Sarapan Nasi Jagung Urap di Pasar Ngablak - Nasirullah Sitam

Sarapan Nasi Jagung Urap di Pasar Ngablak

Share This
Mbah penjual Nasi Jagung Urap di Pasar Ngablak, Magelang
Mbah penjual Nasi Jagung Urap di Pasar Ngablak, Magelang
Rencana awal ingin melihat mentari terbit tidak terealisasikan. Aku sudah kembali di atas sepeda motor menuju penginapan. Pagi tadi sempat mengabadikan indahnya Cuntel. Tentu ada banyak stok foto indah terkait lanskap Cuntel dengan pemandangan jejeran gunung. 

Target selanjutnya adalah mengunjungi pasar Ngablak. Seperti agenda semalam, selain ingin memotret aktivitas pasar, aku lebih tertarik untuk mencari kuliner di pasar tradisional. Konon, Nasi Jagung Urap yang dijual simbah-simbah terkenal enak dan murah. 

Di pasar Ngablak, jalanan sedikit tersendat. Juruparkir pengarahkan tempat parkir sepeda motor. Lahannya berbaur dengan kendaraan yang lain di tepi jalan. Tersusun rapi, hingga tidak menutup jalan. 

Tiap pagi, pasar Ngablak sangat padat. Aku sedikit paham karena sudah beberapa kali melintasi jalur ini waktu berkunjung ke D’emmerick Hotel. Berbagai hasil kebun masyarakat setempat dibawa ke pasar untuk dijual. 

Gapura usang bertuliskan Sub Terminal Agribisnis Ngablak-Magelang tertera jelas meski tampak karatan termakan waktu. Penjual dan pembeli menjadi satu. Keriuhan khas pasar terlihat jelas. Sementara jauh di belakang sana, tampak Gunung Andong merekah. 
Gerbang Pasar Ngablak saat pagi hari
Gerbang Pasar Ngablak saat pagi hari
Kalian tentu tahu tentang Gunung Andong. Bagi pendaki pemula, gunung tersebut menjadi lokasi yang menyenangkan untuk didaki. Teman-temanku sudah pernah mendaki gunung tersebut. Hanya saja, aku masih belum tertarik untuk mengunjunginya. 

Aku berbaur dengan pengunjung yang lainnya. Sepanjang tepi jalan ramai para penjual yang menata hasil buminya untuk dijual. Calon pembeli juga hilir-mudik melintasi jalan paving. Tidak jarang aku berpapasan dengan penjual yang memikul dagangannya ke lapak. 

Di tepian jalan, penjual didominasi buah dan bumbu dapur. Mulai dari jeruk, pisang, cabai, kol, tomat, dan sebagainya. Tidak ketinggalan jajanan pasar juga tersaji. Geliat pasar kala pagi selalu menyenangkan. Suara-suara sapaan penjual bercampur dengan riuhnya saling menawar barang belanjaan. 
Keramaian pengunjung pasar Ngablak
Keramaian pengunjung pasar Ngablak
“Nasi Jagung Urapnya di dalam,” Terang temanku. 

Aku terus mengikuti langkah teman. Dia hapal segala sudut dan gang di pasar. Terkadang aku harus berhenti, mencari dia tadi lewat jalan yang mana. Di pasar Ngablak ternyata tidak hanya dipenuhi masyarakat setempat. Aku sempat berpapasan dengan rombongan yang membawa keril besar. Sepertinya mereka ingin mendaki gunung. 

Sempat aku kebingungan mengikuti teman. Tiba-tiba dia sudah di sampingku, muncul dari gang sebelah. Dia menginfokan jika mbah-mbah penjual nasi urap sudah tidak di lapak yang sama. Ternyata beliau pindah ke lorong jalan. 

Pasar menjadi tempat yang paling menyenangkan kala kita butuh sarapan. Setiap aku bepergian, ke tempat lain. Biasanya aku mencari pasar, lantas menemukan makanan-makanan dengan harga murah. Secara tidak langsung, itu caraku mengantisipasi pengeluaran kala bepergian. Asyiknya lagi jika bisa diceritakan di blog. 

Lorong jalan di pasar bukanlah area yang luas. Lebar lorong kurang dari dua meter. Di sanalah simbah berjualan nasi jagung urap. Tiap ada yang membeli, para pengguna jalan di lorong harus sabar, perjalanan mereka tersendat. Inilah pasar, meski begitu, tak ada yang mengeluh atau memprotes. 
Nasi Jagung Urap Mbah Tugiyem di pasar Ngablak
Nasi Jagung Urap Mbah Tugiyem di pasar Ngablak
Semua tempat di pasar bisa menjadi lapak jualan. Lorong kecil ini mulai ramai pengunjung pasar yang ingin membeli sarapan. Sedari tadi kulihat mbah yang berjualan terus disibukkan membungkus nasi urap jagung. 

“Inggih, matur nuwun.” 

Berkali-kali ucapan tersebut terlontar dari mbah berkerudung merah. Entah sudah berapa kali beliau membungkus nasi. Tak ada rasa capek. Tangan-tangan tersebut masih cekatan memasukkan nasi jagung, segala sayur, dan tentunya sambal. 

Sembari melayani pembeli, aku menyempatkan berbincang dengan simbah yang berjualan nasi jagung urap. Nama beliau Mbah Tugiyem. Beliau sudah dua tahun berjualan nasi jagung urap di pasar Ngablak. Sebelumnya beliau berjualan di Getasan. Salah satu kecamatan yang berbatasan langsung dengan Ngablak. 

Temanku sudah memesan dua porsi nasi jagung urap. Nantinya kami sarapan di penginapan atau di rumah teman yang tidak jauh dari pasar. Mbah Tugiyem dengan sabar melayani pembeli. Sesekali beliau membalas sapaan pengunjung pasar yang mengenalnya. 

Di lorong ini, mbah Tugiyem berjualan dari pukul 06.30 WIB hingga menjelang siang. Biasanya beliau mengemasi dagangannya pukul 11.00 WIB. Lebih sering malah tidak sampai siang, dagangan beliau ludes dilarisi pembeli. 
Mbah Tugiyem melayani pembeli nasi urap jagung
Mbah Tugiyem melayani pembeli nasi urap jagung
Satu porsi nasi jagung urap di pasar Ngablak hanya Rp.3000 saja. Tentu harga segitu bagiku sangat murah. Terlebih porsinya lumayan untuk sekadar sarapan. Di pasar, rata-rata makanan memang murah. Aku pernah mengalaminya waktu membeli nasi urap di Jepara. 

“Harganya terserah pembeli, mas. Mau beli Rp.3000 dilayani, minta Rp.5000 ya dikasih lebih banyak lagi.” 

Mbah Tugiyem tidak mematok harga. Beliau melayani berapapun pembeli inginkan. Rata-rata tiap pembeli membulatkan harga Rp.5000 per porsi. Kalaupun ada yang membeli di bawah harga tersebut, beliau tetap melayani dengan senang hati. 

Inilah cerminan pasar tradisional. Tidak ada harga yang paten. Tiap orang bisa membeli dengan tarif berbeda. Namun, tetap saja dalam nominal yang sewajarnya. Sembari berbincang, aku juga menyempatkan memotret beliau. Sebelumnya, aku sudah meminta izin terlebih dulu. 

“Tadi pesan berapa bungkus, mas?” Tanya Mbah Tugiyem padaku. 

“Dua bungkus, mbah. Lima ribuan nggeh,” Jawabku sembari mencatat obrolan dengan beliau. 

Satu bakul nasi jagung mulai tinggal separoh. Selanjutnya beliau mengambil sayuran yang sudah disiapkan. Ada ongseng sayur Jipang, Urapan, Ongseng Labu Siam. Semua dijadikan satu pada bungkus daun pisang dan koran. 

Tidak lupa mbah Tugiyem menambahkan sambal urap ataupun sambal parutan kelapa, tergantung keinginan pembeli. Selanjutnya lauknya adalah potongan-potongan kecil ikan asin yang digoreng kering. 

Selang tidak lama, mbah Tugiyem sudah memberikan bungkusan plastik yang berisi nasi jagung urap ke kami. Usai membayar, kami berpamitan. Tidak lupa mengucapkan terima kasih karena sudah merepotkan beliau selama berbincang santai. 

Aku berencana sarapan di penginapan. Namun, kawan mengajak untuk sarapan di rumahnya. Benar juga, rumah kawan tidak lebih dari 1KM dari pasar. Di depan rumah terdapat berbagai bibit sayuran yang dijual. Rata-rata masyarakat di sini berjualan bibit sayuran. 
Sebungkus Nasi Jagung Urap dari Pasar Ngablak
Sebungkus Nasi Jagung Urap dari Pasar Ngablak
Nasi jagung urap yang terbungkus daun pisang dan koran kubuka. Aroma ikan asin ikut merasuk. Kunikmati kuliner nasi jagung urap yang murah meriah dari pasar Ngablak. Meski porsi tidak banyak, tetap saja sudah lebih dari cukup untuk sarapan. 

Sedikit unik rasanya. Layaknya mencoba nasi goreng jagung yang semalam kunikmati. Di lidahku, nasi urap jagung cukup sesuai dengan seleraku. Lahap kuhabiskan satu bungkus nasi jagung urap, teh hangat, ditambah kerupuk. 

Selalu ada kepuasan tersendiri jika kita berkunjung di pasar. Berbagai interaksi antar masyarakat di sana. Melihat geliat perekonomian, etos kerja, hingga berharap rezeki semakin melimpah. Aku percaya, di pasar Ngablak ada banyak sosok-sosok yang bersemangat seperti mbah Tugiyem yang lain. Beliau terus bekerja dengan tekun, tanpa harus mengeluh layaknya mulut-mulut pesimistis di media sosial tentang negeri ini. *Pasar Ngablak Magelang; Minggu, 08 Juli 2018.

18 komentar:

  1. gileee harganya murah bangettttt .... 3 ribu perak .. tambah 2 ribu lagi pasti kenyang banget :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di pasar memang tempat yang paling pas untuk kulineran murah meriah, kang.

      Hapus
  2. explore pasar nih,,,
    aku pas mudik sesuk yo rencanane bakal explore pasar di puworejo, kulineran....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sesekali blusukan pasar, mas heheheheh. Penak je kanggo kulineran.

      Hapus
  3. Luar biasa murah. Mana menunya lumayan komplet dan makannya with view! Gunung :D

    Ajakin ke sini ntar ya Nas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pasar tradisional seperti ini memang mengasikkan, om.
      Ayo agendakan hehehhe

      Hapus
  4. Wah aku beberapa kali lewat pasar ini, pernah mampir juga beli sayuran segar pas balik dr Andong. wkwkwk Itu kalau kulihat sayurnya kyknya pakai daun adas juga. Kok gak kamu tulis? Padahal khas lereng merapi merbabu lho. Setauku cuma ada di Boyolali, klaten, salatiga, sekitarnya. Nasi jagung di kota lain gak ada yg pakai daun adas. CMIIW

    BalasHapus
  5. Murah beud harganya.

    Harga 3rb pun kayaknya itu harga untuk porsi pas yang saya yakin bakalan pas buat saya.

    Makanan enak kalau porsinya berlebih malah hilang nikmatnya.

    BalasHapus
  6. sha pernah makan nasi urap jagung mirip-mirip kaya gini. dan sejujurnya sha ga doyan hehe

    BalasHapus
  7. Nasi jagung mengingatkan saya waktu kecil. Kala itu, masyarakat kami di wilayah Kabupaten Grobogan selalu mengonsumsi nasi jagung ketika persediaan beras habis dan pertanian jagung sudah panen.

    Tentu saja, rasa nasi jagung tidak seenak nasi beras. Selain itu, nasi jagung perlu banyak kuah supaya mudah masuk ke perut. Walaupun nasi jagung lebih lembut dibandingkan dengan nasi beras.

    Tetapi, masyarakat di wilayah kelahiran kami, kini tidak lagi makan nasi jagung. Dengan teknologi pertanian, produksi padi kini bisa mencukupi untuk konsumsi satu tahun. Meskipun penduduknya kini 4 kali lipat dibanding waktu saya masih kecil tahun 1950-an - 1960-an.

    Tentu kita bersyukur dengan kemajuan Indonesia sekarang. Nasi jagung tak lagi jadi makanan utama pengganti beras. Tetapi, hanya sebagai makanan khas untuk mereka yang ingin mencicipi nasi jagung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah berbagi cerita masa lampau. Kalau di saya sendiri, waktu kecil nasi jagung dicampur dengan beras. Tapi takarannya hanya sedikit. Belum sepenuhnya makan nasi jagung yang utuh seperti nasi urap dan nasi goreng di Kopeng :-)

      Hapus
  8. Nasi jagung itu favorit banget, apalagi jika tujuannya untuk bikin dobel kenyang :D

    Di mana pun. Lebih-lebih kalau di desa/pasar, yang jual simbok-simbok. Itu rasanya beda banget. Sederhana tapi kenyangnya lama.

    Pasar Ngablak ini jauhkah dari basecamp pendakian Cuntel/Tekelan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dekat banget sama Cuntel. Bulan depak kukasih postingan lanskap di Cuntel, biar kamu tertarik ke sana.

      Hapus

Pages