diatas pikiranku. Dengan pasti aku mulai mengambil huruf-hurut itu dan menatanya menjadi suatu kalimat pada secarik kertas ini.

Tanpa kusadari aktifitas ini terhenti dengan sendirinya, Sepasang mataku dengan sorotan nanar tanpa ekspresi melihat kearah puluhan orang sedang duduk santai mendengar ceramah yang diberikan pemateri. Mata ini menyapu seluruh arah setiap sudutnya, entah objek mana yang akan dipilihnya agar aku dapat fokus melihat ke satu arah saja. Setidaknya, kalau tatapan ini fokus ke satu arah pasti mataku terlihat begitu menikmati dan tidak berekspresi seperti saat ini.

Hembusan angin malam menerjang ragaku, terasa agak dingin namun aku tetap bisa bertahan tanpa harus mengeluh dan berkata “Aku pasti kedinginan dan masuk angin kalau begini terus semalaman”. Diantara hembusan angin laut malam hari ini, ada sebuah bisikan yang kudengar secara jelas. Suara tersebut terdengar begitu jelas, dan begitu dekat ditelinga.

“Apa yang kamu pikirkan sekarang?”

Aku terkejut sejenak, kemudian aku berusaha menguasai pikiran agar tetap sadar. Aku mencoba mencari darimana sumber suara itu berasal, tapi aku tidak bisa melihat siapa-siapa.

“Arrhhgghh, esss..siiapaaa? Aku?”

“Apa mungkin aku bertanya kepada puluhan orang yang ada didepan kamu? Sedangkan orang yang mendengarkan ini hanya kamu?”

“Aku?”

“Untuk apa pertanyaan itu harus aku jawab. aku tidak mengenalmu, bahkan aku juga tidak bisa melihat wujudmu.” Teriakku pelan dengan nada bimbang.

Kali ini, aku lebih kuatkan lagi indera pendengaran ini. Dengan hati antara percaya dan tidak aku berusaha untuk kembali mendengarkan suara yang misterius itu. Sejenak terasa lengang, walau sebenarnya suasana didekatku begitu riuh.

“Arrhhgg, ternyata lamunanku terlalu tinggi.”

“Lamunan? Kamu kira ini hanya khayalanmu? Ini bukan lamunan, tapi ini kenyataan.” Suara misterius itu kembali terdengar lebih jelas lagi.

Untuk kedua kalinya aku dibuatnya terkejut, raut muka ini sudah mulai berubah. Kegelisahan, ketakutan, ketidakpercayaan, penasaran bercampur aduk menjadi satu. Tidak lama kemudian mulailah rasa ketakutan ini lebih besar, rasa kesadaran ini mulai jauh dari tubuhku. Keringat dingin mengalir walau sebenarnya malam ini angin begitu terasa menghempas badanku.

“Jadi apa tujuanmu?” Nadaku mulai meninggi.

“Bukankah aku sudah bertanya dari tadi, apa pertanyaanku masih tidak bisa  kamu pahami? Hah!”

Nyaliku langsung menciut takkala suara misterius itu mulai meninggi pula, mental baja ini mulai terkikis secara perlahan. Suara ini semakin parau dan bergetar ketakutan, mimik ini bergetar entah gugup ingin berkata apa. Semuanya tampak begitu menyeramkan, begitu menegangkan.

“Akkkuuuhhhh, akuuu tidak akan jawab pertanyaanmu.”

“Tidak akan menjawab? Sombong sekali kamu?”

“Ternyata ada juga orang yang sifatnya seperti kamu.” Tambahnya.

Ocehannya itu membuatku agak geram penuh emosi, darah ini mulai mendidih dan mengalir bagaikan aliran listrik berjuta-juta volt. Dengan sekuat tenaga aku berperang melawan ketakutan yang lebih dulu menggerogoti tubuh serta mental ini.

“Apa kamu layak tahu apa yang sedang aku pikirkan, hah! Apa pentingnya untukmu hai suara asing. Aku tidak tahu kamu itu siapa dan darimana, aku tidak tahu wujudmu seperti apa? Aku tidak bisa mengenalmu. Apa pantas aku berbicara dengan suara yang tidak jelas darimana asalnya.”

Hembusan angin laut malam ini semakin kuat disertai butiran-butiran pasir halus yang ikut berterbangan dari berbagai arah, namun aku tetap duduk kokoh tanpa bergeser sedikitpun dari posisi semula. Aku kumpulkan seluruh tenaga dan keberanianku untuk mengantisipasi balasan dari suara tanpa wujud tersebut.

“Apa pentingnya kamu tahu siapa aku? Ternyata instingmu tidaklah lebih peka daripada insting hewan pemburu.”

“Maksud kamu apa? Hah! Karena kamu tidak penting, makanya aku tidak pernah mau menjawab pertanyaan konyolmu itu.”

“Ha ha ha ha ha.”

Suara tawanya menggema mengalahkan suara ombak, membuat emosi ini semakin ingin muntab. Suara tawa yang terdengar jelas sebagai suatu ejekan serta nada meremehkan itu membisingkan gendang telingaku.

“Bisakah kamu diam hai suara asing? Suaramu tidaklah lebih merdu dari nyanyian alam malam ini.”

“Oya? Begitu congkaknya kamu hai orang sombong. Lihatlah sekelilingmu, mereka bercanda bersama. Mereka saling mengakrabkan diri, tapi kamu? Kamu malah mementingkan egomu dengan duduk sendirian disudut ini tanpa mau bergabung dengan mereka.”

“Kamu menyindirku? Bukankah ini hakku untuk berbuat semauku. Enyahlah suaramu dari terlingaku!”

“Itulah sifat burukmu manusia! Begitu labilnya egomu yang masih mementingkan diri sendiri tanpa mau mengerti dilingkungan mana kamu sekarang berada.”

“Begitu kolotnya hatimu, sehingga kamu tidak mau ikut bergabung bersamanya. Bukankah kamu ataupun mereka ingin saling kenal? Kalau begitu, bukan seperti ini caranya agar kamu bisa mengenal mereka semua.” Sambungnya.

Aku terdiam mendengarkan suaranya. Antara rasa ingin marah, malu, dan rasa penyesalan ini mulai menggelayuti hatiku. Ada benarnya apa yang dia katakan, aku terlalu mementingkan egoku sehingga aku lupa kalau hari ini adalah acara kami untuk saling mengenal satu dengan lain.

“Kenapa kamu diam? Apa kamu baru sadar? Atau kamu malu untuk berada disini sekarang?”

“Aku? Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang.”

“Ha ha ha ha ha ha, kamu terlihat begitu bodoh dengan ekspresi seperti sekarang ini. Menurutku, lebih baik kamu sekarang berbaur dengan mereka.”

Suara itu terdengar agak berlalu, entah mungkin dia ingin pergi atau konsentrasiku yang sudah mulai memudar. Yang aku tahu saat ini adalah hilangnya suara itu bersamaan dengan suara angin yang terdengar kembali seperti semua. Terdengar seperti saat sebelum suara itu dating, terdengar seperti suara khas angin malam ditepian pantai yang menerpa segala sesuatu yang menghadang lajunya. Aku menganggukkan kepala setuju dengan usulannya.

“Jadi siapa dirimu hai suara asing? Hai! Masihkah kamu mendengar suaraku!”

“Hai! Dimana kamu! Dimana suaramu! Dimana wujudmu!”

Aku berteriak sekeras-kerasnya, aku ingin mengertia apa tujuan suara itu datang. Aku ingin mengetahui namanya, dan aku ingin berkata terima kasih kepadanya.

Tiba-tiba…..!

“Rull! Ayo bangun. Hai! Bangun!”

Aku merasakan badan ini bergetar, badan ini seperti diguncang oleh tangan-tangan orang banyak. Aku dapat mendengar suara orang memanggil-manggil namaku. Tidak terdengar jelas, namun aku bisa mendengar kalau suara itu memanggil namaku.

“Apphhhaaaa?” Ada apa?” Aku terbangun kealam sadarku.

“Ayo kita ke pantai, api unggun sudah siap dinyalakan bersama-sama.” Jawab Wandi.

“Api unggun? Jadi…..”

“Jadi apa? Kamu tertidur pulas disini dari tadi, peserta dan panitia sudah berjalan kepantai sekarang.”

“Ya sudah, kamu kumpulkan dulu tenagamu. Basuh mukamu dibelakang sana, nanti nyusul kami dipantai.” Kata Wandi seraya berlalu dari hadapanku.

Aku mulai mengingat-ingat setiap kejadian yang baru aku alami, ku lihat pena, kertas, tas, dan lainnya masih ditempat semula. Ternyata aku tertidur saat sedang asyik ingin menulis. Hanya terlihat tulisan “Nasehat Angin Malam” yang baru tertulis dikertas ini.

“Apakah tadi suaramu hai angin malam?” tanyaku pada angin malam yang menerpaku.

Betapa bodohnya aku bertanya pada angin malam yang sudah pasti tidak bisa menjawab pertanyaanku, tapi entah kenapa aku yakin kalau suara asing tadi adalah benar-benar suara dari angin malam.

“Entahlah, siapapun kamu tadi yang memberi nasehat untukku. Aku beri nama Angin Malam bagimu, semoga kamu suka dengan nama itu.” Gumanku sendirian.

“Terima kasih Angin Malam, Nasehatmu begitu berarti bagiku.”

Akupun berlalu menuju pantai untuk berkumpul bersama, mencari arti sebuah keakraban. Mencari arti sebuah kebersamaan dalam indahnya sebuah persahabatan.
Baca juga postingan terkait sebelumnya
Senyum, Salam, Sapa
Arti Sebuah Sahabat 
Arti Setiap Tetesan Air Hujan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages